tirto.id - Dinas Pendapatan Afrika Selatan (SARS) mengalami masalah besar pada pekan kedua Februari 2021. Masalah muncul bukan karena orang malas membayar pajak hingga membuat kas negara terguncang, melainkan karena sistem e-filling yang gagal beroperasi. Sebabnya sederhana: sistem e-filling Afrika Selatan yang digunakan wajib pajak untuk mengisi dokumen perpajakan masih menggunakan teknologi Flash. Padahal, produsennya, Adobe, telah memutuskan untuk selamanya mematikan teknologi tersebut mulai 2021.
Jim Salter, dalam laporannya untuk Ars Technica, menyatakan bahwa pada 2017 silam Adobe mengumumkan akan menghentikan segala dukungan teknis untuk Flash per 31 Agustus 2020. Versi paling anyar aplikasi ini, 32.0.0 (untuk komputer) dan 11.1.115 (untuk Android), mengandung "bom waktu," yang dirancang untuk "meledak" pada 12 Februari 2021. Sejak tanggal itu Flash tidak dapat digunakan sebagai plug-in pada berbagai browser. Flash sendiri mati, menurut Chief Executive Officer PC Matic Rob Cheng, karena "memiliki lubang keamanan yang sangat besar dan bertahan selama beberapa dekade hingga membuat para pelaku kriminal dunia maya dapat memanfaatkannya." Adobe gagal memperbaiki celah keamanan ini.
Sialnya, meskipun tahu Adobe akan mengakhiri hidup Flash, SARS tidak melakukan migrasi sistem dari Flash ke teknologi yang lebih baru, seperti Javascript atau HTML5. SARS malah memilih menciptakan browser sendiri menggunakan Chromium--versi open source dari Chrome yang dikelola Google--versi 85.0.4183.121 alias versi lawas. Melalui browser inilah SARS menanamkan kemampuan membaca konten Flash. Dan karena tahu Chromium 85.0.4183.121 memiliki bug atau celah keamanan, SARS pun mengkonfigurasi browser ciptaannya tidak untuk menjelajah website apapun melainkan untuk mengakses e-filling SARS semata.
Tak hanya Dinas Pendapatan Afrika Selatan yang dibuat jungkir balik akibat keputusan Adobe untuk mematikan Flash. Dalam laporan lain Ars Technica, Timothy B. Lee menyebut sistem perkeretaapian di Provinsi Lioning, Cina, mengalami nasib serupa. China Railway Shenyang, otoritas yang menjalankan kereta api di provinsi tersebut, masih menggunakan teknologi Flash pada sistem operasional rel kereta api. Ketika "bom waktu" yang tertanam pada Flash terbaru "meledak", seketika membuat "para staf kereta api tidak dapat melihat diagram operasional, merumuskan jadwal pengurutan kereta, dan mengatur rencana perjalanan."
Guna mengatasi masalah, mirip seperti SARS, China Railway Shenyang tidak melakukan migrasi ke javascript ataupun HTML5, melainkan memutuskan men-downgrade ke Flash edisi lawas atau Flash sebelum versi 32.0.0 yang tidak mengandung "bom waktu"
Kematian Flash membuat banyak pihak sengsara. Sebagaimana disinggung di awal, Adobe memag sengaja mematikan Flash karena gagal menambal lubang keamanan. Namun, yang penting, Flash sesungguhnya mati gara-gara Steve Jobs. Bagi Jobs, pada 2010 silam, Flash adalah "teknologi usang".
Gagal Beradaptasi, Dihujat Steve Jobs
Sebelum 2007 tiba, segala konten multimedia, video, hingga game yang bertebaran di dunia maya hampir pasti menggunakan teknologi Flash. Zynga, misalnya, yang pada tahun-tahun awal kepopuleran Facebook, memanfaatkan Flash untuk menciptakan Poker dan FarmVille. Tak ketinggalan, jauh sebelum terdapat bidang pekerjaan bernama "Youtuber", Youtube menjadikan Flash sebagai teknologi default untuk memutar video. Klaim Adobe sendiri, "Flash merupakan salah satu software yang paling banyak ditemukan dan tersebar luas di dunia," dan digunakan sekitar 75 persen website di seluruh dunia untuk memutar video. Maka, tak mengherankan ketika Steve Jobs merilis iPhone pada 2007 dan Andy Rubin memperkenalkan Android setahun kemudian, Adobe pun ingin menjadikan Flash pondasi multimedia dunia ponsel.
Masalahnya, pendiri Apple Steve Jobs punya pandangan berbeda. Dalam tulisannya yang dimuat di blog resmi Apple, Jobs menyatakan "Flash diciptakan di era PC, diciptakan untuk komputer dan mouse". Ia tak sepakat dengan rencana menjadikan Flash pondasi multimedia di perangkat mobile.
"Flash adalah bisnis yang sukses untuk Adobe, dan kami mengerti mengapa mereka ingin menautkan teknologi ini melebihi komputer," tulis Jobs. "Masalahnya, di era perangkat mobile yang memiliki kemampuan baterai terbata, memanfaatkan sentuhan untuk mengoperasikan, dan menggunakan standar open web, Flash ketinggalan zaman."
Klaim Jobs, yang mengutip hasil riset Symantec pada 2009, "Flash merupakan alasan nomor satu mengapa komputer Mac mengalami crash." Adobe, sebagai pemilik Flash, tak melakukan langkah berarti untuk memperbaiki masalah ini. Crash akibat Flash pada Mac lebih banyak diperbaiki oleh teknisi Apple alih-alih Adobe. "Adobe pun gagal menunjukkan kepada kami bagaimana performa sesungguhnya Flash ketika dijalankan pada perangkat mobile," ucap Jobs. Singkat kata, Jobs takut masalah yang ditimbulkan Flash pada Mac akhirnya menjalar ke iPhone.
Tak ketinggalan, Jobs menilai Flash sebagai "cross platform development tool" yang dibuat Adobe untuk mempermudah para pengembang menciptakan aplikasi di banyak platform. Masalahnya, Adobe sebatas "mempermudah" pekerjaan para pengembang, "bukan bertujuan untuk membantu pengembang menciptakan aplikasi terbaik," entah untuk platform milik Apple ataupun platform lain, seperti Windows dan Android. Ketika dunia teknologi saat ini memiliki HTML5, CSS3, dan javascript yang kian berkembang, serta klaim Jobs bahwa "Apple telah membuktikan bahwa Flash tak lagi dibutuhkan untuk menonton video di dunia maya", Flash tak dibutuhkan.
Tak tanggung-tanggung, dalam sebuah rapat internal Apple, sebagaimana dilaporkan John C. Abell untuk Wired pada 2010 silam, Jobs menghardik teknisi-teknisi Adobe sebagai "pemalas".
Tentu, Adobe tak mau terima gerutuan klaim Jobs. Dalam wawancaranya dengan The Wall Street Journal, Shantanu Narayen, yang kala itu menjabat Chief Executive Adobe, menyebut pernyataan Jobs "dusta luar biasa". Narayen mengklaim komputer Mac crash bukan karena Flash tapi gara-gara sistem operasinya. Serangan Jobs pada Flash, sebut Narayen, merupakan "smokescreen", yakni melempar tanggung jawab atas kesalahannya sendiri ke pihak lain--dalam hal ini Adobe.
Sejarah berpihak pada Jobs ketimbang Narayen. Flash memang mengecewakan dunia mobile juga desktop. Anthony Laforge, Product Manager Google Chrome, dalam tulisannya yang dimuat pada blog resmi Google pada 2017 silam, menyebut bahwa terdapat penurunan signifikan penggunakan konten multimedia berbasis Flash di dunia maya. "Tiga tahun lalu (2014), 80 persen pengguna Chrome versi desktop mengunjungi website yang menggunakan teknologi Flash setiap harinya, kini jumlahnya hanya 17 persen dan terus berkurang," ujar Laforge. Pengadopsian Flash berkurang, menurut Laforge, karena para pengembang beralih ke "open web technologies" yang menyajikan performa lebih cepat nan efisien bagi konten-konten multimedia. Tak ketinggalan, teknologi terbuka seperti HTML5 lebih aman dibandingkan Flash. Atas klaim tersebut, Chrome pun menghentikan dukungan kepada Flash mulai 2020. Tak sendirian, Youtube pun melakukan langkah serupa: mengganti Flash dengan HTML5 sebagai teknologi pemutar video sejak Januari 2015.
Microsoft juga menyusul. Semenjak pertengahan 2019 lalu, Microsoft memblokir Flash pada Edge dan Internet Explorer.
Adobe akhirnya menyerah. Flash benar-benar mati tahun ini. Tentu, dengan menyisakan kisah seperti yang dialami Dinas Pendapatan Afrika Selatan dan China Railway Shenyang. Dan karena Flash pernah sangat berjaya di dunia maya, merujuk penuturan Chief Executive Officer Binary Defence Systems, "Flash sangat mungkin baru akan benar-benar mati dalam beberapa tahun mendatang, bukan saat ini." Artinya, kisah seperti SARS dan sistem perkeretaapian di Provinsi Lioning, Cina, sangat mungkin terulang.
Editor: Windu Jusuf