Menuju konten utama

Fakta-Fakta Penting Kronologi OTT KPK Hakim Tipikor Bengkulu

Ketua KPK Agus Rahardjo menjelaskan kronologi dugaan suap hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu terkait putusan perkara korupsi kegiatan rutin di DPPKA.

Fakta-Fakta Penting Kronologi OTT KPK Hakim Tipikor Bengkulu
Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan) dan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan memberikan keterangan pers terkait operasi tangkap tangan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (30/8/2017). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Ketua KPK Agus Rahardjo menjelaskan kronologi dugaan suap hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu terkait putusan perkara kasus dugaan tindak pidana korupsi kegiatan rutin tahun anggaran 2013 di Dinas Pendapatan, Pengelolaan, Keuangan, dan Aset (DPPKA) Kota Bengkulu.

Pada operasi tangkap tangan (OTT) ini, KPK mengamankan enam orang, yaitu Dewi Suryana (DSU) selaku Hakim Anggota di Pengadilan Tipikor Bengkulu, Hendra Kurniawan (HKU) sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Bengkulu, Syuhadatul Islamy (SI) seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau keluarga terdakwa Wilson, DHN sebagai pensiunan Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Bengkulu, S selaku PNS, dan DEN dari pihak swasta.

Berikut fakta-fakta penting terkait kronologi OTT Hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu yang dipaparkan KPK:

1. Tim KPK mengamankan DHN, S dan DEN di rumah DHN dengan barang bukti berupa kuitansi yang bertuliskan "panjer pembelian mobil" tertanggal 5 September 2017 pada Rabu (6/9/2017) pukul 21.00 WIB.

2. Pada Kamis (7/9/2017) pukul 00.00 WIB, tim KPK mengamankan HKU di rumahnya dan pada pukul 01.00 WIB tim KPK mengamankan DSU di rumahnya.

3. KPK mengamankan uang sebesar RP40 juta yang dibungkus kertas koran dan plastik hitam saat tim mendatangi rumah DSU, hakim tipikor, pada Kamis (7/9/2017) pukul 02.46 WIB.

4. Di lokasi berbeda, Kamis (7/9/2017) pukul 10.37 WIB, tim KPK mengamankan SI di Hotel Santika Bogor dan dibawa ke kantor KPK untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

5. Dari OTT ini, Dewi Suryana (DSU) selaku Hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu dan Hendra Kurniawan (HKU) sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Bengkulu diduga menerima suap Rp125 juta terkait dengan penanganan perkara Nomor 16/Pid.Sus-TPK/2017/PN Bgl dengan terdakwa Wilson agar dijatuhi hukuman yang ringan. Syuhadatul Islamy (SI), Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau keluarga terdakwa Wilson yang diduga sebagai pihak pemberi suap.

Untuk kepentingan perkara, kata Agus, tim juga menyegel beberapa barang di ruangan Pengadilan Tipikor Bengkulu, yaitu meja dan file kabinet HKU di ruangan Panitera Pengganti, meja dan file kabinet Hakim Anggota lain di ruangan hakim serta meja dan file kabinet DSU di ruangan hakim.

"Perkara pokok didaftarkan ke Pengadilan Negeri Bengkulu dengan terdakwa Wilson atas dugaan tindak pidana korupsi kegiatan rutin Tahun Anggaran 2013 DPPKA Kota Bengkulu. Jadi, selama proses persidangan keluarga mencoba mendekati hakim lewat panitera, jumlah uang yang disepakati untuk mempengaruhi putusan adalah Rp125 juta," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat konferensi pers tersebut.

Basaria menjelaskan pada Selasa (5/9/2017) dilakukan penarikan uang tunai dari Bank Tabungan Negara (BTN) sebesar Rp125 juta.

"Selanjutnya tanggal 6 September 2017 ketika OTT dilakukan, tim KPK menemukan uang di rumah Hakim DSU sejumlah Rp40 juta," kata Basaria, seperti diberitakan Antara.

Selain itu, kata dia, KPK juga menemukan sisa uang Rp75 juta yang diduga merupakan bagian dari komitmen fee sebesar Rp125 juta di rumah DHN.

"Hal ini masih terus didalami oleh tim KPK," ucap Basaria.

Sebagai pihak yang diduga penerima, DSU dan HKU disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal itu menyebut mengenai hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan sebagai pihak diduga pemberi, SI disangkakan melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal itu menyebut orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp750 juta.

Baca juga artikel terkait OTT KPK atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hard news
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri