Menuju konten utama

Dua Alasan Mengapa Militer Filipina Belum Menguasai Marawi

Keberadaan MILF, MNLF dan Partai Komunis Filipina membuat gerak militer Filipina terhambat di Marawi.

Dua Alasan Mengapa Militer Filipina Belum Menguasai Marawi
Warga Negara Indonesia (WNI) yang tergabung dalam jamaah tablig bersiap dievakuasi dengan pengawalan Angkatan Bersenjata Filipina dari Marawi City, Provinsi Lanao del Sur di Pulau Mindanao, Filipina, Kamis (1/6). ANTARA FOTO/Al Jazeera/Adi Guno/WSJ

tirto.id - Sebagai sebuah negara berdaulat yang memiliki komponen pertahanan, apa yang terjadi di Marawi, Mindanao, tentu memicu berbagai pertanyaan terkait posisi dan kinerja pemerintah Filipina.

Sudah hampir 10 hari ISIS menguasai kota Marawi dan sampai hari ini kota itu belum sepenuhnya direbut kembali oleh militer Filipina. Bagaimana mungkin ribuan pasukan dari belasan batalion yang dikerahkan, termasuk dengan pesawat tempur, kepayahan menghadapi pemberontak yang jumlahnya berkisar 400-500 orang?

Pemerintah Filipina, atau militer Filipina, bahkan tercoreng ketika ISIS sukses mempecundangi batalion infanteri mekanisme Filipina. Sabtu lalu (31/5), beredar sebuah foto di mana dua pengangkut personel lapis baja (APC) V-150 4x4 dan GKN Simba 4x4 ditinggalkan begitu saja oleh tentara Filipina.

Dua APC itu sukses dijebak oleh ISIS hingga tersudut, tak bisa bergerak dan dipancing ke titik lokasi IED (ranjau). Penggunaan APC di urban warfare tanpa pengawalan dari infanteri menyebabkan dua APC ini jadi bulan-bulanan milisi ISIS yang menyerang dengan RPG dan senapan mesin berat (SMB) kaliber 50 M2 Browning. Serangan terhadap APC ini bukan kali pertama, saat fase awal serangan, ISIS pun merebut GKN Simba milik polisi anti-teror Filipina.

Kalap di darat, militer Filipina mulai memanfaatkan serangan dari udara. Apes menimpa mereka. Kemarin Jet Marchetti S-211 melakukan friendly fire yang malah menyebabkan 11 tentara Filipina tewas di medan pertempuran.

Pasca insiden ini, Manila memutuskan menunda sementara serangan dari udara. Penggunaan serangan udara di pertempuran kota memang amat berisiko. Terlebih roket yang dipakai adalah FFAR yang lebih cocok dipakai di hostile area atau medan pertempuran terbuka, seperti Irak dan Suriah, bukan area urban seperti di Marawi.

Terhambatnya laju militer Filipina disebabkan banyak hal. Hulu dari semuanya adalah pelbagai urusan politik.

Martial Law yang Bisa Jadi Senjata Makan Tuan

Ketika status darurat militer diberlakukan di Aceh oleh Megawati pada 2003 silam, dengan leluasa Aceh diinvasi 30.000 pasukan TNI dan 12.000 personel polisi. Ini merupakan pengerahan pasukan dan armada perang terbesar Indonesia sejak penempatan militer di Timor Timur pada 1976.

Keleluasaan ini yang tidak bisa didapatkan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, saat memberlakukan darurat militer di Mindanao, Filipina Selatan, sejak 24 Mei lalu. Pengiriman pasukan ke Marawi dilakukan secara bertahap dan terbatas. Keikutsertaan pasukan marinir (top elite di Filipina) dalam operasi pun baru diturunkan mulai kemarin.

Penetapan darurat militer atau martial law menghambat proses dialog antara pemerintah Filipina dengan pemberontak Partai Komunis Filipina (CPP). Organisasi ini adalah momok yang menyusahkan di Filipina selatan sejak dulu -- selain gerakan separatis muslim Mindanao. NPA memiliki basis pasukan kuat di Provinsi Davao Oriental dan Davao del Sur.

Setelah diberlakukannya darurat militer, sehari kemudian secara resmi CPP meminta sayap militer partai - New People's Army (NPA) -- untuk intens melakukan serangan terhadap tentara Filipina. Mereka menganggap penerapan hukum darurat militer dimaksudkan untuk menargetkan pemberontak komunis. CPP juga meminta sayap bersenjata untuk mempercepat perekrutan pejuang pemberontak.

"Tentara Rakyat Baru harus siap untuk mempercepat perekrutan pejuang Merah baru karena undang-undang darurat militer Duterte meyakinkan lebih banyak orang untuk mengangkat senjata melawan sistem busuk tersebut. Partai meminta NPA untuk merencanakan dan melakukan serangan taktis di Mindanao dan seantero Filipina," kata kelompok tersebut. Respon keras CPP-NPA ini memperburuk perundingan damai yang sudah dimulai sejak bulan Februari di Oslo, Norwegia.

Potensi perlawanan keras juga dimunculkan Moro National Liberation Front (MNLF) dan Moro Islamic Liberation Front (MILF).

"Saya pribadi percaya bahwa darurat militer akan memperburuk situasi," ucap juru bicara MNLF, Emmanuel Fontanilla dikutip dari Phillipines Star. "Namun MNLF telah lama meninggalkan kekerasan dan perang dalam mencapai tujuan politiknya," katanya lagi.

Dr. Nathan Gilbert Quimpo, profesor ilmu politik dan hubungan internasional di Universitas Tsukuba, Jepang, dalam kolomnya di Inquire menyebut tindakan Duterte menggelar operasi militer secara terbuka di Mindanao berpotensi membuat konflik antar tentara pemerintah dan milisi MILF dan MNLF akan sering terjadi.

Penyebabnya adalah, dalam hukum darurat militer, Duterte melarang kepemilikan senjata api di Mindanao bagi rakyat sipil. Mereka yang menolak maka berhak dibunuh oleh tentara pemerintah.

"Ini adalah fakta yang terkenal bahwa banyak orang Moro menyimpan senjata mereka sendiri untuk membela diri dan senjata ini biasanya tidak terdaftar. Ini akan jadi masalah," kata Nathatn.

Di sisi lain sikap lunaknya pimpinan MILF dan MNLF bukan jaminan bahwa akar rumput akan mengikuti. Lahirnya Abu Sayyaf Group, Maute Group, Bangsamoro Islamic Freedom Fighter (BIFF) adalah indikasi tersebut.

Munculnya kelompok ekstremis baru di Mindanao biasanya terjadi selama proses perdamaian, ketika muncul kelompok sempalan baru yang tidak merasa puas.

"Abu Sayyaf, lahir beberapa tahun setelah kegagalan Persetujuan Jeddah tahun 1987. BIFF lahir setelah runtuhnya Memorandum of Agreement on Ancestral Domain (MOA-AD) pada 2008. Dan sekarang lahir Grup Maute setelah dikeluarkannya Undang-Undang Dasar Bangsamoro (BBL) untuk pelaksanaan Kesepakatan Komprehensif mengenai Bangsamoro (CAB) tahun 2014," lanjut Nathan lagi.

Respons dari MILF dan MNLF ini langsung disikapi Komando Mindanao Barat (Westmincom) dari Angkatan Bersenjata Filipina. Mereka menegaskan deklarasi itu hanya difokuskan menyasar Grup Maute, Abu Sayyaf dan BIFF.

"Tidak perlu khawatir dengan situasi saat ini karena tentara kita akan diingatkan untuk menegakkan dan menghormati proses perdamaian yang sedang berlangsung antara pemerintah GPH dan MILF yang penuh cinta damai dan MNLF," kata Westmincom dalam sebuah rilis.

Dan respons militer Filipina ini bisa terasa bahwa strategi militer yang diterapkan dalam pertempuran Marawi dikerangkeng sendiri oleh prinsip kehati-hatian.

Memang Berani Memerangi ISIS di Kandang MILF?

7 Oktober 2012, pemerintah Filipina dan MILF menyetujui kesepakatan baru terkait daerah otonomi bangsa Moro di Filipina Selatan. Di pulau Mindanao, dua provinsi yang masuk dalam daerah otonom itu adalah provinsi Maguindanao dan Lanao del Sur.

peta ISIS di philipina

Posisi Marawi yang merupakan ibukota Lanao del Sur membuat militer Filipina kesulitan bergerak merebut kembali kota itu. Faktor menghargai sang tuan tumah "MILF" jadi penyebab. Jika menilik dari strategi militer yang diterapkan Manila, mereka memang seolah enggan merebut Marawi dari arah selatan dan timur.

Kecenderungannya militer Filipina enggan melakukan pengepungan dari segala penjuru arah dan lebih memilih mengonsentrasikan pasukan di satu front - menyerbu dari provinsi Lanao del Norte. Provinsi tersebut terletak di utara dan berada di luar daerah otonomi Bangsa Moro.

peta ISIS di philipina

Strategi ini memang sukses mendorong Maute Group dkk., bergeser ke arah timur kota dan terpisahkan oleh sungai Agus. Pertempuran sengit terjadi beberapa hari terakhir ketika ISIS berupaya mempertahankan Jembatan Mapandi yang merupakan akses penghubung kota bagian barat dan timur.

Marawi akan mudah direbut jika militer Filipina memaksa ISIS bertempur di dua front sekaligus: barat dan timur. Medan terjal pengunungan Piapayungan mungkin jadi dalih kenapa front timur tidak dibuka. Meski begitu, efek serangan kejut dari belakang ini tetap bisa dilakukan jika militer mau memutari danau Lanao ke arah selatan melintasi kota Ganassi, Lumbayanague, Tamparan, Taraka, Mulondo dan menyerang lewat backdoor di Buadiposo-Buntong.

Jika memutari lewat selatan, waktu yang mesti ditempuh berkisar 3 jam perjalanan. Opsi menyerang dari belakang juga bisa dilakukan pasukan marinir dengan terlebih dahulu melintas danau Lanau dengan speedboat.

Tapi hal ini tidak dilakukan oleh militer Filipina. Strategi ini urung dilakukan karena daerah sepanjang pinggiran danau Lanao adalah teritori MILF.

Sesuai dengan perjanjian damai 2012 silam, pemerintah Filipina membentuk sebuah mekanisme agar setiap kegiatan militer dan penegakan hukum di wilayah yang dikuasai MILF dikoordinasikan terlebih dahulu dengan mereka.

Mutlak Berkoordinasi dan Bekerjasama dengan MILF

Atas dasar itulah tentara tak bisa seenaknya lalu lalang menenteng senjata di area ini tanpa persetujuan dari MILF. Dalih ini yang membikin Duterte menggelar pertemuan dengan MILF di Kota Davao, hari Senin lalu. Hadir dalam pertemuan ini, Ketua MILF, Alhaj Murad Ebrahim.

Duterte membutuhkan betul kerja sama MILF untuk membatasi pergerakan ISIS di timur Marawi agar tidak kabur ke pengunungan Karapaw. Sepanjang pesisir danau Lanao, MILF memilik banyak kamp militer seperti di kota Lumbaca-unayan, Masiu, Butgi, Lumbatan.

Duterte, dalam kunjungannya ke sebuah kamp militer di Jolo, Sulu akhir pekan lalu, memang mengajak MILF ikut serta angkat senjata memerangi Maute Group cs., di Marawi.

"Saya mengumumkan kepada semua tentara MI[LF] dan MN[LF], jika [operasi militer] akan memakan waktu lama dan Anda ingin bergabung, saya menawarkan untuk bergabung menjadi tentara saya dengan bayaran yang sama dan hak istimewa yang sama. Dan saya akan membangun rumah untuk Anda di beberapa daerah," kata Duterte.

Wacana kerjasama militer ini masih simpang siur. Dalam pertemuan dengan petinggi MILF, hasil yang disepakati hanya pembentukan koridor perdamaian sepanjang 73 kilometer. Koridor ini membentang dari Marawi hingga ke Malabang - sebuah kota di pesisir selatan Teluk Iliana,

"Koridor perdamaian" adalah tempat yang aman untuk menjamin keamanan warga sipil dan kelompok kemanusiaan di tengah krisis teror di Kota Marawi. "Koridor perdamaian bertujuan untuk mempercepat operasi penyelamatan dan kemanusiaan untuk warga sipil yang masih terjebak di zona konflik di Marawi," kata juru bicara Presiden, Ernesto Abella.

Dari perjanjian ini diketahui bahwa MILF tampaknya hanya mau memberikan akses wilayah mereka untuk hal kemanusiaan, bukan akses untuk menggelar operasi militer.

Sementara itu, mantan kombatan Jama'ah Islamiyah yang malang melintang beraksi di Filipina Selatan, Ali Fauzi Manzi mengakui bahwa medan pertempuran di Mindanao memang sulit ditaklukan. Faktor ideologi yang bertentangan dengan Manila yang berlangsung selama berabad-abad jadi sebab, sekecil apapun tindakan represif militer akan disikapi secara reaktif. "Konflik di Mindanao itu bukan 10-20 tahun, tapi berabad-abad sejak zaman penjajahan Spanyol. Dendam kesumat sudah mendarah daging di penduduk Mindanao," katanya kepada Tirto.

Sosok yang kini menggagas Yayasan Lingkar Perdamaian - sebuah lembaga yang membantu anak-anak, janda dan mantan napi kasus terorisme- menambahkan selain alasan di atas, faktor korup akut di tubuh militer Filipina jadi sebab Marawi akan sulit ditaklukan.

"Pengalaman saya di sana seperti itu, ketika konflik terjadi banyak senjata dijual oleh mereka kepada pemberontak, ini ironis sekali. Di lain sisi peredaran senjata di sana cukup masih. Dengan mudah Anda mendapatkan senapan M-16, AK-47 atau granat. Kalau ingin hentikan perlawanan harus ada cut peredaran senjata," imbuhnya.

Baca juga artikel terkait PERTEMPURAN DI MARAWI atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Hukum
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Zen RS