Menuju konten utama

Duduk Perkara Korupsi Karen Agustiawan Versi Dakwaan Jaksa

Karen Agustiawan didakwa melawan hukum dalam investasi Pertamina, tapi kuasa hukum merasa jaksa tak menjelaskan niat jahat dalam dakwaan itu

Duduk Perkara Korupsi Karen Agustiawan Versi Dakwaan Jaksa
Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen G Agustiawan (tengah) saat mengikuti sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (31/1/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 31 Januari 2019. Karen didakwa melawan hukum dalam investasi Pertamina yang membuat negara rugi sebesar Rp568,06 miliar.

"Memperkaya Roc Oil Company Limited (ROC Ltd) Australia, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp568.066.000 atau setidak-tidaknya jumlah tersebut," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) TM Pakpahan saat membacakan surat dakwaan.

Jaksa menjelaskan, PT ROC menawarkan akuisisi Blok Masker Manta Gummy di Australia pada 2009 kepada Pertamina. Surat penawaran resmi diberikan ke Direktur Keuangan Pertamina Ferederick St Siahaan.

Ferederick lalu meneruskan penawaran itu ke Manager Merger dan Akuisisi (M&A) Pertamina, Bayu Kristanto dan Senior Vice President Upstream Business Development Pertamina, Gunung Sardjono Hadi. Langkah ini diambil Ferederick tanpa membahas terlebih dahulu dengan dirut Pertamina maupun direksi.

Selanjutnya, Bayu Kristanto langsung menerima penawaran tersebut melalui Surat Nomor: 54/D20000/ 2009-SO tanggal 29 Januari 2009 perihal Expression of Interest dan ditandatangani Gunung Sardjono Hadi.

Jaksa mengatakan hal itu dilakukan tanpa mempedomani Sistem Tata Kelola Investasi dan Kajian yang berlaku di Pertamina.

Selain itu, Bayu Kristianto juga membentuk Tim Kerja Akuisisi Project Diamond yang diduga dilakukan tanpa surat perintah atau dasar hukum apa pun. Salah satu anggota tim itu adalah perusahaan financial advisor, yakni PT Delloite Konsultan Indonesia (PT DKI).

PT DKI kemudian men-due deligence (uji tuntas) penawaran PT ROC dan membuat perhitungan skenario analisa investasi berdasarkan data teknis cadangan minyak. Dalam perhitungan tersebut didapat 2 skenario yang membutuhkan pembuktian lebih lanjut, yakni:

Pertama, diasumsikan cadangan minyak sebesar 19,4 juta barel + gas 239 PJ (Petajoule). Apabila diakuisisi 100 persen, maka nilai aset BMG sebesar 177 juta dolar Amerika Serikat.

Kedua, diasumsikan cadangan minyak sebesar 19,4 juta barel + gas 239 PJ + 24,5 MMBOE (Million Barrels of Oil Equivalent). Apabila akan diakuisisi 100 persen, maka nilai aset BMG 374 juta dolar AS.

Bayu Kristanto meminta PT DKI memasukkan cadangan yang membutuhkan pembuktian lebih lanjut ke dalam Skenario Analisa Investasi. PT DKI menilai hal itu berisiko dan tidak dapat dijadikan dasar dalam berinvestasi. Hal itu disampaikan juga dalam laporan akhir analisa investasi dari PT DKI.

Kendati begitu, Karen tetap menandatangani surat penawaran kepada pihak PT ROC tertanggal 1 Mei 2009 perihal "Bidding Submission For an Interest in the BMG Join Venture." Isinya Pertamina akan mengambil bagian Participating Interest Blok BMG Australia sebesar 10 persen dengan nilai penawaran 30 juta dolar Amerika Serikat.

"Keputusan terdakwa [Karen] untuk mengakuisisi 10 persen PI Blok MG telah mengabaikan hasil Due Diligence Report yang telah dilakukan tim eksternal PT DKI yang menyatakan sangat berisiko tinggi apabila PT Pertamina mengakuisisi PI sebesar 10 persen," kata jaksa.

Karen kemudian melaporkan hal ini di dewan komisaris Pertamina. Dalam laporan itu dikatakan kalau ROC Ltd menyetujui penawaran tersebut selanjutnya tinggal membahas sale purchase agreement.

Akhirnya, sale purchase agreement ditandatangani pada 27 Mei 2009 oleh Ferederick Siahaan yang mewakili PT Pertamina dan Bruce Clement serta Anthony Nielson yang mewakili Anzon Australia.

Namun, jaksa mengatakan sales purchase agreement itu tidak melalui proses review oleh bagian hukum Pertamina sehingga terbuka kemungkinan terdapat klausul yang merugikan perusahaan pelat merah itu.

Pada hari yang sama, dewan komisaris mengirim memorandum kepada direksi. Intinya komisaris mengungkap kekecewaan karena sales puchase agreement ditandatangani tanpa persetujuan dewan komisaris. Ini dianggap telah melanggar anggaran dasar Pertamina.

Dalam memorandum selanjutnya, Dewan Komisaris meminta direksi tidak melanjutkan upaya akuisisi Blok BMG Australia. Sebab, besarnya produksi dan aset cadangan Blok BMG dirasa tidak memadai dan harganya terlalu tinggi. Untuk itu, Dewan Komisaris meminta rapat dengan Dewan Direksi.

Rapat akhirnya digelar pada 9 Juni 2009, dan Ferederick selaku direktur keuangan menghadapi dewan komisaris. Dalam rapat itu komisaris mengatakan jika akuisisi dilanjutkan, Pertamina berisiko dicap sebagai "a poorly managed company".

Namun, Karen selaku dirut melanjutkan kesepakatan akuisisi tersebut.

Karen menyampaikan keputusannya melalui memorandum tertanggal 17 Juni 2009. Pada 23 Juni 2009 Dewan Komisaris membalas memo itu dengan mengirim surat yang intinya menyetujui akuisisi Blok BMG karena sales purchase agreement terlanjur ditandatangani.

Selain itu, dalam surat itu dikatakan penandatangananan sales purchase agreement membuka peluang Pertamina dituntut pihak penjual sebesar 3 juta dolar AS - 51 juta dolar AS. Angka itu diperoleh dari laporan direktur keuangan.

Untuk itu, Dewan Komisaris meminta direksi memantau proses akuisisi dengan cermat dan bebas dari kepentingan pribadi maupun politis.

Akhirnya, Karen memerintahkan Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi untuk membayar akuisisi Blok BMG.

Pembayaran dilakukan melalui tiga tahap, pertama pada 22 Juni 2009 pembayaran deposit 10 persen sebesar 3 juta dolar AS, kedua pada 18 Agustus 2009 pembayaran akuisisi sebesar 28,49 juta dolar AS; ketiga pada 6 Oktober 2009 pembayaran interim period adjusment sebesar 1,99 juta dolar AS.

Akan tetapi, pihak ROC Ltd selaku operator Blok BMG menghentikan operasi Blok BMG pada 20 Agustus 2010. Diduga sejak diakuisisi hingga berhenti beroperasi, Pertamina tidak mendapatkan keuntungan ekonomis dari Blok BMG.

Dalam perkara ini, Karen didakwa telah melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 ayat 1 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayai 1 ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.

Terkait dakwaan jaksa ini, Soesilo Aribowo selaku kuasa hukum Karen Agustiawan menilai perkara kliennya bukan perkara pidana. Menurut dia, yang dilakukan Karen adalah aksi korporasi biasa.

"Saya melihat bukan domain hukum pidana, tapi ini adalah area aksi korporasi biasa," kata Soesilo selepas sidang.

Soesilo menjelaskan, internal Pertamina sudah mengatur saat terjadi masalah dalam investasi, termasuk investasi Blok BMG yang kini jadi persoalan.

"Jadi tidak bisa karena melakukan pelanggaran prosedur-prosedur internal walaupun merugikan negara belum tentu itu merupakan tindak pidana,” kata Soesilo.

Selain itu, Soesilo juga mempertanyakan kenapa Kejaksaan selaku penyidik tidak memeriksa ROC, Ltd, padahal PT ROC diduga merupakan pihak yang menerima keuntungan dari proyek tersebut.

Soesilo pun mengklaim dirinya tidak melihat mens rea (niat jahat) dalam dakwaan yang diuraikan jaksa. Ia juga mempertanyakan perhitungan kerugian negara yang digunakan jaksa.

Di dalam dakwaan disebutkan Karen Agustiawan telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp568,06 miliar. Angka ini didapat dari laporan perhitungan kerugian negara dari Kantor Akuntan Publik Drs Soewarno, Ak.

"Di dalam undang-undang dasar kita, pasal 23E itu hanya satu yang bisa mendeclare [kerugian negara] yaitu hanya BPK," kata Soesilo.

Baca juga artikel terkait KASUS KORUPSI PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz & Mufti Sholih