Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Perang Aceh: Kapan, Penyebab, Proses, Tokoh, & Akhir

Perang Aceh merupakan salah satu perang terlama yang dihadapi oleh pemerintah kolonial Belanda dalam sejarah pendudukannya di Nusantara.

Sejarah Perang Aceh: Kapan, Penyebab, Proses, Tokoh, & Akhir
Teuku Umar dan para pejuang Aceh pada 1880. Foto/Wikipedia

tirto.id - Perang Aceh merupakan salah satu perang terlama yang dihadapi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam sejarah pendudukannya di Nusantara. Perang di bumi Serambi Mekah yang berlangsung dari tahun 1873 hingga 1910 ini terbagi dalam empat fase.

Dari fase ke fase yang berjalan cukup lama, muncul tokoh-tokoh perjuangan dari tanah rencong yang terlibat dalam upaya perlawanan terhadap penjajah Belanda. Begitu pula dari pihak Belanda, sejumlah nama bergantian dalam memimpin misi menaklukkan Aceh.

Penyebab Perang Aceh

Perang Aceh terjadi karena ambisi Belanda yang ingin menguasai seluruh wilayah Nusantara pada abad ke-19 Masehi. Butuh waktu lama bagi bangsa asing itu untuk bisa menundukkan wilayah Aceh.

Boedi Harsono dalam Hukum Agraria di Indonesia: Sejarah Penyusunannya Isi dan Pelaksanaannya (1975), menyebutkan bahwa ambisi Belanda itu didasari dengan adanya perubahan dunia perekonomian setelah disahkannya Undang-Undang Agraria.

Selain faktor ekonomi, ada pula politis. Mengutip tulisan A. Anwar bertajuk "Strategi Kolonial Belanda dalam Menaklukkan Kerajaan Aceh Darussalam"dalam jurnal Adabiya (Volume 19, 2017), Kerajaan Aceh dianggap penghambat utama perluasan kekuasaan Belanda di pesisir timur dan selatan Sumatera.

Proses dan Fase Perang Aceh

Perang Aceh I (1873-1874)

Ibrahim Alfian dalam Perang Kolonial Belanda di Aceh (1977), menyebutkan bahwa perang diawali pada 26 Maret 1873, ketika geladak kapal komando Citadel van Antverpen secara resmi memaklumkan perang terhadap Kerajaan Aceh Darussalam.

Saat itu Belanda tidak langsung melakukan penyerangan karena masih menghimpun pasukan. Melihat yang demikian, pihak Aceh pun melakukan mobilisasi umum guna menghadapi perang yang sudah di ambang pintu itu.

Akhirnya, pada 6 April 1873 pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R.Kohler berlabuh di Pantai Ceureumen, Aceh Barat.

Seketika itu, pasukan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah dengan semangat jihad fi sabilillah langsung menggempur pasukan Belanda dengan meriam.

Keberhasilan pasukan Aceh dalam mempertahankan wilayahnya mengakibatkan Belanda kewalahan dan memutuskan untuk menghentikan serangan ini sembari menghimpun kekuatan maupun strategi baru.

Perang Aceh II (1874-1880)

Ekspedisi Aceh II oleh Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Pasukan Belanda memang berhasil menguasai istana Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, itu terjadi karena pasukan Aceh telah meninggalkan kraton dan bergerilya.

Oleh karena itu, sama seperti periode sebelumnya, pasukan Belanda tetap kewalahan dalam menghadapi pasukan Aceh di perang fase kedua yang dipimpin oleh Tuanku Muhammad Dawood.

Perang Aceh III (1881-1896)

Masih dengan semangat jihad fi sabilillah, para pejuang Aceh seperti Teuku Umar, Cik Ditiro, Panglima Polim, dan Cut Nyak Dien berhasil memobilisasi rakyat Aceh untuk melakukan perang gerilya melawan Belanda.

Alhasil, Belanda semakin kewalahan dengan taktik dan semangat perang dari rakyat Aceh.

Pada 1891, Christiaan Snouck Hurgronje yang merupakan ahli bahasa Arab dan Islam yang juga penasihat untuk urusan adat dari pemerintah kolonial datang ke Aceh. Sebagai orang yang paham tentang Islam, ia mendekati para ulama.

Peran Snouck Hurgronje menjadikan pasukan Belanda lebih terbantu, karena ia menggunakan siasat menyerang dari dalam yang nantinya membuahkan hasil gemilang.

Bertepatan dengan kedatangan Snouck Hurgronje, rakyat Aceh sedang merasakan duka yang mendalam karena kematian Teuku Cik Ditiro.

Salah satu pemimpin Aceh lainnya, Teuku Umar, dikabarkan menyerah kepada Belanda. Namun, itu ternyata hanya taktik semata untuk memperlemah kekuatan lawan.

Perang Aceh IV dan Akhir (1896-1910)

Ketiadaan Teuku Umar tidak membuat semangat rakyat Aceh padam menghadapi Belanda. Dipimpin Cut Nyak Dien, istri Teuku Umar, dengan dibantu oleh pejuang wanita bernama Pocut Baren, rakyat Aceh terus melakukan perlawanan.

Hingga akhirnya, Teuku Umar yang kembali bergabung dengan pasukan Aceh. Sayangnya, pada 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur di Meulaboh. Perjuangan pun kembali dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien bersama Pocut Baren.

Ibrahim Alfian dalam Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912 (1987) mengungkapkan, kondisi rakyat Aceh mulai melemah karena kematian dari beberapa pemimpinnya.

Terlebih, strategi merusak dari dalam yang dijalankan Snouck Hurgronje juga berjalan dengan mulus dan semakin memperlemah pasukan dan rakyat Aceh.

Tahun 1905, Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dan kemudian wafat pada 1910. Kematian Cut Nyak Dien pun menjadi penanda berakhirnya Perang Aceh.

Tokoh-tokoh Perang Aceh

Tokoh Aceh: Panglima Polim, Sultan Mahmud Syah, Tuanku Muhammad Dawood, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Pocut Baren

Tokoh Belanda: J.H.R Kohler, Jan van Swieten, Snouck Hurgronje

Baca juga artikel terkait PERANG ACEH atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya