Menuju konten utama

Exxon Mobil Mengepung Desa dengan "Pertamini"

Exxon Mobil merambah bisnis SPBU mini menyasar desa-desa di Indonesia.

Exxon Mobil Mengepung Desa dengan
Stasiun layanan Exxon di Nashville, Tenn. Exxon Mobil Corp. AP / Mark Humphrey

tirto.id - Bisnis stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Indonesia masih menjanjikan bagi investor swasta. Exxon Mobil termasuk yang ikut merambah bisnis SPBU, setelah sebelumnya Shell, OVO, Total, AKR, BP lebih dulu merambah bisnis hilir ini.

Exxon, perusahaan energi dan migas asal AS tak membangun SPBU ukuran besar pada umumnya. Mereka justru membangun SPBU berukuran mini, dan menyasar konsumen yang berada di pelosok daerah atau belum terjangkau distribusi BBM. Menurut Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Exxon akan membangun SPBU sebagai bagian dari rencana kerja Exxon di Indonesia.

Catatan Kementerian ESDM, Exxon sudah mengoperasikan lima SPBU mini di desa-desa Purwakarta. Luas area lahannya mirip seukuran minimarket, dengan fasilitas satu nozzle di masing-masing SPBU. Saat ini, totalnya sudah 17 SPBU mini Exxon beroperasi di Jawa Barat, seperti Karawang dan Cikarang. Dari 17 SPBU itu, sekitar 12 SPBU menggandeng investor perorangan. Sisanya, bekerjasama dengan perusahaan lain sebagai pengelolanya.

Investasi SPBU mini memang minim dibandingkan SPBU skala besar. SPBU mini hanya butuh modal sekitar Rp40 juta. Sedangkan SPBU besar (Pertamina) butuh modal sekitar Rp5-8 miliar.

Pihak regulator mengklaim, Exxon akan membangun ribuan SPBU mini dalam waktu 2-5 tahun mendatang. “Kalau 1 (SPBU besar) tidak ekonomis. Kalau 100 atau 10.000 itu lebih komersial karena mereka jual BBM-nya kecil-kecil (volumenya),” kata Direktur Bahan Bakar Minyak BPH Migas Patuan Alfon.

Dukungan regulator terhadap bisnis Exxon membangun SPBU mini di pelosok daerah alasannya untuk memberi ruang kompetisi para pelaku bisnis. “Ini juga untuk mengembangkan iklim kompetisi bagi pelaku usaha niaga BBM dalam memberikan layanan, mutu dan harga terbaik bagi konsumen,” kata Rizwi Hisjam, Direktur Hilir Migas Kementerian ESDM kepada Tirto.

Erwin Maryoto, Vice President Public and Government Affairs Exxon Mobil Indonesia, saat dimintai keterangan oleh Tirto tak merespons soal rencana aksi bisnis SPBU mini.

SPBU Mini Legal?

Aturan SPBU mini baru dimulai pada 2015. Namun, SPBU mini sudah lebih dulu populer sejak 2013. Kala itu, banyak penjual bensin eceran yang menggunakan dispenser, lengkap dengan selang dan mulutnya (nozzle).

Konsepnya mirip dengan SPBU, orang-orang kemudian menamakannya "Pertamini" atau plesetan dari Pertamina Mini. Meski begitu, usaha ini sesungguhnya bukan bagian dari PT Pertamina (Persero) dan dimasukkan ke dalam kelompok bisnis yang ilegal.

Meski statusnya ilegal, keberadaan SPBU mini ini terus menjamur, terutama di pelosok daerah terutama di pedesaan. Kehadiran SPBU mini ini menjadi solusi masyarakat pedesaan yang membutuhkan BBM dengan jarak yang dekat. Biasanya SPBU besar ada hanya di pusat kecamatan saja.

BPH Migas lantas mengeluar beleid untuk mengatur SPBU mini. Beleid itu tertuang di Peraturan BPH Migas No. 6/2015 tentang penyaluran jenis BBM tertentu dan jenis BBM khusus penugasan pada daerah yang belum terdapat penyalur.

Dari aturan itu (PDF) memungkinkan didirikannya "Pertamini", yakni pedagang BBM dengan modal kecil, tapi peralatan dan keberadaannya aman. Selain itu, takaran dan kualitas BBM pun terjamin.

Syarat untuk menjadi sub penyalur sebagaimana beleid Peraturan BPH Migas No. 6/2015 di antaranya seperti pertama, anggota/perwakilan masyarakat yang akan menjadi sub penyalur memiliki kegiatan usaha dagang yang dikelola Badan Usaha Milik Desa. Kedua, lokasi pendirian sub penyalur memenuhi standar keselamatan kerja dan lindungan lingkungan. Ketiga, memiliki sarana penyimpanan dengan kapasitas paling banyak 3.000 liter dan memenuhi persyaratan teknis keselamatan kerja.

Keempat, memiliki atau menguasai alat angkut BBM yang memenuhi standar pengangkutan BBM. Kelima, memiliki peralatan penyaluran yang sesuai dengan persyaratan teknis dan keselamatan kerja. Keenam, memiliki izin lokasi dari pemda setempat untuk dibangun sub penyalur. Ketujuh, lokasi sarana sub penyalur secara umum berjarak minimal 5 km dari lokasi penyalur berupa Agen Premium dan Minyak Solar (APMS) terdekat atau 10 km dari SPBU terdekat.

Sejak itu, SPBU mini yang legal bermunculan. PT Garuda Mas Energi (GME) misalnya, selaku penyedia layanan BBM eceran oktan 90 dengan merk G-Lite. Merek ini juga sudah mengantongi lisensi dari Ditjen Migas Kementerian ESDM. GME menyediakan satu perlengkapan booth dengan spesifikasi ukuran 1,12 meter x 1,12 meter x 2,15 meter, dan dilengkapi kanopi, gelas ukur 5 liter, pompa manual, nozzle bensin dan penampung oli. Biaya investasi per booth sekitar Rp15 juta.

Hingga Juni 2018, GME sedikitnya sudah merambah ke 10 kota di Indonesia di antaranya Bogor, Depok, Cirebon, Tangerang, Semarang, Majalengka, Purwakarta, Bekasi, Jakarta, dan Tasikmalaya.

Pertamina juga tidak ingin ketinggalan. BUMN yang dipimpin Nicke Widyawati ini akan merealisasikan pembangunan SPBU mini sebanyak 77.000 unit dalam kurun waktu 5-8 tahun mendatang. Untuk merealisasikan rencana tersebut, Pertamina akan menggandeng BUMDes yang ada di pelosok daerah. Adapun, BBM yang dijual di SPBU mini itu hanyalah BBM yang memiliki RON 92 ke atas atau jenis Pertamax.

infografik Exxon BBM

infografik Exxon BBM. tirto.id/Fuad

Bisnis Menjanjikan

Kendati pemain SPBU mini makin banyak jumlahnya, termasuk pedagang eceran bensin di pinggir jalan, bisnis ritel BBM ini masih menjanjikan. Apalagi, konsumsi BBM terus meningkat setiap tahunnya.

Dalam catatan BPH Migas, konsumsi jenis BBM umum pada 2017 tercatat 55,40 miliar liter atau naik 14 persen dari tahun sebelumnya. Jika ditarik hingga lima tahun ke belakang, rata-rata konsumsi jenis BBM umum tumbuh 19 persen per tahun.

Menurut BPH Migas, masuknya sejumlah perusahaan migas asing ke bisnis SPBU adalah hal yang wajar. Hal itu dikarenakan kebutuhan SPBU di dalam negeri, terutama di luar Pulau Jawa masih jauh dari jumlah ideal. "Siapapun orang yang punya izin [Pembangunan SPBU], dia berhak bikin SPBU. Jadi sah-sah saja. Rasio [SPBU per kilometer] masih jauh sekali kok,” tutur M. Fanshurullah Asa, Kepala BPH Migas seperti dilaporkan Tirto.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas). Menurut Hiswana, masuknya Exxon menandakan bisnis SPBU di Indonesia masih menjanjikan. “Di Jepang, SPBU itu sudah mencapai sekitar 30.000 unit. Sementara Pertamina sekarang ini hanya sekitar 5.500 unit. Jadi peluang itu memang ada,” kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) III Hiswana Migas Juan Tarigan kepada Tirto.

Menurut Juan, membuka SPBU mini di pelosok daerah bisa cukup menjanjikan ketimbang membangun SPBU pada umumnya. Pasalnya, biaya investasi dari SPBU mini itu terbilang sangat murah ketimbang SPBU pada umumnya.

Apalagi, izin yang diberikan pemerintah kepada Exxon juga sangat besar, yakni mencapai 10.000 unit SPBU mini. Secara teori, keuntungan yang diraup nantinya juga tidak kecil. Tentu, masing-masing operator punya analisa dan hitungannya sendiri.

Bicara soal persaingan usaha, Hiswana menilai jika diarahkan oleh regulator tidak menutup kemungkinan persaingan yang ada akan berjalan normal. Namun jika tidak, dikhawatirkan akan fokus di kawasan-kawasan tertentu saja.

“Regulator ada baiknya bisa memetakan. Jika misal Anda mau bangun 10.000 unit, maka bangun sebagian di sini, lalu sebagian di sini, sisanya di sini. Jadi pembangunan lebih merata,” tegas Juan.

Ada aspek lain yang tak kalah penting, kemunculan "Pertamini" oleh pemodal besar seperti Exxon maupun G-Lite dan lainnya, tentu akan berhadapan langsung dengan pemain SPBU mini perorangan yang selama ini sudah eksis di masyarakat yang modalnya terbatas. Apakah pemodal besar mau berbagi kue?

Baca juga artikel terkait SPBU PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra