tirto.id - Isu penyadapan percakapan antara Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin berbuntut panjang. Saat menggelar jumpa pers pada 1 Februari lalu, SBY meminta agar aparat kepolisian mengusut dugaan penyadapan telpon miliknya.
Tak hanya itu, anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR, Benny K. Harman mengatakan pihaknya juga akan mengajukan hak angket untuk menyelidikinya. Karena jika memang ada skandal penyadapan terhadap SBY, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE).
Menurut Benny, apabila hal tersebut terbukti, maka penyadapan juga bisa meresahkan dan menimbulkan ketidaknyamanan masyarakat, sehingga dugaan skandal penyadapan ini telah berdampak luas.
Pengajuan hak angket ini dimungkinkan mengingat fungsi pengawasan DPR yang melekat padanya. Sebagaimana diatur Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3, DPR dalam fungsi pengawasan memiliki hak untuk mengajukan interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.
Merujuk pada ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang mengatur soal hak angket, DPR berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak angket seperti diwacanakan Partai Demokrat adalah salah satu hak yang dimiliki anggota dewan dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Ia akan melakukan penyelidikan untuk mengetahui siapa yang melakukan dugaan penyadapan dan apa motif penyadapan tersebut.
Akan tetapi, untuk bisa disetujui saja tak mudah. Ada berbagai ketentuan. Pengusulnya paling sedikit 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Setelah memenuhi syarat sebagai usulan, ia harus disetujui lebih dari 50 plus satu anggota DPR di rapat paripurna.
Pengusulan hak angket juga harus disertai dengan dokumen materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki, serta alasan penyelidikannya. Jika usulan hak angket disetujui dalam sidang paripurna, ia menjadi hak angket DPR, bukan lagi usulan Fraksi Partai Demokrat.
Hak Angket dan Pengawasan DPR
Menurut peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris dalam buku Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi (2014), di masa reformasi ruang lingkup pengawasan DPR hanya mencakup enam wilayah kewenangan. Salah satunya adalah kewenangan terkait fungsi pengawasan.
Namun, DPR bukan satu-satunya lembaga politik yang memiliki fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah dan penyelenggara negara. Munculnya institusi politik baru, seperti Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah ikut serta mewarnai pengawasan terhadap pelaksanaan konstitusi dan penyelenggaraan pemerintah.
Konsekuensinya: titik berat fungsi DPR lebih pada fungsi legislasi ketimbang fungsi pengawasan dan fungsi anggaran. Dalam konteks ini, DPR dapat mengoptimalkan posisi strategisnya sebagai pembuat UU sebagai bagian dari politik pengawasan, ketimbang melakukan berbagai manuver politik atas nama pengawasan melalui hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Namun, perubahan konstitusi yang dilatarbelakangi semangat untuk memperkuat sistem presidensial ini ternyata tidak mengurangi intensitas penggunaan hak-hak politik DPR terkait fungsi pengawasannya. Pada DPR periode 2004-2009 misalnya, hak interpelasi dan hak angket sering (diusulkan untuk) digunakan sehingga menimbulkan suasana konflik dan ketegangan politik dalam relasi DPR-Presiden.
Dalam periode ini, setidaknya ada 14 usulan hak interpelasi dan sembilan usulan hak angket yang dicoba digulirkan oleh partai politik di DPR terkait berbagai kebijakan pemerintah. Memang, tidak semua usulan lolos sebagai hak politik DPR. Namun, intensitas pengajuan usulan penggunaan hak yang begitu tinggi mengindikasikan kuatnya kecenderungan DPR menjadikan hak interpelasi dan hak angket sebagai instrumen utama untuk mempertanyakan dan menggugat kebijakan pemerintah.
Melalui upaya penggunaan hak politik tersebut, menurut Syamsuddin, DPR ingin memperlihatkan kepada publik bahwa mereka benar-benar bekerja, hadir sebagai wakil rakyat, dan peduli terhadap aneka masalah bangsa kita.
“Politikus parpol di DPR cenderung menjadikan momentum penggunaan hak interpelasi dan hak angket sebagai panggung politik dengan aneka motif dan kepentingan pribadi para anggota dan masing-masing parpol,” tulis Syamsuddin.
Padahal, beberapa alat kelengkapan DPR, khususnya komisi yang didesain atas dasar pengelompokan urusan atau bidang pemerintahan sebenarnya memiliki kesempatan yang luas untuk mempertanyakan, mengoreksi, dan meminta klarifikasi pemerintah terkait kebijakan tertentu saat rapat kerja antara komisi dengan salah satu atau beberapa kementerian yang mewakili pemerintah. Rapat kerja komisi dengan perwakilan pemerintah ini jauh lebih efektif ketimbang penggunaan hak interpelasi dan hak angket.
Dalam buku Centurygate: Mengurai Konspirasi Penguasa-Pengusaha, Syamsudin Haris mencontohkan beberapa hak angket yang tidak efektif. Pada DPR periode 2004-2009 setidaknya ada beberapa usulan hak angket yang dicoba digulirkan oleh DPR, mulai dari soal kenaikan harga BBM, penjualan tangker Pertamina, impor beras, pengelolaan Blok Cepu, penyelesaian kasus BLBI, transparansi pengelolaan migas oleh Pertamina, hingga terkait kisruh daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2009.
Dari ketiga hak angket DPR yang disetujui rapat paripurna—yaitu kasus penjualan tanker Pertamina, transparansi pengelolaan migas, dan kisruh DPT—tidak satupun yang tuntas diselesaikan oleh Pansus yang dibentuk oleh DPR. Angket DPPT Pemilu 2009 tenggelam bersamaan dengan berakhirnya masa bakti DPR.
Melihat kecenderungan semacam itu, tak heran jika pemerintah tidak terlalu risau menanggapi adanya wacana pengajuan hak angket yang diwacanakan Fraksi Partai Demokrat. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan mengatakan pemerintah akan menghadapi dan menjawabnya jika memang hak angket tersebut diputuskan di sidang paripurna DPR.
“Itu hak DPR, pemerintah tentu tidak bisa menghalangi penggunaan hak itu selama memenuhi syarat 25 orang. Dan itu biasa saja, karena itu hak bertanya. Nanti pemerintah akan menjawabnya tidak mengetahui, tidak terlibat,” ujar Kalla seperti dikutip Antara.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani