tirto.id - Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi aktivitas Gunung Anak Krakatau belum mengakibatkan tsunami dalam waktu dekat ini.
Hal itu diketahui dari volume gunung yang semakin mengecil dan posisi kawah letusan yang terjadi cukup dekat dengan permukaan laut. Bila terjadi tsunami, Badan Geologi memperkirakan perlu ada campur tangan sesar Selat Sunda untuk menyebabkannya.
“Sisa volumenya sisa 40-70 meter kubik. Kemungkinan hanya terjadi longsor kecil yang tidak menyebabkan tsunami,” ucap Sekretaris Badan Geologi, Kementerian ESDM, Antonius Ratdomopurbo akrab disapa Purbo pada Sabtu (29/12/2018).
Pengurangan volume tersebut disebabkan karena adanya proses rayapan tubuh Gunung Anak Krakatau dan laju erupsi yang tinggi sepanjang 24-27 Desember 2018. Salah satu akibatnya adalah berkurangnya tinggi Gunung Anak Krakatau yang semula 338 meter dari permukaan laut (mdpl) menjadi sekitar 110 mdpl.
Meskipun per 27 Desember 2018 pukul 06.00 WIB status gunung itu menjadi siaga, pukul 23.00 WIB di hari yang sama Purbo mengatakan telah terjadi perubahan pola letusan.
Data seismograf yang dihimpun lembaganya menunjukkan adanya penurunan aktivitas letusan. Secara visual letusan yang semula menunjukkan dentuman dan asap yang bergumpal, kini hanya menunjukkan asap dengan ukuran kecil dan pola yang terputus-putus.
“Dulu seismograf mencatat jarak antar dentuman rapat-rapat bisa lebih dari 10 kali. Sekarang kecil-kecil dan lebih longgar. Isinya hanya hembusan saja,” ucap Purbo.
Selanjutnya per 28 Desember 2018, lembaganya mencatat sebuah letusan bertipe Surtseyan yang memiliki ciri posisi kawah berada dekat dengan permukaan laut. Karena magma yang dihasilkan bersentuhan dengan permukaan laut maka potensi tsunami yang terjadi juga tergolong kecil.
Meskipun demikian, Purbo juga mengingatkan bahwa meskipun melorot, aktivitas magma yang akan terus berlangsung hingga waktu yang lama tidak menutup kemungkinan bila gunung itu dapat “tumbuh” lagi.
“Posisi permukaan kawah akan dekat dengan permukaan laut jadi potensinya kecil untuk memicu tsunami. Kalau makin kecil volumenya dan tidak lagi muncul ya bagus. Hilang satu gunung,” ucap Purbo.
Selain itu, Purbo juga mengingatkan meskipun kedua faktor sebelumnya seolah menunjukkan penurunan potensi tsunami, masih tersisa 1 faktor yang diduga tetap dapat menyebabkan kejadian itu.
Menurut Purbo, tsunami dapat terjadi bergantung pada reaktivasi sesar yang berada di Selat Sunda sebagai struktur yang sangat kompleks di antara Pulau Sumatra dan Jawa.
Kaitannya, sesar itu dapat memicu aktivitas Gunung Anak Krakatau yang akhir-akhir ini dipantau seolah menurun. Purbo pun mencontohkan gunung Merapi yang semula menurun aktivitasnya, tetapi mengalami peningkatan aktivitas setelah mengalami sesarnya aktif kembali.
Sesar, kata Purbo, sangat terkait dengan mati-hidupnya gunung. Bila sesar mati, maka gunung dipastikan tidak akan aktif dan sebaliknya.
“Apabila tidak terjadi reaktivasi sesar-sesar yang ada di Selat Sunda maka tsunami belum tentu terjadi. Jadi ada pra-kondisi itu yang harus diingat. Sesar memengaruhi gunung,” ucap Purbo.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri