Menuju konten utama

Ekosistem Ekonomi Kreatif Indonesia Belum Terbentuk

Ekosistem ekonomi kreatif Indonesia belum terbentuk, sehingga banyak kaum diaspora yang sudah ahli dalam bidang musik, film, teknologi, dan lain sebagainya tidak dapat berkembang di Indonesia. Namun, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) tidak akan segan untuk merangkul kaum diaspora kembali ke Indonesia.

Ekosistem Ekonomi Kreatif Indonesia Belum Terbentuk
Deputi I Bidang Riset, Edukasi, dan Pengembangan menyelenggarakan rapat koordinasi teknis pelaksanaan survei khusus ekonomi kreatif di 34 Provinsi pada 20-22 Juli 2016 di Yogyakarta.foto/Bekraf.co.id

tirto.id - Ekosistem ekonomi kreatif Indonesia belum terbentuk, sehingga banyak kaum diaspora yang sudah ahli dalam bidang musik, film, teknologi, dan lain sebagainya tidak dapat berkembang di Indonesia.

Kepala Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), Triawan Munaf mengatakan, kaum diaspora akan dirangkul kembali oleh pihaknya dalam rangka mengembangkan ekonomi kreatif dalam negeri.

Menurut Triawan, kaum diaspora selama ini telah mewakili Indonesia di luar negeri dan sangat ingin berkontribusi langsung dalam pengembangan kreatifitas dalam negeri, akan tetapi dikarenakan ekosistem di dalam negeri belum terbentuk maka mereka tidak dapat kembali begitu saja.

Ia mengambil contoh Joy Alexander, musisi cilik yang sudah kondang di belahan Eropa itu akan sulit berkembang di Indonesia karena tidak ada ekosistem pendukung perkembangannya, dari manajemen sampai lingkungan konser.

“Di luar ekosistem sudah jadi, Joy Alexander contohnya, dia bisa punya schedule konser di mana-mana karena ekosistemnya sudah jadi, begitu di Indonesia dia tidak akan berkembang, nah, ini yang Badan Ekonomi Kreatif harus kembangkan,” kata Triawan, di Yogyakarta, Kamis (21/7/2016).

Ia menambahkan, bakat-bakat yang ada di Indonesia dalam hal mencipta dari musik, film, arsitektur, kriya, kuliner, fashion, dan lain sebagainya perlu dilindungi dan di-moneytisasi. Oleh karena itu, BEKRAF berusaha memberikan pemahaman tentang hak kekayaan intelektual.

“Setiap kreasi harus didaftarkan dan dilindungi, sehingga pemikiran kreatif yang tadinya tidak terstruktur bisa menjadi kesejahteraan untuk manusia dan tidak lagi bergantung pada tambang, gas, dan lain-lain, semua sekarang beralih ke sana, apalagi harga minyak tidak naik-naik,” ungkap Triawan.

Triawan menegaskan, untuk memetakan dan mengembangkan ekonomi kreatif secara lebih komprehensif, pihaknya membutuhkan data-data akurat. Oleh karena itu, pihaknya menjalin kerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menghasilkan beberapa data terkait ekonomi kreatif antara lain klasifikasi aktivitas ekonomi kreatif, data tenaga kerja ekonomi kreatif tahun 2010-2015, data PDB ekonomi kreatif tahun 2015, dan data profil ke enam belas subsektor ekonomi kreatif yang menjadi sasaran utama.

Enam belas sub sektor yang dimaksud antara lain aplikasi dan pengembangan permainan, arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, fashion, film, animasi, video, fotografi, kriya, kuliner, musik, penerbitan, priklanan, seni pertunjukkan, seni rupa, serta televisi, dan radio.

Baca juga artikel terkait EKONOMI KREATIF atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh