tirto.id - Saat didirikan 82 tahun lalu sebagai perusahaan pembuat film fotografi, Fujifilm bisa jadi tak pernah berpikir akan menghadapi perubahan fundamental bisnis fotografi yang berlari cepat. Semenjak era digital, bisnis film fotografi jatuh ke titik paling bawah hingga akhirnya mati di 2006.
Puncak keterpurukan mereka terjadi pada tahun 2000. Ketika itu, bisnis inti Fujifilm sebagian besar masih mengandalkan dari divisi image yang semakin pudar. Upaya diversifikasi produk dan pasar lebih agresif jadi pilihan mereka. Diversifikasi memang bukan barang baru bagi perusahaan yang didirikan pada 1934 di Jepang. Selama periode 1934-1950 mereka tak hanya membuat film fotografi tapi juga masuk ke bisnis lensa dan optik, hingga alat medik dan sistem grafik. Sepuluh tahun setelahnya, mereka masuk ke bisnis mesin foto copy dengan mendirikan Fuji Xerox, dan dekade berikutnya ekspansi ke penjuru dunia dan pengembangan produk x-ray hingga kamera digital.
Meski melakukan beragam diversifikasi, Fujifilm masih tetap mengandalkan bisnis film fotografi dari devisi image setidaknya hingga 2001. Lini bisnis ini menyumbang 54 persen pendapatan. Sedangkan sisanya 46 persen disumbang bisnis information solution seperti alat medis, recording media dan lainnya. Setelah itu, Fujifilm masuk era “Second Foundation” yang akhirnya melahirkan diversifikasi bisnis yang lebih beragam. Setelah 15 tahun berjalan, bisnis image mereka telah menyusut kontribusinya jadi hanya 14 persen, kini 86 persen bisnis Fujifilm justru bersandar pada bisnis non image seperti document solution antara lain peralatan kantor seperti printer, foto copy yang menyumbang 47 persen. Lalu ada bisnis information solution berkontribusi 39 persen.
The Economist pada 2012 menulis artikel berjudul “How Fujifilm Survived”. Artikel itu memuat langkah cepat Fujifilm yaitu memperkuat bisnis FujiXerox dengan menggelontorkan 1,6 miliar dolar AS untuk makin mencengkeram bisnis non image mereka jadi penentu. Hasilnya dirasakan 16 tahun berikutnya, bisnis document solution mereka hampir menyumbang 50 persen atau nyaris menyamai bisnis kamera dan alat cetak sebelum era 2000.
Porsi bisnis image Fujifilm memang sudah tak sebesar dibandingkan 16 tahun lalu, tapi sebagai brand yang sudah kuat dengan image produk fotografi, Fujifilm masih menunjukkan tajinya sebagai produsen kamera digital, yang terus berkembang.
Bisnis Kamera di Persimpangan
Porsi bisnis image Fujifilm yang hanya tersisa sekitar 14 persen disumbang dari photo imaging seperti alat cetak foto yang menyumbang 10 persen dan 4 persen dari peralatan optik dan elektronik gambar seperti kamera digital. Yang terbaru adalah mirrorless interchangeable lens camera atau kamera mirrorless, sebuah inovasi kamera terbaru yang lebih ringkas dan ringan dari digital single-lens reflex (SLR) yang sebelumnya “membunuh” kamera SLR analog.
Berdasarkan laporan keuangan tahun fiskal 2016, bisnis kamera digital Fujifilm hanya menyumbang 103,4 miliar yen dari total pendapatan Fujifilm sebesar 2,492 triliun yen atau 4 persen, jumlah ini turun 14 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Bisnis kamera digital, merupakan terendah kedua setelah bisnis recording media yang hanya menyumbang 46,6 miliar yen atau 2 persen dari total pendapatan Fujifilm.
Meski demikian, upaya Fujifilm menelurkan produk kamera digital belum berakhir. Mereka pun ikut berbaur masuk ke pasar kamera mirrorless yang sedang naik daun. Setelah kamera mirrorless pertama Panasonic Lumix DMC-G1 muncul pada 2008. Fujifilm seolah ingin menegaskan api bisnis di divisi kamera mereka belum padam, dengan mengeluarkan kamera mirrorless Fuji X100 pada 2011, dan kamera mirrorless seri X lainnya.
Apakah kamera mirrorless bisa mengembalikan Fujifilm untuk bangkit di bisnis kameranya? Jawabannya bakal sulit, karena berdasarkan data Camera and Imaging Products Association (CIPA), penjualan kamera digital di dunia terus mengalami penurunan. Puncak penjualan terjadi pada periode 2007 hingga 2011, dengan rata-rata mencapai lebih dari 100 juta unit per tahun. Tahun 2010 adalah tahun emas, di mana penjualan kamera mencapai 121 juta unit. Kemudian angka itu merosot sampai sampai saat ini. Penjualan kamera pada 2015 lalu hanya mencapai angka 35 juta unit.
Khusus kamera mirrorless, memang ada tren kenaikan pangsa pasar. Dipacak dari laman promuser.com, pangsa pasar kamera mirrorless memang berkembang, pada 2013 masih 5,3 persen, kemudian jadi 9,5 persen pada 2015, bahkan selama 6 bulan terakhir 2016 pangsa pasarnya sudah naik jadi 10,2 persen. Kondisi berlawanan terjadi dengan kamera kompak yang trennya menyusut, pada 2013 masih dominan dengan porsi 72 persen, lalu anjlok hanya 63 persen pada 2015. Dalam 6 bulan pertama 2016 hanya 62 persen. Sedangkan kamera digital SLR stagnan di angka 27 persen.
Hadirnya kamera mirrorles hanya mencaplok pasar segmen lainnya tapi tak menambah pasar. Dan yang paling bertanggung jawab dari kehancuran bisnis kamera adalah smartphone yang menawarkan segala kepraktisan. Kalau sudah begini, maka produsen kamera digital harus melakukan terobosan lebih jauh lagi. Apalagi segmen kamera mirrorless sudah dimasuki oleh Sony dan Panasonic.
The Guardian sempat menulis bagaimana perusahaan pembuat kamera mendekatkan diri dengan perkembangan smartphone yang terus pesat. Pada 2013 misalnya Samsung membuat kamera Galaxy NX yang berbasis android, mampu memecahkan persoalan distribusi hasil foto yang selama ini jadi kelemahan SLR digital. Fujifilm juga memperkenalkan Fujifilm Instax Share Smartphone Printer SP-1 pada 2014, menawarkan hasil cetak gambar dengan cepat dari smartphone.
Nama Fujifilm memang sudah tak mewakili lagi inti bisnis mereka yang dahulu hanya fokus pada bisnis film fotografi. Namun, nama Fujifilm bakal tetap abadi dengan upaya inovasi bisnis mereka yang berhasil melewati ujian zaman. Jawaban ini semua ada pada ucapan Chairman and Chief Executive Officer Fujifilm Holdings Corporation Shigetaka Komori.
“Fujifilm bertekad untuk tetap menjadi perusahaan terdepan dengan berani mengambil tantangan untuk mengembangkan produk baru dan menciptakan nilai baru,” kata Komori.
Sesumbar ini bakal terus menunggu pembuktian dari Fujifilm sesuai slogan mereka “Value from Innovation.” Kita tunggu apakah “Sang Gunung Keabadian” ini lolos dalam ujian dari perkembangan teknologi gadget dan tergoda untuk keluar dari zona nyaman, dengan “berani mengambil tantangan” di bisnis smartphone.