tirto.id - Selama pandemi COVID-19 banyak tempat wisata, seperti taman hiburan, museum, dan kebun binatang, yang terpaksa tutup. Penutupan yang acap kali tak bisa dipastikan batasnya itu mengancam kelangsungan hidupnya karena porsi besar pendapatannya bergantung pada tiket pengunjung. Bagi kebun binatang, taruhannya bisa lebih besar karena ikut pula memengaruhi kelangsungan hidup satwa-satwa di dalamnya.
Kebun Binatang Bandung (Bazoga) adalah salah satu contohnya. Bazoga sempat ditutup beberapa kali seiring dengan naik-turunnya situasi pandemi. Selama pemberlakuan PPKM Darurat kali ini pun Bazuga harus kembali tutup. Pemasukan yang berkurang gara-gara penutupan itu membuat satwa di Bazoga terancam kurang pakan.
Manajemen Bazoga bahkan terpaksa membuka kanal donasi untuk memberi makan satwa peliharaannya. Upaya lain yang juga ditempuh adalah memotong gaji pegawai. Kini, Bazoga terpaksa memodifikasi pakan satwa agar dapat berhemat.
“Untuk faktor pakan satwa sekarang adalah titik terendah pakan yang bisa diberikan kepada satwa. bila ditekan lagi kemungkinan akan ada hal-hal atau dampak negatif bagi para satwa. Semua sudah dikaji secara mendalam dan juga dilakukan modifikasi pakan yang ujungnya adalah seperti yang ada pada saat ini," tutur Marketing Communication Bazoga Sulhan Syafi'i, sebagaimana dikutip Detik.
Usai menyimak kasus semacam itu, sebagian dari Anda mungkin berpikir, “Kenapa hewan-hewan itu tidak dilepaskan kembali ke alam saja?”
Orang kira, hewan-hewan kebun binatang itu akan bisa mencari makan sendiri di alam. Masalahnya, itu bukan perkara yang bisa serta-merta dilakukan. Jika hewan dilepas kembali ke alam, kebun binatang tentu harus tutup selamanya karena tak punya fungsi dan daya tarik lagi.
Yang lebih krusial lagi, menurut Dave Neale dariAnimals Asia, hewan-hewan yang tinggal atau tumbuh besar di kebun binatang atau penangkaran sudah tidak lagi memiliki kemampuan bertahan hidup di alam sebagaimana hewan liar. Hewan-hewan yang terbiasa hidup dalam kandang itu membutuhkan proses rehabilitasi yang tentu memakan waktu lama.
“Penangkaran merampas banyak hal dari hewan, mulai dari martabat, kesehatan fisik, hingga kesejahteraan mental mereka. Kehidupan di kandang juga membuatnya kehilangan keterampilan bertahan hidup yang penting,” tulis Neale.
Bab “Why Look At Animals?” dalam buku About Looking (1980) karya John Berger kiranya dapat memberi gambaran bagaimana satwa di kebun binatang termarginalkan. Satwa kebun binatang hidup dalam kandang yang jauh dari realitas dan membatasi geraknya. Di habitat tiruan itu, mereka juga tidak berinteraksi dengan hewan lain sebagaimana di alam.
Lain itu, satwa di kebun binatang juga harus mengikuti rutinitas yang sama sekali tidak natural—bangun pada jam tertentu dan makan pada jam tertentu. Di sana, mereka hanya dilihat sebagai objek. Semua aspek kehidupan mereka, termasuk perkembangbiakan, bahkan diatur oleh para pengelola kebun binatang.
Wahana Senang-senang
Dalam bukunya, John Berger menyebut filsuf Aristoteles telah menjelaskan bahwa hasrat mengoleksi hewan berakar dari pandangan antropomorfik. Manusia melihat hewan memiliki bagian tubuh dan sifat-sifat yang nisbi serupa dengan dirinya. Hewan juga dilihat mempunyai kualitas psikologis yang mirip dengan anak-anak, seperti kepolosan dan ketulusan.
Hal-hal itu dapat menghibur dan membantu manusia melihat aspek dunia yang lebih positif. Tapi, di sisi lain, manusia juga melihat kenaifan hewan yang dapat dimanfaatkan dengan mudah.
Menurut buku Zoo and Aquarium History: Ancient Animal Collections to Zoological Gardens (2001) yang disunting Vernon N. Kisling, sejarah kebun binatang dimulai oleh beberapa bangsawan Eropa sekira abad ke-13. Sejak mula itu, kebun binatang adalah wahana pemuas kesenangan pribadi pemiliknya.
Menagerie, demikian para bangsawan itu menyebut kebun binatangnya. Sebagian besar hewan dalam menagerie itu dibeli dari negara koloni yang jauh atau merupakan hadiah diplomatis dari negara sahabat atau pejabat kolonial. Karena itu, sebuah menagerie tak ubahnya perwujudan gengsi dan status sosial—mirip belaka dengan koleksi benda seni dan budaya.
Salah satu contoh spektakuler untuk itu adalah Vincennes Menagerie milik Raja Louis XIV dari Perancis. Bahkan, pada 1661, Louis XIV juga memulai pertunjukan adu satwa yang melibatkan predator besar, seperti singa, macan tutul, dan harimau, untuk para pejabat dan tamu kerajaan. Ketika istana monarki Perancis dipindahkan ke Versailles pada 1664, Louis XIV juga memindahkan menagerie-nya ke sana.
Menagerie milik Louis XIV di halaman Versailles ini memiliki denah lingkaran yang terbagi atas paviliun-paviliun kandang satwa. Ia dilengkapi jalur bagi pengunjung yang ingin berkeliling. Tempat tidur sekaligus akses masuk ke dalam kandang satwa dibuat tertutup dan ditempatkan di satu sisi kandang, sementara tiga sisi lainnya ditutup jeruji besi sehingga satwa di dalamnya dapat dilihat dan dinikmati oleh pengunjung.
Tata letak dan desain setiap kandang di Versailles Menagerie ini juga diatur sehingga raja dan para tamu kerajaan dapat memandang satwa dari jendela-jendela di Istana Versailles.
Kebun Binatang Edukasi
Pada abad ke-19, kala semangat pencerahan dan sains berkembang pesat di Eropa, muncullah wacana untuk bertindak lebih arif terhadap alam. Inisiatif-inisiatif untuk mendirikan suatu kebun binatang modern yang berfungsi sebagai pusat edukasi publik dan situs riset pun mekar. Berdirinya Zoological Society of London pada 1826 menjadi tengara gerakan ini.
Dua tahun setelah berdirinya Zoological Society of London, London Zoological Gardens didirikan dengan fungsi murni sebagai situs riset. Pada 1831, kebun binatang ini menerima satwa hibah dari Tower of London Menagerie milik keluarga Kerajaan Inggris. London Zoological Gardens akhirnya dibuka bagi publik pada 1847.
Desain London Zoological Gardens semula meniru Versailles Menagerie. Sejak dibuka untuk publik, kandang-kandang satwa didesain ulang agar dapat dilihat dari berbagai sisi. Kandang hewan-hewan jinak dibuat agar bisa dimasuki sehingga pengunjung dapat berinteraksi langsung dengan satwa. Manajemen juga mengadakan tur keliling kebun binatang dan aktivitas hiburan, seperti menaiki gajah atau kereta yang ditarik llama.
Kebun binatang kedua yang juga berperan penting adalah Tierpark Hagenbeck milik pengusaha Carl Hagenbeck Jr. Tierpark Hagenbeck terletak di Kota Hamburg, Jerman, dan dibuka untuk umum pada 1907.
Fitur paling mencolok dari Tierpark Hagenbeck adalah desain kandang satwanya yang dikelilingi parit dan pagar tembok, alih-alih jeruji besi. Hal ini menghasilkan kandang-kandang yang lebih besar, luas, dan bisa diisi lebih dari satu spesies hewan. Kandang itu pun dibangun menyerupai habitat satwa yang lebih realistis, bukan sekadar kerangkeng.
Di Kebun Binatang Hagenbeck itu, pengunjung dapat melihat buaya, burung bangau, ikan, dan lainnya yang bergerak bebas di kandang yang dibuat semirip mungkin dengan habitat tepi sungai. Begitu pun di kandang penguin, beruang kutub, dan anjing laut yang dibangun dengan fitur bongkahan es dan air dingin khas ekosistem kutub.
Dengan desain seperti itu, Tierpark Hagenbeck mengedepankan pertunjukkan habitat-habitat individual, bukan hewan-hewan individual. Desain kandang habitat itu adalah warisan terbesar Hagenbeck yang masih bertahan dan dipakai oleh kebun binatang kontemporer.
Konservasi
Menurut dokumen World Zoo Conservation Strategy (PDF) yang disusun The World Zoo Organization (IUDZG), kebun binatang di abad ke-21 ini perlu menambah lagi perannya, yaitu sebagai agen konservasi satwa. Kebun binatang musti melengkapi inisiatif yang sudah berjalan dengan mendukung konservasi spesies, habitat alami, dan ekosistem.
Dokumen itu menyebut, “Strategi ini sangat menganjurkan integrasi upaya konservasi yang dilakukan oleh kebun binatang dan badan konservasi lainnya.”
Peran konservasi ini mulai digaungkan pada dekade 1970-an. Hulunya adalah gerakan kesejahteraan alam dan hewan yang membawa isu kerusakan iklim dan kepunahan massal ke publik. Kala itu, IUDZG bergerak mengkritik berbagai kebun binatang yang dianggap mengeksploitasi satwa dan menyerukan perubahan fungsi kebun binatang.
Menurut IUDZG, kebun binatang bisa mendedikasikan institusinya untuk konservasi manakala telah memenuhi empat kapasitas.
Pertama, mampu mendukung kelangsungan hidup spesies di luar habitat alaminya. Kedua, mampu memastikan ketahanan spesies yang dikonservasi. Ketiga, mampu menyediakan bioteknologi untuk mendukung inseminasi artifisial dan penyimpanan cryo untuk menyimpan embrio spesies. Terakhir, memiliki sumber daya manusia dan teknologi untuk merehabilitasi kebiasaan individu agar dapat bertahan hidup saat dilepaskan kembali ke alam.
Meski terkesan mulia, tidak semua kebun binatang mampu mengemban peran konservasi. Tak sekadar bertujuan melepas satwa yang lahir dalam program konservasi ke alam liar, kebun binatang juga harus bisa memastikan individu spesies itu mampu bertahan hidup dan berkembang biak secara alami.
Salah satu contoh kebun binatang yang tercatat mampu melakukan hal itu adalah Australia Zoo. Institusi ini menjadikan konservasi spesies sebagai misi utamanya dan saat ini memiliki program konservasi untuk 23 spesies berbeda.
Salah satu kebun binatang di Indonesia yang sukses melakukan upaya konservasi adalah Taman Safari Indonesia. Ia tercatat sukses mengkonservasi harimau Sumatra. Berkat kesuksesan itu, pada 2019, Taman Safari Indonesia dipercaya untuk mengelola dana konservasi satwa senilai Rp131,5 juta dari pemerintah Jepang.
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Fadrik Aziz Firdausi