tirto.id - Jumat lalu, ratusan orang memadati sebuah halaman rumah di California, Amerika Serikat. Mereka datang untuk menyaksikan produk terbaru dari Tesla, yakni genting bertenaga surya, hasil kerja sama dengan SolarCity.
Seseorang mengenakan sweater abu-abu naik ke panggung dan memberi presentasi. Ia adalah Elon Musk, direktur eksekutif Tesla. Dengan penuh semangat ia berbicara mulai dari perubahan iklim, hingga Tesla yang ingin menjadi perusahaan dengan produk yang memanfaatkan energi alternatif ramah lingkungan.
Melalui layar besar di belakangnya, ia juga memperlihatkan produk genting bertenaga surya. Semua pandangan yang hadir di tempat itu tertuju ke layar itu, hingga kemudian Musk kembali bicara.
“Hal yang menarik adalah... rumah yang berada di sekeliling kalian merupakan rumah dengan genting bertenaga surya. Apakah kalian menyadarinya?”
Menurut laporan Bloomberg, mereka yang hadir sempat tidak percaya karena atap rumah yang berada di sekitarnya tak seperti berpanel. Ia tampak seperti genting pada umumnya, tapi sebenarnya berbahan kaca bertekstur yang dilengkapi panel fotovoltaik.
Tesla mengklaim genting itu lebih kuat dibandingkan dengan genting pada umumnya. Panelnya menyerap sinar matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik yang kemudian disimpan dalam Powerwall 2 (baterai litium-ion 14-kWh) untuk kemudian dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga.
Menurut Mulk, genting surya itu mampu menyediakan pasokan listrik yang memadai untuk kebutuhan rumah. Bahkan dapat diintegrasikan untuk memenuhi kebutuhan energi mobil listrik. Ini dinilai dapat mengurangi kebutuhan manusia terhadap penggunaan listrik secara konvensional atau energi dari fosil.
“Ini adalah masa depan yang terintegrasi,” kata Elon Musk seperti dilaporkan The Guardian.
Konsep ini bukan hal yang baru. Dow Chemical pernah membangun pasar untuk produk tersebut. Tapi setelah lima tahun berjalan, tepatnya Juni lalu, perusahaan itu menyerah. Produk itu ditinggalkan karena masalah internal perusahaan. Ada juga Energy Conversion Devices yang memproduksi lembar fleksibel bertenaga surya untuk atap, namun perusahaan ini bangkrut pada 2012.
Efisiensi Genteng Surya
Melimpahnya sinar matahari memang menjadi pendorong bagi perusahaan untuk mulai memanfaatkan sumber daya ini sebagai sumber energi baru. Apalagi kebutuhan energi semakin besar. Bahan bakar fosil yang selama ini menjadi tulang punggung dalam memenuhi energi dan listrik dunia memiliki jumlah yang terbatas dan tidak ramah lingkungan.
Maka mereka pun membuat panel surya untuk menyerap sinar matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik seperti untuk penghangat ruangan dan memanaskan air atau kolam. Ada dua jenis panel surya yakni fotovoltaik dan termal.
Fotovoltaik adalah panel surya yang mengubah energi matahari menjadi listrik seperti digunakan produk Tesla. Sedangkan panel termal menggunakan matahari seperti pada produk penghangat ruangan bahkan untuk memanaskan air dalam suatu kolam.
Kadua panel surya ini memiliki efisiensi yang berbeda. Fotovoltaik atau PV memiliki efisiensi hingga 20 persen. Sedangkan panel termal menawarkan efisiensi energi—energi yang bisa digunakan—hingga 90 persen.
Artinya, jika ada 100 watt energi matahari, maka panel surya PV mengubahnya menjadi energi listrik sebesar 20 watt. PV lebih banyak digunakan meski efisiensinya hanya 20 persen, sebab panel termal tak dapat menyalakan lampu meski efisiensinya besar.
Sebuah genting diperkirakan dapat menghasilkan 8-10 watt sehari. Namun itu bukanlah angka mutlak, sebab ada banyak faktor. Menurut pendiri The Eco Expert, Daniel Tobin, hal yang paling mempengaruhi produksi listrik adalah posisi atap rumah. Atap yang tidak dihalangi oleh pepohonan atau bangunan lainnya akan bekerja maksimal.
Tak hanya itu, menurut Daniel, arah serta kemiringan atap rumah pun berpengaruh. Idealnya genting surya bekerja maksimal ketika atap rumah menghadap ke utara atau selatan. Sedangkan untuk kemiringan atap, idealnya 10 atau 60 derajat. Sedangkan orang Indonesia kebanyakan membuat rumah dengan kemiringan antara 30-40 derajat.
Musim juga ikut berpengaruh. Di negara 4 musim, genting surya tentu hanya dapat bekerja maksimal di musim panas karena pasokan sinar mataharinya cukup lama di musim itu. Kala musim lain, produksinya akan menurun. Ini tentu cukup menguntungkan bagi negara dengan dua musim.
Yang terakhir, Daniel menyebutkan terkait ukuran sistem panel surya di genting tersebut. Semakin besar panel surya yang digunakan, akan semakin besar ia memproduksi energi listrik. Tapi tentu saja, semakin besar ukuran sistem panel surya maka harganya akan semakin mahal.
Genting Surya di Indonesia
Indonesia adalah negara yang memiliki potensi energi matahari yang cukup besar karena mendapat cahaya matahari sepanjang tahun. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, potensi energi surya di Indonesia sekitar 4,8 kWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp, namun yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 10 MWp. Seharusnya Indonesia bisa memanfaatkan potensi besar ini.
Pemanfaatan energi surya di Indonesia masih berpusat pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun oleh pemerintah. Sejauh ini PLTS besar di Indonesia baru berjumlah 22 unit yang mayoritas berada di Maluku dan Nusa tenggara Timur (NTT). Untuk yang berskala kecil, pemerintah lebih memilih meletakkan panel surya atau sel surya di atas bangunan tinggi, tapi ini berbeda dengan genting surya.
Genting surya sesungguhnya sudah ada di Indonesia. PT Arta Surya Indogreen adalah perusahaan yang menjual genting surya ini. Menurut Direktur PT Arta Surya Indogreen, Surya Winata, satu genting bisa menghasilkan 8 watt yang dicas selama 4-8 jam dengan menggunakan sinar matahari. Namun harga per gentingnya cukup mahal, mencapai Rp98 ribu. Untuk satu meter atap dibutuhkan 25 buah genting. Tingginya harga disebabkan masih banyaknya komponen sel surya yang diimpor dari luar negeri.
Itu juga yang menjadi kendala pemerintah dalam memanfaatkan potensi energi surya di Indonesia. Meski sudah kuat dalam kebijakan, namun secara teknologi Indonesia baru sampai pada tahap hilir, yakni memproduksi modul surya dan mengintegrasikannya menjadi PLTS. Sel surya yang menjadi komponen utama masih diimpor dan harganya pun cukup mahal.
Dalam pembuatan satu PLTS saja, misalnya PLTS yang berada di Kupang, NTT, pemerintah harus merogoh kantong hingga $11,2 juta atau sekitar Rp150 miliar. Maka, berbagai teknologi pembuatan sel surya sedang diteliti agar harga produksi sel surya bisa ditekan.
Dengan matahari sebagai sumber energi berlimpah dan gratis, penelitian-penelitian itu tentu sangat layak didukung. Apalagi dari 74 ribu desa di Indonesia, masih ada sekitar 12 ribu desa yang gelap tanpa listrik. Ditambah mangkraknya megaproyek pengadaan listrik 35 ribu megawatt.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani