tirto.id - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui sistem zonasi masih memiliki sejumlah kelemahan dan butuh dievaluasi lebih lanjut agar dapat berjalan lebih baik.
Sekjen FSGI, Heru Purnomo di Jakarta, Selasa (10/7/2018) menjelaskan bahwa PPDB yang tujuan utamanya untuk pemerataan dan meminimalisir mobilitas siswa ke sekolah tertentu ternyata masih memiliki kelemahan.
"Permendikbud 14/2018 tentang PPDB yang tujuan utamanya untuk pemerataan dan meminimalisir mobilitas siswa ke sekolah tertentu, masih memiliki kelemahan," tulisnya dalam rilis pers yang diterima Tirto.
Menurutnya, kelemahan tersebut seperti munculnya PPDB jalur mandiri dengan membayar sejumlah uang agar siswa bisa diterima di sekolah yang diinginkan, yang terjadi di Lampung.
Masalah lain adalah penyalahgunaan jalur siswa tidak mampu seperti di Jawa Tengah dan Jawa Barat, kemudian jalur migrasi seperti di DKI Jakarta, hingga sekolah yang tidak mendapatkan murid di Kota Solo.
Heru juga menjelaskan kelemahan itu bermula dari Permendikbud pada bagian keenam tentang biaya di pasal 19.
Pasal itu berbunyi "Pemprov wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima dibuktikan dengan SKTM".
Selain itu, di Mataram, sekolah diharuskan menerima 25 persen siswa dari jalur prasejahtera yang dibuktikan dengan kartu Program Keluarga Harapan atau Kartu Indonesia Pintar (KIP), sehingga menimbulkan gejolak dari pemegang kartu-kartu lain seperti KIS, KKS yang akhirnya harus diakomodir.
Kemudian untuk domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat Kartu Keluarga yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB juga harus dievaluasi.
Menurutnya, pasal tersebut tidak terukur dengan jelas alasan migrasi dari suatu daerah ke daerah lain sehingga secara faktual, sehingga banyak ditemukan migrasi dipergunakan untuk memperoleh peluang bersekolah di sekolah negeri (favorit) yang mengakibatkan menutup peluang siswa alih jenjang di zona tersebut.
Untuk radius zonasi, lanjutnya, justru akan membatasi sekolah yang ada di pusat kota yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga untuk memperoleh siswa, akibatnya sekolah tersebut kekurangan siswa.
Kelemahan pasal di atas juga membawa kerugian bagi sekolah-sekolah yang tidak terpenuhi daya tampungnya sehingga berakibat bagi guru-guru yang berada di sekolah tersebut tidak terpenuhinya jumlah jam mengajar.
Sementara itu, guru-guru butuh banyak jam mengajar sebagai syarat mendapat tunjangan sertifikasi, kata Wasekjen FSGI, Satriawan Halim.
Untuk itu, FSGI menyarankan perlu adanya perbaikan dalam Permendikbud tersebut, terutama pada pasal-pasal yang menimbulkan kerancuan.
Kemdikbud dan pemerintah daerah perlu memetakan kembali kondisi pendidikan di daerah, meningkatkan anggaran pendidikan untuk kemajuan pendidikan dasar dan menengah sehingga masalah pendidikan selama ini bisa berangsur-angsur mengalami peningkatan secara kualitatif dan berkeadilan.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerima sejumlah keluhan mengenai pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru pada 2018.
Plt Inspektur Jenderal Kemendikbud, Totok Suprayitno, di Jakarta, Senin (2/7/2018) mengatakan, keluhan masyarakat mengenai PPDB beragam, terutama mengenai adanya kecurangan.
Ia menambahkan, sejumlah warga juga mengeluhkan mengenai adanya jalur mandiri dengan membayar sejumlah uang agar siswa bisa diterima di sekolah yang diinginkan.
"Jumlah pengaduan yang masuk ada sekitar 30 pengaduan. Kami sudah menurunkan tim untuk melakukan audit khusus ke lapangan terkait pengaduan melalui jalur mandiri," katanya.
Salah satu orang tua murid, Nyonya Surya, mengaku mendapatkan tawaran dari oknum yang menyatakan bisa meluluskan anaknya masuk Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Bogor, asalkan mau membayar uang senilai Rp20 juta.
"Tadi ketika saya mengantarkan anak saya untuk mendaftar di SMAN 2 Bogor, saya didekati panitia. Katanya dari pada repot sini Rp20 juta langsung diterima atau ibu mendaftar di swasta dulu, nanti semester 1 atau semester 2 pindah, sama nilainya 20 juta juga," katanya.
Ia mengaku enggan membayar sejumlah uang agar anaknya masuk sekolah tersebut. Menurut dia, lebih baik uang tersebut digunakan untuk biaya pendidikan di perguruan tinggi.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meminta agar pelaksanaan PPDB bebas dari praktik jual beli kursi maupun pungutan liar.
Editor: Yulaika Ramadhani