Menuju konten utama

Terlanjur Dijajah Sawit dan Tambang, Sagu Jadi Obat Krisis Pangan

Bulog beralih ke sagu untuk mengantisipasi krisis pangan. Masalahnya sagu tak lagi perkara. Mereka sudah tergantikan tambang dan sawit.

Terlanjur Dijajah Sawit dan Tambang, Sagu Jadi Obat Krisis Pangan
Petani menjemur gabah di Mauk, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (13/4/2020). ANTARA FOTO/Fauzan/hp.

tirto.id - Dampak yang timbul akibat COVID-19 bisa dibilang terjadi di semua aspek. Baru-baru ini, misalnya, Presiden Joko Widodo mengatakan salah satu potensi dari pandemi adalah kelangkaan pangan.

“Pandemi COVID-19 ini bisa berdampak pada kelangkaan pangan dunia atau krisis pangan dunia,” kata Jokowi dalam rapat via telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/4/2020).

Saat itu Jokowi mengutip pernyataan Food and Agriculture Organization (FAO) yang dilansir pada akhir Maret lalu. Mereka mengatakan kelangkaan pangan bisa terjadi karena terputusnya jalur distribusi maupun perdagangan antar negara, serta ancaman cuaca ekstrem yang menyebabkan terganggunya panen.

Kelangkaan pangan memang belum terjadi di Indonesia, setidanya untuk saat ini, tapi indikasi ke arah sana mulai bermunculan. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI Jumat (3/4/2020) lalu, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan Vietnam dan Thailand, pemasok beras Indonesia, sudah membatasi ekspor karena menderita kemarau panjang.

Hal serupa diungkapkan Direktur Utama Bulog Budi Waseso dalam RDP Komisi IV DPR RI Kamis pekan lalu (9/4/2020). “Kami biasa impor [dari] Thailand dan beberapa negara. [Sekarang] mereka sudah membatasi ekspor ke negara lain,” katanya.

Untuk mengantisipasi keadaan semakin buruk, Buwas mengatakan tengah mempersiapkan alternatif pangan. Ia memerintahkan tiap daerah menyiapkan sagu dari wilayah timur Indonesia sembari memaksimalkan penyerapan beras dalam negeri yang panen pada April higga Juni 2020.

“Kami sudah mengolah pangan lain seperti sagu,” katanya.

Menurut Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Kelas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wahyu A. Perdana, di satu sisi salah satu upaya mengatasi krisis ini memang diversifikasi seperti yang diungkapkan Buwas. Namun di sisi lain, jika alternatif yang dimaksud adalah sagu, maka itu akan sulit terwujud. Ketersediaan sagu di sini hampir tinggal kenangan.

Mochamad Bintoro, profesor dari IPB, pada 2019 lalu menyebut "Papua dan Papua Barat merupakan daerah paling potensial" untuk memproduksi sagu. Ia juga menyebut lahan sagu di pulau itu paling luas di antara pulau lain.

Wahyu juga bilang semestinya pulau yang memproduksi sagu terbanyak adalah Papua. Namun, data Kementan menunjukkan produksi sagu di Papua dan Papua Barat hanya 68 ribu ton. Riau-lah produsen sagu terbesar, dengan perkiraan produksi pada 2019 sebanyak 376 ribu ton.

Wahyu mengatakan anjloknya produksi di Papua terkait dengan banyaknya alih fungsi lahan sagu menjadi sawit dan sebagian berubah jadi area pertambangan.

“Kita mau bersandar pada sagu, sagu yang mana? Ini jadi candaan teman-teman di timur. Katanya, ‘makan itu sawit,’” kata Wahyu saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (15/4/2020).

Faktor lainnya adalah kebakaran hutan yang menghanguskan lahan gambut sebagai ekosistem utama sagu. Di Riau sendiri, sebutnya, ada 444 titik panas baru-baru ini yang berpotensi mengancam pasokan sagu. “Masalahnya, sejak beberapa tahun lahan gambut kita rusak,” tambahnya.

Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia Muhammad Nuruddin menegaskan opsi penggunaan sagu untuk alternatif konsumsi pangan masyarakat bakal menemui berbagai hambatan yang justru datang dari kebijakan pemerintah sendiri. Selain konversi lahan sagu di wilayah Papua, Sulawesi dan Kalimantan yang terus terjadi hingga saat ini, masyarakat di seluruh Indonesia sudah tak terbiasa mengonsumsi sagu akibat kebijakan ‘Jawanisasi’ di era Orde Baru--yang memaksa masyarakat beralih menanam dan mengonsumsi beras.

“Kebiasaan konsumsi beras kita di level menengah ke bawah agak susah diganti karena politik beras,” kata Nuruddin kepada reporter Tirto.

Meski demikian, Nuruddin menyatakan pasokan beras Indonesia bisa jadi masih cukup karena dua musim panen selama 2020 bakal berjalan baik. Hanya saja produksinya akan stagnan karena musim kemarau dan pergeseran musim tanam.

Tahun 2019 saja, BPS mencatat kemarau panjang dan cuaca ekstrem telah menyebabkan penurunan produksi sebanyak 2,63 juta ton.

Pasokan beras dari panen pertama dan cadangan Bulog sebetulnya cukup hingga masa panen kedua di September 2020, asalkan, kata Nuruddin, pandemi COVID-19 tak menyebar sampai ke desa-desa dan pusat produksi beras di daerah. Di sinilah pentingnya anjuran agar orang kota tak mudik.

“Belajar dari wabah Ebola 2014, kalau petani terpapar Corona, tidak ada tenaga kerja, produksi di pedesaan bisa turun,” Nuruddin menegaskan.

Baca juga artikel terkait KRISIS PANGAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana