tirto.id - Ini film yang perlu disaksikan dalam kondisi mental dan emosi yang stabil. Pasalnya, di balik keindahan visualnya, kau bakal menemukan plot yang dirancang untuk mengeksploitasi sejumlah karakter anak-anaknya. Singkatnya, cukup menyiksa psikis.
Dawn of the Deep Soul adalah kelanjutan dari serial anime Made in Abyss. Ia merupakan sekuel untuk season pertama anime ini sekaligus prekuel untuk season keduanya, Made in Abyss: The Golden City of the Scorching Sun. Maka kau mesti menonton dahulu season perdananya untuk mengikuti jalan ceritanya (atau menyaksikan film-film kompilasi Journey's Dawn dan Wandering Twilight).
Dawn of the Deep Soulrilis pada 2020 atau selang 3 tahun usai season pertamanya. Pun masih digarap studio Kinema Citrus, disutradarai oleh Masayuki Kojima, dan ditulis naskahnya oleh Hideyuki Kurata. Film inimengkover chapter 26-39 manga seinen berjudul Made in Abyss karya mangaka Akihito Tsukushi.
Kisahnya tentu masih berpusar pada Riko si bocah 12 tahun (disuarakan Miyu Tomita) dan teman cyborg-nya Reg (Mariya Ise). Kini, duo ini ketambahan Nanachi (Shiori Izawa), sesosok narehate (atau 'Hollow'), yang menggemaskan lagi intelek dan lihai berstrategi.
Tambahan personel yang sangat diperlukan lantaran mereka tengah menjelang petualangan yang lebih gila, mengerikan, dan absurd di lubang kolosal alias Abyss.
Yang Kawaii, Yang Melukai
Dawn of the Deep Soulmasih mempertahankan struktur cerita dari serialyang mendahuluinya. Regu anak-anak ini bakal bertemu orang-orang yang mendiami Abyss berikut dengan kisahnya masing-masing, lantas mendapatkan upgrade demi melanjutkan petualangan menuju dasar neraka.
Kali ini, mereka dipertemukan dengan Prushka (Inori Minase), anak sebaya lain yang sepanjang hidupnya dihabiskan dalam muramnya lapis kelima Abyss. Dia hanya bertemankan makhluk serupa kelinci bersayap bernama Meinya. Dari desain karakter Prushka yang distingtif dengan skema warna berbeda dari trio karakter utama, ditambah kepribadian dan motifnya, penonton seakan diberi harapan bahwa Prushka bakal diselamatkan oleh trio protagonis dan kemudian menyongsong petualangan bersama.
Namun, ingatlah bahwa ini Made in Abyssdan karenanya cerita tentu tak bakal berjalan selancar itu. Prushka pada akhirnya tetap menjadi bagian dari tim Riko, tapi dalam wujud berbeda.
Dalam petualangan kali ini, ada cara-cara yang jauh dari kata rasional, tapi sama kejinya dengan season pertama Made in Abyss—atau malah lebih keji. Anak-anak, seperti Prushka, dengan mata berbinar sarat harapan ditulis dalam koridor penceritaan (dan eksploitasi) yang terbilang ekstrem. Akihito Tsukushi jelas paham betul bagaimana memanfaatkan “karakter anak-anak” sebagai senjata penggugah emosi pemirsanya.
Sementara di sisi berbeda, orang dewasa diposisikan sebagai pengeksploitasi (atau sebut saja penyiksa). Begitulahkarakter Bondrewd (Toshiyuki Morikawa), ayah Prushka yang sebelumnya juga bersilang takdir dengan Nanachi, menjadi antagonis utama kali ini.
Bondrewd juga jadi karakter yang memanggul aspek religiusitas dan materialisme secara berbarengan. Di dunia di mana orang-orangnya tak mengenal tuhan, Abyss menjadi pengganti sosok yang diimani sekaligusditakuti itu.
Para White Whistle (level delver/cave raider tertinggi), seperti Bondrewd, naik pitam dan lantas menjadi orang-orang sucinya, kalau bukan figur nabi. Trope ilmuwan gila pun didorong melampaui moralitas, menjadikannya maniak yang tak taat kepada Abyss, memburu relik-relik langka di dalamnya.
Orang ini tak bisa mati. Dia sangat manipulatif, membagi jiwanya ke beberapa tubuh pengikutnya yang superloyal, menggunakan anak mereka sebagai bahan eksperimen, bahkan menggunakan luka mereka sebagai kekuatan. Melalui Bondrewd pula, penonton bakal dapat penjelasasn tentang anomali dunia Abyss.
Di tengah kerumitan gol-gol absurdnya Bondrewd, naratifnya setidaknya sukses menunjukkan seberapa tangguh dan cerdiknya sosok-sosok nyaris-mistis seperti White Whistle. Ketika aspirasi gelapnya sukses dihentikan, Bondrewd dengan enteng mensubstitusi aspirasinya menjadi "kebahagiaan yang tak tertandingi", bahkan mendoakan kesuksesan untuk para protagonisnya.
Ketika menyebut naratif Made in Abyss semacam “hikayat eksploitasi anak” atau semata menjadikan karakter-karakter menggemaskan sebagai umpan, saya sepenuhnya sadar sedang menyederhanakannya. Sebabnya, dalam mencapai simpulan demikian, ada jalan yang dipenuhi sejumlah dilema moral, kedalaman penulisan yang tak biasa, hingga antagonis sekaligus villain yang sialnya sangat cakap.
Mulai Dijejali Informasi
Betul bahwa Dawn of the Deep Soul mempertahankan “formula Made in Abyss”. Namun, ia film ini tetap sebisa mungkin mengeksplorasi apa pun yang bisa dieksplorasi di dalam setiap segmennya.
Tak hanya menciptakan kesinambungan pada ending kisah, tapi juga meninggalkan kesan mendalam untuk penonton sebelum mencapai kelegaan. Ia terus memperdalam petaka dan horor yang menimpa para protagonis anak-anaknya ketika merangsek Abyss lebih dalam.
Ia juga terus menampilkan orang dewasa yang oportunis lagi amoral. Condong depresif, tapi juga anehnya bikin saya merasa lebih siap, lebih kebas ke depannya.
Kadang kala, uraiannya—terutama soal sederet konsep atau apa yang sedang terjadi—tak cukup mudah dicerna. Begitu banyak informasi yang dijejalkan, tapipenonton hanya diberi tempo sebentar untuk memahaminya.
Pada derajat paling mendasar, setidaknya kita bakal mudah mendapati penjelasan tentang proses terciptanya instrumen seperti peluit putih atau apa itu “kutukan” dan “berkah” dalam Abyss. Konsep jiwa di dunia Abyss pun tak kalah pelik; bahwa ia bisa dipenjara, dipercaya dapat ditemui lagi di kemudian hari, juga alusi bahwa jiwa orang terdekat yang telah meninggalkan sebetulnya selamanya menjadi bagian dari kita.
Seiring dengan kompleksitas dunia Abyss yang terekspos, eskalasi kisahnya pun kian jelas terasa. Dalam konteks petualangannya, kita bisa melihat karakter Riko yang tetap “di tengah”, meski dia tak seandal dua temannya dalam banyak aspek. Entah itu perkara kebaikan dan kemurnian hatinya, hingga menyoal transformasi motifnya untuk terus melangkah—kini, dia hanya hendak bertualang bersama dua temannya sampai maut memisahkan.
Animasi pertempurannya cukup mengagumkan dan bisa diikuti, bahkan untuk orang seperti saya yang tak begitu memperhatikan pertempuran. Masih tersedia adegan-adegan disturbing yang bikin ternganga, dengan ragam keanehan menderu.
Dawn of the Deep Soul juga tetap ditopang voice acting memikat dari seluruh seiyuu-nya. Juga konsisten diiringi score dan soundtrack fantastis oleh Kevin Penkin. Dan pastinya, nomor “Hanezeve Caradhina” tetap dilantunkan.
Dawn of the Deep Soul bukanlah sekadar tambahan. Ini kisah yang kanon, jembatan yang mesti dilalui sebelum beranjak ke season kedua seri anime ini. Kendati kompleksitas plotnya agak mengurangi sisi emosionalnya, ia hadir dalam kepadatan yang tepat.
Keunikan menyambung format serial dengan film mungkin agak mengganggu kontinuitas bagi para penonton. Namun, plot di lapis kelima Abyss ini agaknya memang lebih mengena disampaikan dalam medium film.
Perubahan format ini bahkan justru memberikan kesegaran bagi mereka yang mengikut seri ini secara marathon. Menjadikan upaya Riko, Reg, dan Nanachi merebut kembali petualangan mereka terasa lebih telak dalam penyampaian yang lebih ringkas. Formatnya boleh berbeda, tapi pesona saga Made in Abyss bersitetap.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi