tirto.id - Pemerintah tengah mewaspadai dampak ekonomi yang terjadi akibat pelamahan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Cina. Perlambatan ekonomi dua negara maju itu, dikhawatirkan akan mengganggu pemulihan ekonomi dalam negeri.
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia menyebutkan pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan terjun bebas tahun ini menjadi 2,5 persen. Ini lebih rendah dari pertumbuhan pada 2021 sebesar 5,7 persen.
Pelemahan ekonomi ternadi di negeri Paman Sam tersebut disebabkan oleh lonjakan inflasi yang kini sudah mencapai 8,6 persen year on year (yoy). Kenaikan inflasi ini disusul dengan kenaikan suku bunga acuan secara agresif.
Sementara Cina, perlambatan ekonominya dipicu oleh penyebaran kasus COVID-19 yang meningkat sejak awal tahun. Beberapa kota dikunci alias lockdown. Salah satunya Shanghai yang merupakan penopang ekonomi negeri tirai bambu tersebut.
Bank Dunia bahkan memperkirakan ekonomi Cina hanya tumbuh 4,3 persen pada 2022. Pertumbuhan itu jauh lebih rendah dibandingkan 2021 yang mencapai 8,1 persen.
Pelemahan ekonomi di dua negara itu memang tidak bisa dianggap sepele. Sebab ini bisa berdampak kepada neraca pedagangan Indonesia ke AS dan Cina. Apalagi dua negara itu menjadi negara mitra dagang indonesia sejak dulu.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) negara tujuan ekspor Indonesia yang terbesar sampai dengan Mei 2022 adalah Cina dengan nilai 4,59 miliar dolar AS atau 22,95 persen dari total ekspor. Sementara Amerika Serikat sebesar 2,05 miliar dolar AS (10,26 persen).
Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah menilai, resesi hingga pelemahan terjadi belahan negara tidak berdampak signifikan kepada laju ekonomi dalam negeri. Bahkan dia optimistis, Indonesia bisa menjaga pertumbuhan ekonominya dikisaran 5 persen.
"Saya masih optimis kalau indonesia bisa bertahan walau perekonomian global dihantam resesi. Dengan asumsi pandemi mereda," kata Piter saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (17/6/2022).
Piter memahami kondisi ekonomi global dispekulasikan akan resesi dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian di banyak negara maju. Amerika Serikat (AS) misalnya, angka inflasi di negari Paman Sam tersebut melambung tinggi.
Inflasi yang tinggi itu kemudian mengundang kenaikan suku bunga AS atau The Fed. Suku bunga yang tinggi, likuiditas yang kering otomatis akan membuat demand terbatasi dan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
"Kondisi ini berpotensi membawa Amerika mengalami resesi, kontraksi ekonomi selama dua triwulan berturut-turut," kata Piter.
Piter menekankan, resesi terjadi di Amerika tidak menjadikan Indonesia juga resesi. Perekonomian Amerika terdampak negatif oleh tingginya impor di tengah harga komoditas yang tinggi. Sementara Indonesia sebaliknya, harga komoditas yang tinggi membantu ekspor dan mendorong surplus neraca perdagangan tertinggi.
"Amerika memang mitra dagang utama bagi Indonesia, tetapi bukan satu-satunya. Perekonomian Indonesia tidak sepenuhnya bergantung kepada Amerika. Indonesia lebih banyak bergantung kepada Cina," jelasnya.
Pengamat Ekonomi IndiGo Network, Ajib Hamdani menambahkan, agar bisa menjaga pertumbuhan Indonesia bisa fokus dengan program transformasi ekonomi yang menjadi concern Presiden Joko Widodo. Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta orang, nomor 4 besar dunia, Indonesia mempunyai local domestik demand yang sangat besar dalam sebuah ekosistem bisnis.
Bahkan PDB Indonesia menunjukkan masih dalam peringkat 15 di dunia, dengan 1,1 triliun dollar AS. Artinya, kata Ajib, potensi pengembangan ekonomi Indonesia maish sangat terbuka.
Ajib mengatakan, dengan melakukan hilirisasi ekonomi dan peningkatan nilai tambah, maka Indonesia bisa terus bertumbuh ekonominya dalam ancaman resesi global yang ada. Sehingga pertumbuhan ekonomi 5 persen di tahun ini menjadi sebuah keniscahayaan.
"Pertumbuhan ekonomi di akhir tahun 2022, tetap bisa optimis mencapai 5 persen secara agregat," jelasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz