tirto.id - Ran (Sheila Dara Aisha) sesenggukan sendiri di kamarnya yang gelap. Hari itu ia ulang tahun, dan kesepian. Setelah meniup lilin, ia mendengar suara aneh dari luar kamarnya. Ditemani lampu dari buntut raket listrik, Ran berjalan ke luar dan terkejut alang kepalang: ia melihat sebuah telur raksasa berisi seorang pria dewasa bertelanjang dada.
“Mama!” teriak pemuda itu ketika membuka mata, melihat ke arah Ran—yang air matanya belum kering.
Adegan itu lalu dipotong judul pembuka, Eggnoid: Cinta dan Portal Waktu.
Waktu langsung terlempar dua tahun kemudian. Pria setengah telanjang tadi kini dipanggil Eggy (Morgan Oey). Ia tinggal bersama Ran, dan Tante Diani (Luna Maya). Mereka berdua jadi sahabat karib yang mengibaratkan diri bagai pantat dibelah dua.
Kedekatan itu terpampang nyata lewat dialog dan gestur tubuh mereka. Tak akan susah menebak, bahwa keduanya akan segera jatuh cinta. Tapi, yang mungkin agak di luar dugaan adalah seberapa cepat informasi itu datang. Tak sampai sepuluh menit pertama, kita akan melihat tato sayap di dada Eggy bersinar—tanda bahwa si android jatuh cinta pada manusia yang menampungnya.
Sisanya? Kita akan melihat tarik-ulur perasaan antara kedua tokoh utama.
Bosan? Sampai titik itu, saya masih punya harapan baik tentang konflik yang akan mereka hadapi sepanjang sisa film. Sebab, adegan pembuka melempem dan terburu-buru di awal bisa jadi sengaja dihadirkan karena Naya Anindita, sang sutradara, ingin punya ruang cukup untuk menjabarkan banyak gagasan setelahnya.
Sejauh ini ada elemen-elemen menarik yang berpotensi diolah: mesin waktu, masa depan, android, dan isu kesehatan mental.
Toh, Visinema biasanya memproduksi film-film dengan cerita unik dan naskah yang cukup eksploratif. Rasanya tak ada yang salah jika berharap dapat petualangan tak membosankan dari Eggy dan Ran.
Sepanjang tahun ini, Visinema cukup produktif. Mereka membuka tahun dengan remake Keluarga Cemarayang berhasil meraup 1,6 juta lebih penonton, masuk nominasi FFI, dan menang di beberapa kategori, salah satunya Naskah Adaptasi Terbaik. Mereka juga punya Mantan Manten, yang meski tak menarik banyak penonton, cukup berani menjajaki tradisi paes pengantin dalam kultur Jawa—gagasan yang jarang ditarik film-film arus utama. Baru-baru ini ada Love For Sale 2, yang meneruskan cerita unik tentang aplikasi jatuh cinta misterius. Sebelumnya mereka bahkan merilis Terlalu Tampan, yang juga diadaptasi dari webtoon populer seperti Eggnoid, pun berhasil mencuri perhatian dengan tampilan segar.
Sayang, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan tersungkur juga. Meski ini kali kedua mereka mengadaptasi webtoon, Eggnoid tampil kedodoran sekali di bagian pengembangan cerita.
Karakter-karakternya tidak kuat, motivasi dangkal, dan konflik yang remeh-temeh.
Naskah film cuma fokus pada hubungan Eggy dan Ran—yang ingin sekali bersatu tapi dibatasi aturan-aturan. Sayangnya, aturan-aturan itu nyaris klise belaka: sebagai Eggnoid, Eggy tak boleh jatuh cinta pada tuannya. Alasannya tak begitu jelas. Kita hanya diberi informasi bahwa situasi itu akan bikin merusak tatanan sistem yang ada.
"Merusak sistem" beberapa kali terselip dalam dialog dan subplot. Tapi, cuma sekadar lewat. Tak ada elaborasi dan tujuan jelas tentang sistem apa yang sebenarnya dilawan Eggy dan Ran.
Di ujung cerita, ketika Eggy berusaha dapat penjelasan dari penciptanya, jawaban itu juga tak terungkap jelas. Padahal plotnya bukan sedang mengarahkan ke akhir yang misterius dan penuh tanya.
Petualangan Eggy dan Ran berakhir dangkal. Kita takkan dapat apa-apa selain gambaran bahwa Eggy dan Ran adalah dua makhluk egois yang ingin bersatu.
Selain plot yang bolong-bolong, Eggnoid juga punya banyak karakter pendukung yang juga kurang tergali. Misalnya, dua tukang binatu yang dikirim dari masa depan untuk mengingatkan Eggy. Untuk sepasang partner kerja yang punya mesin waktu dan bisa pindah dari masa ke masa, keduanya tampil medioker belaka. Seolah privilese luar biasa itu tidak berdampak pada psikologi dan kedalaman karakter mereka.
Mesin waktu yang dihadirkan juga begitu polos, dan sudah jauh lama ditemukan di masa lalu. Anehnya, ia tak punya dampak apa pun pada konteks dan situasi di tempat Ran hidup. Seolah-olah mesin waktu adalah temuan sederhana yang tak akan mengubah tatanan sistem hidup manusia.
Sepanjang film, saya tak bisa melepaskan imaji Doraemon dan Nobita dari dua tokoh utama Eggnoid. Eggy adalah android, sementara Doraemon adalah robot. Keduanya sama-sama datang dari masa depan untuk menyelamatkan seorang remaja depresi, yang kelak akan jadi sahabatnya. Kisah mereka cuma punya satu perbedaan: Nobita dan Doraemon tak punya kisah asmara seperti Eggy dan Ran.
Bahkan, dua cerita ini juga punya pasar yang sama: cuma cocok ditonton anak-anak di bawah 13 tahun.
Editor: Windu Jusuf