tirto.id - Tidak lama setelah Perang Hunain meletus pada 630 Masehi, Kaisar Heraklius mengembalikan salib suci ke Yerusalem. Ini menandai tercapainya kemenangan Bizantium atas Persia. Sungguh hal yang menggembirakan bagi Heraklius, karena Persia harus mengevakuasi tentaranya dari Suriah dan Mesir.
Namun, di Suriah, suatu bahaya lain segera mengancam Bizantium. Bahaya itu berasal dari kaum Muslim.
Berita kemenangan Bizantium atas Persia memiliki pengaruh penting bagi orang Islam, karena Alquran telah meramalkan kemenangan itu beberapa tahun sebelumnya. Surah al-Rum (Orang Romawi) mendedahkan kekalahan orang Islam (yang terjadi sebelum mereka meninggalkan Mekkah), lantas kemenangan yang akan terjadi antara tiga hingga sembilan tahun berikutnya—"fi bidh’i sinin". Kata bidh’ dalam bahasa Arab berarti bilangan antara tiga dan sembilan (Q.30: 2-5).
Bukan saja kebenaran Alquran telah diperkuat dengan kejadian itu, tetapi berita kekalahan Persia juga membuka kemungkinan perjanjian dengan orang Kristen di utara. Orang Islam sebenarnya baru mengetahui berita kekalahan Persia beberapa minggu kemudian. Dalam masa itu, berita dari utara agak meresahkan hati. Semua berita mengarah pada kesimpulan bahwa Bizantium telah membangun aliansi dengan suku-suku Arab dan mereka sedang mempersiapkan serangan besar-besaran terhadap Muhammad dan pengikutnya.
Menurut Abu Bakr Siraj al-Din (Martin Lings) dalam karyanya, Muhmmad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2017), sebagian kabar ini tampaknya dibesar-besarkan dan sebagian justru tidak benar. Suku-suku Arab Suriah tidak sedang bersiap menyerang. Begitu pula Heraklius. Perjalanannya ke selatan didorong oleh mimpinya tentang “kemenangan kerajaan orang yang dikhitan”. Dia yakin bahwa orang itu adalah Nabi Muhammad SAW (hlm. 460).
Heraklius tidak berupaya lebih jauh untuk meyakinkan rakyatnya perihal mimpinya itu. Dia memilih kembali ke Konstantinopel. Rasa tanggung jawab kepada kerajaan mendorongnya membuat perjanjian damai dengan Muhammad, dan memberikan provinsi Suriah kepadanya. Akhirnya, ide itu dibatalkan.
Namun, Heraklius tidak mungkin mengubah keyakinannya. Dalam perjalanan pulang, ketika mencapai terusan yang dikenal sebagai gerbang Cilician, dia menengok kembali ke selatan dan berkata, “Wahai tanah Suriah, kuucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya (hlm. 461-462).
Sementara itu, Muhammad juga yakin bahwa Tuhan akan membukakan Suriah bagi pasukannya. Entah karena merasa waktunya telah tiba atau karena ingin memberikan semacam latihan bagi tentaranya, dia memerintahkan ekspedisi melawan Bizantium dan mengerahkan pasukan yang terbesar serta terbaik yang ia pimpin sendiri. Sampai saat itu, Muhammad biasanya tidak menyatakan maksud yang sebenarnya dan tetap menjaga pelbagai persiapannya serahasia mungkin. Namun, kali ini tidak ada upaya untuk merahasiakan gerakan ini.
Ekspedisi yang Tak Sia-Sia
Ekspedisi ini begitu berbahaya, sehingga untuk pertama kali Muhammad memberitahukan pada sahabatnya tentang tujuan pengerahan pasukan. Mereka bergerak ke utara untuk mengantisipasi kedatangan pasukan musuh dan, jika perlu, mengejutkan mereka di wilayah mereka sendiri. Musim sedang tidak bersahabat. Pasukan Islam akan menghadapi cuaca yang teramat panas sampai mereka tiba di utara. Pengerahan pasukan kali ini benar-benar massal, dan Muhammad meminta para sahabat untuk memberi kontribusi sebanyak yang mereka mampu untuk membiayai ekspedisi tersebut.
Tariq Ramadan dalam In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (2007) meneroka bahwa Umar bin Khattab memberikan separuh hartanya dan Abu Bakar mempersembahkan seluruh hartanya. Utsman juga menonjol dengan menyediakan kuda untuk separuh kebutuhan pasukan.
Semua unta dan kuda di daerah itu telah dikerahkan, tapi belum juga mencukupi kebutuhan semua pasukan. Maka, Muhammad harus menolak permintaan beberapa sahabat yang ingin ambil bagian. Sebagian dari mereka menangis karena tahu betapa pentingnya ekspedisi itu. Ada dugaan bahwa kekuatan musuh sedemikian besar sehingga masa depan masyarakat Muslim benar-benar terancam (hlm. 320).
Pasukan Islam berangkat ke Tabuk pada akhir Oktober 630 M (bulan Rajab, tahun ke-9 Hijriah). Armada perang itu berjumlah tiga puluh ribu personil dan komando pasukan dipegang langsung oleh Rasulullah. Dia meminta Ali bin Abu Thalib untuk tinggal bersama keluarganya. Tapi Ali dirundung kaum munafik. Ali tidak tahan ejekan itu dan akhirnya pergi menyusul pasukan. Namun, Nabi Muhammad memerintahkan Ali pulang ke Madinah dan memintanya untuk berperan seperti Harun bagi saudaranya, Musa, yang menjadi penjaga kaumnya tatkala dia pergi (hlm. 321).
Seperti telah diduga sebelumnya, panas begitu menyengat dan perjalanan ke utara sangat berat. Empat orang sahabat dekat Muhammad memilih tinggal di Madinah karena tahu bahwa perjalanan akan sangat berat.
Salah seorang di antara mereka, Abu Khaytsamah, merasa sangat menyesal dan sepuluh hari kemudian dia menyusul ekspedisi. Nabi Muhammad sangat gembira melihat kedatangannya, setelah dia sedih akibat keengganan empat sahabatnya itu, yang ditafsirkan sebagai kepengecutan dan pengkhianatan. Abu Khaytsamah dimaafkan ketika mengungkapkan penyesalannya dan desakan hatinya untuk segera menyusul pasukan. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan ketiga sahabat lain, termasuk sahabat dekat Nabi, Ka’b ibn Malik: mereka memilih tinggal di Madinah dan menjalani kesibukan masing-masing.
Pasukan Islam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari, tetapi lama-kelamaan tampak jelas bagi mereka bahwa rumor tentang rencana penyerangan dari utara tidak berdasar. Tidak ada suku yang siap berperang dan tidak ada tanda-tanda kehadiran pasukan Bizantium di wilayah itu.
Selama di Tabuk, Muhammad berhasil membangun aliansi dengan satu suku Kristen dan satu suku Yahudi. Mereka tetap menganut agama masing-masing dan bersedia membayar pajak (jizyah) sebagai ganti atas perlindungan dari kaum Muslim. Dalam konteks ini, jizyah dipahami sebagai pajak militer kolektif yang dibayarkan suku-suku yang tidak ikut serta dalam pertempuran bersama orang Islam, tetapi sebagai gantinya pemerintah Islam akan menjamin pertahanan, perlindungan, dan kelangsungan hidup mereka.
Dari Tabuk, Muhammad mengirim Khalid bin al-Walid lebih jauh lagi ke utara untuk mengepung sebuah benteng orang Kristen dan membentuk aliansi untuk mengamankan jalur menuju Irak dan Suriah. Semua operasi itu berhasil dan Muhammad kembali ke Madinah bersama seluruh pasukan.
Meski sangat melelahkan dan tidak terjadi pertempuran apapun, ekspedisi itu ternyata tidak sia-sia. Besarnya jumlah pasukan menanamkan kesan kuat di seluruh Semenanjung Arab bahwa kemampuan Nabi mengerahkan pasukan memang luar biasa. Kewibawaan dan posisi politik Nabi Muhammad pun semakin kuat.
Mengampuni Mereka yang Pengecut
Menurut Muhammad al-Ghazali dalam Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad (2003), Perang Tabuk hampir menyerupai Perang Ahzab (Khandaq). Pada mulanya kaum Muslim mengalami cobaan yang amat berat, namun berakhir dengan ketenangan, malah menambah kekuatan. Selama 20 hari di Tabuk, Nabi Muhammad memfokuskan perhatian ke seberang Sahara untuk mengawasi gerak-gerik musuh. Namun, setelah melihat bahwa musuh tidak juga melancarkan serangan, dia memutuskan untuk pulang ke Madinah dengan membawa keberhasilan dan kemenangan (hlm. 542).
Kaum Muslim pulang dari Tabuk pada awal Ramadan. Ketika tiba di Madinah, Nabi Muhammad diberitahu bahwa putrinya, Umm Kultsum, telah meninggal dunia. Dia sangat terpukul dan bersedih mendengar kabar itu. Begitu pula Utsman bin Affan, suami Umm Kultsum, yang telah kehilangan istri untuk kedua kalinya (dia menikahi dua putri Muhammad).
Mengenai tiga sahabatnya yang tidak ikut ekspedisi, Muhammad meminta mereka untuk tidak menjauhinya dan mengumumkan bahwa tidak ada satu pun sahabat lain yang boleh berbicara tentang nasib mereka. Lima puluh hari kemudian, turun wahyu yang menyatakan bahwa mereka telah dimaafkan.
Apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit terasa oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari siksa Allah melainkan kepada-Nya saja (Q.9: 118).
Ketika mendengar kabar itu, Ka’b bertanya kepada Nabi Muhammad yang berseri-seri karena gembira, apakah pengampunan itu berasal darinya atau dari Allah SWT. Nabi pun menjawab bahwa ia datang dari wahyu. Kabar tersebut diterima dengan sukacita oleh semua sahabat, yang sebelumnya terpaksa memboikot ketiga saudaranya itu.
Wahyu tersebut juga memberikan sebuah pelajaran berharga. Ia memperlihatkan betapa buruknya sikap mementingkan urusan pribadi dan keengganan untuk mengorbankan diri demi keselamatan kaum Muslim.
====================
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangkaraya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.
Editor: Ivan Aulia Ahsan