Menuju konten utama

Fenomena Bediding, Cuaca Dingin & Penjelasan BMKG Soal Penyebabnya

Fenomena bediding adalah suhu udara yang terasa lebih dingin saat menuju puncak musim kemarau.

Fenomena Bediding, Cuaca Dingin & Penjelasan BMKG Soal Penyebabnya
Ilustrasi Cuaca Dingin. foto/istockphoto

tirto.id - Suhu udara yang lebih dingin akhir-akhir ini terasa pada malam hingga pagi hari di Jawa hingga NTT. Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto saat dihubungi redaksi Tirto membenarkan bahwa saat ini suhu udara memang secara umum lebih terasa dingin.

"Yang terasa lebih dingin secara umum wilayah Indonesia bagian selatan," ujarnya.

Suhu udara yang lebih dingin ini oleh sebagian masyarakat di Jawa juga dikenal dengan istilah bediding. Lantas apa sebenarnya fenomena bediding dan apa penyebabnya?

Apa itu fenomena bediding?

Siswanto menjelaskan, fenomena 'bediding' adalah suhu udara yang terasa lebih dingin saat menuju puncak musim kemarau karena lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika dan atmosfer fisis dekat permukaan bumi.

Fenomena ini menurut Siswanto juga merupakan hal yang biasanya terjadi tiap tahun, bahkan ini pula yang nanti dapat menjadikan beberapa tempat seperti di Dieng dan dataran tinggi lainnya, berpotensi terjadi embun es (embun upas) yang dikira salju oleh sebagian orang.

Penyebab terjadinya fenomena bediding

Menurut Siswanto fenomena tersebut terjadi karena saat ini wilayah Jawa hingga NTT menuju periode puncak musim kemarau yaitu mulai dari Juli hingga Agustus/September.

"Pada periode ini angin yang bertiup dominan timuran dari Benua Australia, membawa masa udara yang umumnya bersifat lebih kering dan lebih dingin, lebih lebih saat ini di Benua Australia sedang menuju puncak musim dingin, demikian juga angin monsun Australia itu melewati perairan Samudera Indonesia yang saat ini suhu permukaan lautnya juga relatif lebih dingin," ujarnya.

Menurutnya suhu udara yang lebih dingin ini masih akan terjadi hingga September mendatang. "Sampai puncak musim kemarau berakhir periodenya, biasanya hingga akhir September," tambahnya.

Ia juga mengatakan, pada saat puncak musim kemarau, umumnya jarang terjadi hujan, tutupan perawanan juga sangat berkurang, sehingga panas permukaan bumi akibat radiasi matahari lebih cepat dan lebih banyak yang di lepaskan kembali ke atmosfer berupa radiasi balik gelombang panjang.

Langit yang juga cenderung bersih awannya (clear sky) akan menyebabkan panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepas ke atmosfer luar. Sehingga akan membuat udara di dekat permukaan terasa lebih dingin terutama pada malam hingga pagi hari.

"Kondisi lebih dingin pada periode puncak musim kemarau ini oleh orang Jawa diistilahkan 'bediding', umumnya berlangsung dari Juli hingga September," katanya.

Ia juga menjelaskan bahwa selain itu, saat ini gerak semu matahari masih berada pada belaham bumi utara, sehingga radiasi maksimum matahari ada di BBU, sementara di BBS radiasinya sedikit lebih rendah.

Jadi meskipun posisi matahari saat ini berada pada titik jarak terjauh dari bumi (aphelion) dalam siklus gerak revolusi bumi mengitari matahari, hal itu tidak berpengaruh banyak pada fenomena atmosfer permukaan.

Baca juga artikel terkait BMKG atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Addi M Idhom