Menuju konten utama

Ahmad Boestamam, Keturunan Minang Pendiri Partai Marhaen Malaysia

Ahmad Boestamam adalah tokoh pergerakan Malaysia. Ia mendirikan Partai Marhaen Malaysia saat Sukarno tak lagi jadi Presiden Indonesia.

Ahmad Boestamam, Keturunan Minang Pendiri Partai Marhaen Malaysia
Ahmad Boestamam. FOTO/wikipedia

tirto.id - Dari Luhak Tanah Datar di Sumatra Barat, Raja Kechil datang ke Negeri Perak di Semenanjung Malaya. Dia ikut membuka kampung di Behrang Hulu, dan pernah menjadi tetua kampung. Di rantau, Raja Kechil menikah dengan Rasian binti Haji Abdul Gani. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai lima orang anak, yang salah satunya laki-laki bernama Abdullah Sani.

Anak laki-laki satu-satunya itu lahir pada 30 November 1920. Setelah sekolah agama di kampung, remaja ini pernah sekolah di Anderson School, meski tidak sukses. Dunia tulis-menulis lebih menyita perhatiannya ketimbang belajar untuk menghadapi ujian sekolah. Ia setidaknya pernah mengirim tulisan kepada suarat kabar Saudara, Warta Malaya, dan Majelis. Ia juga pernah bekerja di Warta Perak yang mulai terbit pada Maret 1937, dan di Warta Kinta yang mulai terbit pada Mei 1938. Setelah keluar dari sekolah pada pertengahan 1939, Abdullah Sani bekerja di Penang Saudara.

Minatnya ternyata tak hanya pada jurnalistik, tapi juga pada politik. Menurut Saifullah dan kawan-kawan dalam Pertautan Budaya-Sejarah Minangkabau dan Negeri Sembilan (2017:193), keterlibatannya dalam dunia politik adalah kelanjutan dari keterlibatannya di jurnalistik. Abdullah Sani aktif dalam organisasi Kesatuan Melayu Muda (KMM) yang berdiri pada 1939 dan diketuai oleh Ibrahim Haji Yacoob.

Pergerakan nasional di Malaysia, menurut Zabidin Haji Ismail dalam Pemikiran Politik dalam Novel Ahmad Boestamam (2010:52), ikut dipengaruhi oleh orang macam Tan Malaka yang sama-sama punya darah Minang seperti Abdullah Sani. Di zaman pendudukan Jepang atas Malaysia, Abdullah Sani ikut serta dalam gerakan bawah tanah anti-fasis Jepang.

Ooi Keat Gin dalam Historical Dictionary of Malaysia (2017:60), menyebutkan bahwa Abdulla Sani memimpin Gerakan Kiri Tanahair (KITA). Lalu setelah Jepang kalah dan Inggris kembali, Abdullah Sani bekerja pada Suara Rakyat di Ipoh. Tahun 1945, Abdullah Sani memakai nama pena Ahmad Boestamam.

Pada tahun tersebut, meski tinggal di Malaysia, Ahmad Boestamam menjadi pemimpin muda yang pro Indonesia dan tergabung dalam Partai Kebangsaan Melayu Muda (PKMM). Lalu pada 1946, ia membentuk Angkatan Pemuda Insjaf (API) yang mengobarkan tuntutan kemerdekaan. Tak heran jika ia kemudian dijebloskan ke penjara oleh otoritas Inggris antara 1948 hingga 1955.

Di dalam penjara, Ahmad Boestamam menulis sejumlah novel.

”Kalau dapat saya menyiapkan beberapa buah novel selama dalam tahanan ini, bebas nanti saya dapat mencari penerbit untuk menerbitkannya,” tulisnya dalam Memoir Ahmad Boestamam: Merdeka dengan Darah dalam Api (2004:334).

Maman S. Mahayana dalam Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia (2001:127-128) menyebutkan bahwa konon lima novelnya lahir di penjara dengan judul: Gelap Menjelang Terang, Kisah Semalam, Hayati,Kabus Pagi, dan Pacar Merah Malaya.

"Dalam novel-novel itu, Boestaman banyak mengangkat masalah yang dihadapi bekas tahanan politik dalam kehidupan bermasyarakat,” tulisnya.

Setelah bebas, selain merilis novel, ia juga kembali berpolitik dengan masuk dari satu partai ke partai lain, seperti halnya di dunia surat kabar yang pernah ia tekuni. Boestamam pernah bergabung dengan Parti Rakyat Malaya (PRM). Setelah itu, ia juga pernah masuk Parti Keadilan Masyarakat Malaysia (Pakemas). Tahun 1950-an, ia menjadi anggota parlemen.

Sepanjang aktif di pelbagai partai politik, Ahmad Boestamam agak condong kepada Indonesia. Maka itu, bisa jadi karena sikapnya itulah ia ditahan lagi pada masa-masa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia.

Sebagai pejuang kemerdekaan di Malaysia, Boestamam punya konsep sendiri soal negara yang diimpikannya di tanah Melayu.

Infografik Ahmad Boestamam

Infografik Ahmad Boestamam. tirto.id/Quita

Menurut Abdul Rahman Haji Abdullah dalam Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran (1997:165), Ahmad Boestamam adalah tokoh yang gigih memperjuangkankan Melayu Raya. Dia kerap menegaskan bahwa "Indonesia Raya" adalah lagu kebangsaan dan merah putih adalah benderanya.

Tak cukup itu, pada 20 Juli 1968, ia bahkan membuat gebrakan dengan meninggalkan Parti Rakyat Malaya dan mendirikan Partai Marhaen Malaysia. Partai ini, menurut Chuan Siu Li dalam An Introduction to the Promotion and Development of Modern Malay Literature, 1942-1962 (1975:204), didirikan delapan jam sebelum Ahmad Boestamam berangkat ke London untuk kuliah hukum. Di Lincoln’s Inn, ia gagal menyelesaikan kuliah dan kembali ke Malaysia. Ia selanjutnya memimpin Partai Marhaen Malaysia.

Ketika Boestamam mendirikan partai tersebut, Sukarno sudah tidak lagi menjadi Presiden Indonesia. Partai Marhaen Malaysia hadir sebagai partai sayap kiri. Namun, partai yang ia dirikan bersama Ishak Haji Muhammad ini tidak berumur panjang. Pada 19 Juli 1974, Partai Marhaen Malaysia bergabung dengan Parti Keadilan Masyarakat Malaysia (Pakemas).

Ahmad Boestamam wafat pada 19 Januari 1983. Meski ia punya cita-cita yang berbeda dengan apa yang terwujud kini di Malaysia, tetapi ia tetap menjadi tokoh yang dihormati di Malaysia dan telah dianugerahi Panglima Negara Bintang Sarawak pada tahun 1976 dengan gelar Datuk.

Baca juga artikel terkait MARHAENISME atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh