Menuju konten utama
17 November 2006

Ferenc Puskas: Sukses di Timnas Hungaria & Jadi Legenda Real Madrid

Ferenc Puskas adalah salah satu penyerang paling tajam di dunia. Tampil bersama Budapest Honved, Real Madrid, dan timnas Hungaria, ia membobol gawang 746 kali.

Ferenc Puskas: Sukses di Timnas Hungaria & Jadi Legenda Real Madrid
Ferenc Puskas. tirto.id/Nauval

tirto.id - Ferenc Puskas barangkali satu-satunya pesepakbola yang pernah mengalahkan timnas Inggris sendirian. Saking hebatnya penyerang timnas Hungaria itu, untuk mengalahkan Inggris ia hanya perlu menimang-nimang bola saat pemanasan. Peristiwa langka itu terjadi ketika Hungaria melawat ke Stadion Wembley pada 25 November 1953.

Hungaria, tim yang tak pernah kalah sejak 1950, datang ke Wembley seperti cecunguk. Mereka takut kepada nama besar Inggris, sampai-sampai, sebagaimana dikisahkan Jonathan Wilson dalam The Names Heard Long Ago: How the Golden Age of Hungarian Soccer Shape the Modern Football (2019), sebagian besar pemain Hungaria tampak gelisah ketika menuju Wembley.

Di dalam bus, kata Pal Varhidi, bek Hungaria, pemain-pemain tak saling berbicara. “Kami terdiam seribu bahasa.”

Selain karena Inggris saat itu tak pernah kalah ketika bertanding di Wembley, mindernya pemain-pemain Hungaria disebabkan oleh sambutan pers Inggris menjelang pertandingan tersebut. Pers Inggris berhaluan nasionalis menulis tajuk-tajuk yang lebih pantas dibaca sebagai propaganda perang:

“Pemain-pemain kesayangan Hungaria tak akan mengalahkan Inggris”

“Tekel keras adalah cara mengalahkan Hungaria”

“Tekel brutal akan bikin pemain Hungaria gentar”

Alhasil, beberapa saat sebelum pertandingan, muka sebagian besar pemain Hungaria langsung pucat, kaki mereka berat untuk melangkah, napas mereka terengah-engah. Dalam Captain Class (2016), Sam Walker menulis alegori yang mampu menggambarkan mental bertanding Ferenc Puskas dan kawan-kawan:”Pemain-pemain Hungaria seakan ingin segera pulang untuk mencuci sepatu mungil mereka” (hlm. 6).

Tahu itu, Puskas, dengan kepercayaan diri begitu tinggi, tiba-tiba menimang-nimang bola di tengah lapangan. Kapten Hungaria itu mencungkil bola dengan kaki kirinya; lalu, dengan kedua kaki serta kedua lututnya, ia memantul-mantulkan bola ke udara sampai beberapa menit.

Cara pemanasan macam itu tak pernah dilakukan di negara Ratu Elizabeth II. Pemain-pemain Inggris dan sekitar 105 ribu penonton yang memadati Wembley tentu saja kaget. Puskas segera menjadi pusat perhatian. Kenneth Wolstenholme, komentator pertandingan, langsung memberikan peringatan:

“Jika kita (Inggris) melihat ini sebagai masalah besar, aku pikir kita akan mendapatkan bencana dari Hungaria yang tak pernah terkalahkan.”

Karena aksi Puskas, pertandingan bertajuk Match of The Century tersebut lantas berlangsung dengan suasana yang jauh berbeda. Rasa percaya diri pemain-pemain Hungaria meninggi, sementara arogansi Inggris runtuh seketika. Kekhawatiran Wolstenholme pun benar-benar terjadi: Inggris dibantai Hungaria dengan skor 3-6.

Catatannya begini: Hungaria mampu mencetak gol ketika pertandingan baru berjalan selama 43,2 detik, melakukan 35 percobaan tembakan ke gawang Inggris, dan, setelah pertandingan bubar, mendapatkan standing ovation dari para penonton tuan rumah.

Bintang laga itu tak lain dan tak bukan adalah Puskas. Selain lewat aksi timang-timangnya sewaktu pemanasan, ia juga mampu mencetak dua gol dan tak luput memberikan kenang-kenangan kepada Billy Wright, kapten Inggris, yang sebelum pertandingan menyebutnya sebagai “bocah gendut”.

Saat mencetak gol pertamanya, Puskas memaksa Wright menekel angin. Itulah yang kemudian memicu Geoffrey Green mengeluarkan komentar fenomenal dalam salah satu tulisannya di The Times. “Billy Wright,” demikian tulis Green, “meluncur terburu-buru seperti mobil pemadam kebakaran yang salah menuju tempat kebakaran.”

Pemimpin Timnas Hungaria

Lahir pada 1 April 1927 di Budapest, Hungaria, perawakan Puskas sebetulnya terlihat amat jauh dari bintang sepakbola. Ia pendek, gemuk, dan kaki kanannya hanyalah properti tambahan di bagian tubuhnya. Bahkan, karena bentuk tubuh Puskas, Ron Greenwood, mantan bek Inggris, pernah menyebutnya sebagai “lelaki kecil gemuk yang banyak menghabiskan waktunya untuk berlatih di restoran.”

Ejekan seperti itu biasanya hanya tampak di muka. Setelah melihat penampilan Puskas di atas lapangan, pendapat orang biasanya langsung berubah seketika.

Maka Greenwood pun kemudian menambahkan, “Saat ia menguasai bola dengan kaki kirinya, Puskas seolah-olah memiliki lem di ujung sepatunya [...] Ia bisa mengatur permainan sekaligus mengubah kecepatan permainan sesuka hatinya.”

Francisco Gento, mantan rekan Puskas di Real Madrid, sependapat dengan Greenwood. Puskas memang hanya bermain dengan kaki kirinya, tapi, kata Gento, “Kaki kiri itu seperti tangan, Puskas bisa melakukan apa saja dengannya.”

Sementara Jonathan Wilson, yang menganggap Puskas lebih hebat daripada Franz Beckenbauer, Michel Platini, George Best, maupun Zinedine Zidane, menulis di Guardian: “Puskas merupakan salah satu dari sedikit pemain yang mampu menyelaraskan kemampuannya untuk mengeluarkan kemampuan terbaik yang dimiliki timnya.”

Pujian-pujian untuk Puskas tersebut tentu saja bukan sekadar omong kosong. Setidaknya, kiprah Puskas bersama timnas Hungaria bisa menjadi acuannya.

Tampil sebanyak 83 kali, Puskas mampu mencetak 84 gol untuk Hungaria. Selain itu, saat Hungaria dua kali menjadikan Inggris puing-puing—menang 3-6 dan 7-1—semuanya karena Puskas. Kala Hungaria meraih medali emas Olimpiade 1952, itu juga karena Puskas. Bahkan, seandainya Puskas dalam kondisi fit di laga final, bukan tak mungkin Hungaria juga akan membawa pulang gelar Piala Dunia 1954.

Yang menarik, pujian-pujian itu ternyata belum mampu menggambarkan kehebatan Puskas secara utuh. Puskas sebetulnya tidak hanya memengaruhi permainan Hungaria lewat kualitasnya sebagai seorang pesepakbola, melainkan juga lewat kepemimpinan yang nyaris tiada duanya.

Rogan Taylor dalam Puskas on Puskas: The Life and Times of Footballing Legend (1997) mengisahkan bahwa Puskas adalah sosok pemimpin sejak remaja. Saat segala sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginannya, demi kebaikan tim, ia akan menyampaikan pendapatnya secara blak-blakan. Bahkan ia langsung melakukan kebiasaan itu ketika melakukan debut profesional bersama Budapest Honved, tim lokal Hungaria.

Kala itu, tulis Taylor, “Suara Puskas seringkali terdengar paling keras di atas lapangan, entah saat dia memberi instruksi atau melemparkan kritik kepada rekan-rekannya yang bahkan usianya jauh lebih senior daripada dirinya.”

Pada mulanya kebiasaan Puskas tersebut memang membuat jengkel rekan-rekannya. Namun, setelah terbiasa, rekan-rekannya sadar bahwa Puskas melakukan itu semua demi meraih kemenangan. Karenanya, saat Puskas juga terbiasa mengabaikan instruksi dari pelatihnya untuk kemudian menyampaikan apa yang ada di kepalanya, rekan-rekannya tak pernah ragu untuk selalu memercayainya.

“Dia bukan hanya pemain dan kapten yang dahsyat tapi juga seorang playing-coach,” kata Nandor Hidegkuti, tandem Puskas di lini depan Hungaria. “Dia dapat melihat segalanya, menanamkan tingkat kedisiplinan ke dalam tim, dan mampu melakukan analisis di tengah-tengah pertandingan. Sedikit instruksi dari Puskas dapat menyelesaikan setiap masalah kami di lapangan.”

Dari sanalah Sam Walker kemudian menilai Puskas sebagai salah satu kapten terbaik yang pernah ada di dunia olahraga, berdiri sejajar dengan Bill Russell (kapten Boston Celtics), Mireya Luis (kapten timnas voli perempuan Kuba), Yogi Berra (kapten New York Yankees), dan lain-lain.

Alasan Walker setidaknya ada dua. Pertama, saat Puskas menjadi kapten Hungaria (1950-1955), anak asuh Gustav Sebes tersebut hanya kalah 2 kali dalam 53 pertandingan. Mereka mampu mencetak 222 gol dan hanya kebobolan sebanyak 59 kali, di mana rata-rata gol mereka mencapai 4,2 kali dalam setiap pertandingan. Tim yang dipimpin Puskas ini, menurut hitung-hitungan Walker, kemudian memiliki elo rating paling tinggi di sepakbola yang bertahan selama 60 tahun. Kedua, sepeninggalan Puskas, timnas Hungaria ternyata tak pernah sama lagi: kehebatan mereka langsung menguap.

Berjaya Bersama Real Madrid

Puskas memutuskan meninggalkan negaranya bersamaan dengan Revolusi Hungaria pada 1956. Ia, yang saat itu sedang melakukan tur mancanegara bareng Budapest Honved, memilih tak pulang. Bersama Budapest, ia kemudian melanjutkan tur dari Spanyol ke Italia, lalu ke Portugal. Setelah itu Puskas berbuat lebih nekat: meninggalkan Budapest dan mencari klub baru di Italia.

Sayangnya, keputusan Puskas tersebut bertentangan dengan UEFA. Puskas dianggap tak menghormati kontraknya bersama Budapest dan mendapatkan larangan bertanding selama dua tahun.

Pada masa-masa itu karier Puskas nyaris tamat. Ia beberapa kali ditolak oleh beberapa klub Eropa sebab mereka tak mau mengambil risiko dengan mengontrak seorang pemain yang tak bermain dalam jangka waktu yang lama. Pertimbangan lainnya, saat bebas dari hukuman, Puskas juga akan berusia 31—umur yang tak lagi muda untuk seorang pesepakbola.

Tahu itu, Puskas lantas pasrah dengan keadaan: ia hidup sekenanya dan membiarkan lemak menyelimuti tubuhnya. Kemudian, tidak seperti bos-bos klub Eropa lain, Presiden Real Madrid Santiago Bernabeu tiba-tiba datang membawa tawaran sebesar 100 ribu dolar Amerika untuk menggunakan jasa Puskas.

Dalam Fear and Loathing in La Liga: Barcelona vs Real Madrid (2015), Sid Lowe menceritakan bahwa Puskas semula tak percaya dengan tawaran tersebut. Tapi Bernabeu akhirnya berhasil meyakinkan sang pemain.

“Aku terlalu gemuk, aku benar-benar tidak akan bisa lagi bermain,” kata Puskas kepada Bernabeu. “Aku seukuran balon raksasa… Lihatlah? Aku setidaknya kelebihan 18 kilo.”

Infografik Mozaik Puskas

Infografik Mozaik Puskas sang predator kotak penalti. tirto.id/Nauval

Bernabeu menjawab enteng bahwa itu adalah masalah Puskas bukan masalahnya. Setelah itu, saat pelatih Madrid Luis Carniglia juga mempertanyakan keputusannya, sang bos hanya mengatakan, “Buat dia kembali bugar.”

Masih menurut Sid Lowe, Puskas lantas berusaha keras untuk menjawab pertaruhan Bernabeu. Ia biasa berlatih dengan mengenakan mantel plastik yang dibalut jaket untuk segera mengurangi berat badannya. Dan secara konsisten, meski matahari bulan Agustus sangat menyengat, Puskas mampu melahap setiap menu latihan.

Hasil latihan itu ternyata mujarab. Tidak hanya kembali seperti sedia kala, bersama Alfredo di Stefano, Puskas akhirnya mampu mengembalikan kedigdayaan Madrid di Spanyol dan Eropa.

“Puskas selalu mencetak lebih dari dua puluh gol pada enam musim pertamanya bersama Madrid dan ia menjadi top skorer liga Spanyol sebanyak empat kali. Dalam 39 kali penampilannya di Piala Champions Eropa (saat ini dikenal sebagai Liga Champions Eropa), ia juga mampu mencetak gol sebanyak 35 kali,” tulis Sid Lowe.

Selain itu, selama delapan musim berseragam Madrid (1958-1966), jumlah piala yang dipersembahkan Puskas juga tak sedikit: lima gelar liga Spanyol, tiga gelar Piala Champions, satu gelar Piala Spanyol, dan satu gelar Piala Interkontinental.

Dari sekian banyak penampilan hebatnya saat berseragam Madrid, salah satu yang paling dikenang ialah saat Madrid membabat Frankfurt dengan skor 7-3 di final Piala Champions 1960. Dalam pertandingan yang berlangsung di Hampden Park, Skotlandia itu, Madrid bermain luar biasa—sampai-sampai mendapatkan pujian banyak orang.

Alex Ferguson muda, yang saat itu menonton dari tribun, menyebut pertandingan tersebut sebagai “salah satu pertandingan terbaik sepanjang hidupnya.” BBC terus menayangkan ulang pertandingan itu selama Natal karena tak pernah sepi peminat. Sementara itu, saat ada yang menyebut “Madrid tampil layaknya malaikat”, pemain-pemain Madrid masih banyak yang tak percaya dengan penampilan mereka hari itu.

“Kami melihat satu sama lain dan berpikir: ‘Apakah ini benar-benar terjadi?’ Namun begitu kami melangkah, aku langsung ingat bahwa fans Skotlandia menyambut kami dengan tepuk tangan meriah,” kata Canario, gelandang Madrid.

Ferenc Puskas, yang meninggal pada 17 November 2006, tepat hari ini 13 tahun lalu, ialah bintang kemenangan Madrid dalam laga itu. Ia mencetak empat gol dan membuat pertahanan Frankfurt menjadi debu.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Ivan Aulia Ahsan