tirto.id -
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai OTT di Jambi mengatakan APBD masih menjadi lahan bagi anggota DPRD untuk mencari keuntungan. Ia tidak memungkiri langkah tersebut dilakukan oleh legislatif untuk mencari keuntungan. Apalagi, keuntungan tersebut bisa saja berkaitan dengan partai politik lantaran tidak sedikit anggota DPR atau DPRD menjadi bagian dari parpol.
"Apalagi depan mata itu juga tahun politik. Jadi untuk apa? Dan itu kemudian membuat anggota DPRD mengkritisi dan dituntut untuk punya dana berlebih," kata Lucius saat dihubungi Tirto, Rabu (29/11/2017).
Lucius menjelaskan DPRD mempunyai wewenang untuk menentukan besaran anggaran selama proses pembahasan. Ia beralasan, legislatif mempunyai 3 fungsi yaitu legislatif, pengawasan, dan budgeting. Pengaturan anggaran masuk dalam fungsi tersebut diperkuat lewat pengesahan UU MD3.
DPRD mempunyai wewenang dan kuasa untuk mengatur jumlah anggaran hingga mengesahkan APBD. Ia mencontohkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang sempat bersitegang dengan DPRD DKI Jakarta dalam pembahasan APBD. "Mereka dulu pernah mengancam Ahok menyetujui APBD kan? Karena mereka punya kekuasaan untuk menahan itu kalau mereka mau," kata Lucius.
Saat penyusunan anggaran, DPRD dan pemerintah akan melakukan pembahasan apa saja yang akan dilakukan pada tahun anggaran berjalan. Pada saat pembahasan, anggota legislatif menggunakan alasan program dengan alasan dana aspirasi untuk disetujui eksekutif.
Nantinya, dana aspirasi akan diarahkan kepada legislator yang mengusung. Cara kedua adalah dengan memasukkan anggaran secara mendadak saat hendak proses pengesahan. Cara lain yang bisa digunakan dengan melobi langsung eksekutif agar program bisa langsung diloloskan. Kebanyakan metode korupsi yang digunakan dengan memainkan anggaran dengan cara menggelembungkan angka.
"Jadi bisa dua sisi dan bisa menggunakan alasan paling ideal untuk menutupi aksi kongkalikong itu," kata Lucius.
Lucius sendiri tidak menutup kemungkinan kejadian Jambi bisa terjadi di DKI Jakarta. Saat ini, APBD DKI Jakarta juga rawan menjadi bahan bancakan oleh legislatif. Ia melihat banyak anggaran DKI Jakarta yang juga penuh kejanggalan seperti anggaran. Sebagai contoh adalah program kunjungan kerja DPR yang membengkak hingga dana TGUPP.
Menurut Lucius, Jakarta juga lebih rentan karena pemimpin DKI Jakarta minim pengalaman birokrasi. Tidak tertutup kemungkinan pihak legislatif melobi eksekutif di tingkat dinas agar bisa memasukkan program tertentu. Mereka pun menaikkan biaya agar bisa melakukan korupsi tanpa dipahami oleh gubernur dan wakil gubernur.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri