Menuju konten utama

Gagal Paham & Arogansi Polisi: Tangkap Penyebar Guyonan Gus Dur

Tidak semestinya warga menangkap Ismail. Tidak patut juga kasus-kasus penangkapan warga terus terjadi karena kebebasan berekspresi harus dijunjung tinggi.

Gagal Paham & Arogansi Polisi: Tangkap Penyebar Guyonan Gus Dur
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sedang berbicara pada sesi wawancara di Jakarta, (25/6/2008). Foto/Reuters/Crack Palinggi

tirto.id - Malang betul Ismail Ahmad. Ia harus berhadapan dengan polisi hanya karena satu unggahan lelucon di media sosial.

Jumat (12/6/2020) lalu, Ismail, 41 tahun asal Kabupaten Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara, sedang membaca artikel tentang Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, di sebuah situs web. Ia lantas menemukan kutipan begini: "Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng."

Mengutip laman resmi Nahdlatul Ulama, ormas Islam terbesar di Indonesia yang pernah dipimpin Gus Dur, lelucon tersebut diungkapkan Gus Gur kala berbincang dengan Muhammad AS Hikam tahun 2008. Gus Dur melontarkan pernyataan tersebut untuk menjawab pertanyaan AS Hikam soal kenapa banyak terdapat praktik korupsi di berbagai institusi negara, termasuk Polri.

Ismail tertarik dengan pernyataan itu. Menurutnya itu lucu dan menginspirasi. Ia juga pernah membaca kiprah Jenderal Hoegeng Imam Santoso yang dikenal sebagai polisi antikorupsi dan hidup tanpa bermewah-mewahan. Hoegeng merupakan Kapolri ke-5 yang menjabat pada 1968-1971.

Tanpa pikir panjang ia langsung mengunggah status "tiga polisi jujur" di Facebook.

Namun unggahan Ismail dipermasalahkan. Seorang pejabat teras Kabupaten Kepulauan Sula menghubungi dan memintanya segera menghapus status itu. Ismail menuruti meski mengaku tak ada niat melecehkan Polri.

Dia pikir masalah selesai, tapi ternyata tidak. Sekitar pukul 14.00, tiga orang polisi tanpa berseragam mendatangi rumah Ismail. Mereka tak membawa surat dan langsung membawanya ke Polres Kabupaten Kepulauan Sula.

"Ditanya postingan itu maksudnya apa, tujuannya apa. Ya saya cerita saya kutip dari guyonan Gus Dur, enggak ada maksud apa-apa," kata Ismail kepada reporter Tirto, Rabu (17/6/2020).

Ismail diperbolehkan pulang pukul 5 sore. Setengah jam berselang dia kembali dipanggil ke kantor polisi. Kali ini ia diperiksa oleh penyelidik dan keterangannya dimasukkan ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pemeriksaan baru selesai pukul 9 malam.

Ismail diminta untuk menyampaikan permintaan maaf kepada Polri melalui konferensi pers, Selasa (16/6/2020) lalu. Ia menyanggupi permintaan itu karena ia memang tak ingin ada pihak yang tersinggung atas statusnya.

"Kalau saya bersalah atau menyinggung instansi, ya, saya minta maaf," kata dia. "Buat jadi pelajaran saya kalau posting itu kutip saja belum aman."

Membela Ismail, Melawan dengan Humor

Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian yang juga merupakan putri pertama Gus Dur, Alissa Wahid, mengecam tindakan polisi. GUSDURian adalah jaringan komunitas yang dibentuk setelah Gus Dur wafat, yang berfokus kepada advokasi isu Islam progresif dan masyarakat termarjinalkan.

"Menjadikan humor sebagai 'barang bukti' kasus pencemaran nama baik institusi adalah bentuk kegagalan memahami watak masyarakat Indonesia yang humoris," katanya lewat keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (18/6/2020). "Humor tersebut merupakan bentuk sindiran sekaligus kritik agar Polri bisa bekerja lebih baik, terutama setelah lembaga tersebut dipisahkan dari ABRI saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden."

Kendati kasus tersebut tidak diproses karena Ismail bersedia meminta maaf, namun Alissa menilai pemanggilan terhadapnya tetap saja merupakan intimidasi institusi negara terhadap warga. Hal tersebut menambah catatan upaya menggunakan UU ITE sebagai instrumen untuk membungkam kebebasan berpendapat.

Atas nama Jaringan GUSDURian, Alissa mendesak aparat penegak hukum untuk tidak mengintimidasi warga yang mengekspresikan dan menyatakan pendapat.

"Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat adalah hak konstitusional yang wajib dilindungi oleh aparat penegak hukum. Penggunaan Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tidaklah tepat karena pasal pencemaran baik hanya berlaku untuk subjek perseorangan, bukan terkait dengan lembaga apalagi pemerintah," kata Alissa.

Alissa juga mendesak DPR RI mengevaluasi, merevisi, dan/atau bahkan menghapus UU ITE yang sering disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi. "Kami juga mengajak kepada seluruh GUSDURian dan masyarakat Indonesia untuk terus mendukung iklim demokrasi yang sehat, salah satunya dengan terus membuka ruang kritik yang membangun tanpa merasa terancam."

Alissa menegaskan bahwa ayahnya adalah sosok yang biasa sekali menyampaikan kritik melalui lelucon. Leluconnya tidak hanya ditujukan kepada orang lain, tapi juga dalam rangka menertawakan diri sendiri. Bahkan ada buku berjudul Mati Tertawa Bareng Gus Dur. "Tiga polisi jujur" adalah salah satu di antara lelucon Gus Dur yang paling terkenal.

Lampu Merah

Pemanggilan Polres Kabupaten Kepulauan Sula terhadap Ismail semakin tampak konyol karena Tito Karnavian pernah menyinggung lelucon tersebut pada 2017, saat peringatan Haul Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan. Ketika itu Tito masih menjabat Kapolri, kini Menteri Dalam Negeri.

Bagi Tito, lelucon "tiga polisi jujur itu adalah "cambukan bagi kami agar Polri sebagai institusi lebih baik."

Komisioner Ombudsman RI yang juga salah satu pendiri Wahid Institute, Ahmad Suaedy, mengatakan ia mendengar langsung pernyataan Tito itu. "Bahkan, Kapolri sebelumnya pun, Sutarman, pernah mengutip jokes itu juga di acara Haul Gus Dur," kata Suaedy, Kamis siang.

Suaedy menilai apa yang dialami oleh Ismail adalah arogansi kepolisian, yang tak ada bedanya dengan tentara di era Orde Baru.

"Ini berbahaya sekali. Apalagi ini bekerja di daerah-daerah yang terpencil. Polisi makin ke jauh dari pusat, makin represif. Ini lampu merah untuk pemerintah agar polisi ditertibkan," katanya.

Suaedy menilai kasus penangkapan warga--termasuk kasus Dandhy Dwi Laksono, Ravio Patra, hingga Robertus Robet--oleh polisi membahayakan. Jika ini terus terjadi, ada potensi besar Indonesia menjadi negara otoriter atau negara polisi.

"Negara polisi lebih berbahaya dari negara militer. Karena polisi masuk ke ruang lingkup sipil, pribadi, dan keluarga. Ini ada kecenderungan pemilik senjata diberi kekuasaan oleh pemerintah sekarang. Harus dihentikan atau dikurangi secara bertahap," katanya menegaskan.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN BEREKSPRESI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino