tirto.id - Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Fraksi PPP Achmad Baidowi meminta Presiden Joko Widodo mengirim surat resmi kepada DPR RI soal pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Peraturan ini memicu pro dan kontra beberapa hari terakhir.
"Karena DPR berkirim surat resmi kepada pemerintah, maka sebaiknya sikap pemerintah juga disampaikan secara tertulis. Apakah mau menunda, menolak atau menyetujui pembahasan," kata Awiek, Selasa (16/5/2020) sore.
Jika pemerintah menolak pembahasan, itu artinya RUU HIP dikembalikan ke DPR dan tidak ada pembahasan lebih lanjut, katanya. "Jika disusun kembali, DPR punya kesempatan luas untuk menampung aspirasi. Mekanismenya sudah diatur dalam UU 12/2011 jo UU 15/2010," tambahnya.
Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan pemerintah menunda pembahasan RUU HIP. Mahfud mengatakan keputusan ini diambil langsung oleh Jokowi usai memimpin rapat terbatas dengan para menteri, Selasa (16/6/2020).
"Sesudah Presiden berbicara dengan banyak kalangan dan mempelajari isinya, maka pemerintah memutuskan untuk menunda atau meminta penundaan kepada DPR atas pembahasan rancangan undang-undang tersebut," kata Mahfud di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (16/6/2020).
Pemerintah juga meminta DPR sebagai pengusul RUU HIP ini untuk lebih dulu berdialog dan menyerap aspirasi publik.
Sejumlah ormas Islam menolak peraturan ini dengan beragam alasan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, menolak lantaran RUU ini tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pelarangan setiap kegiatan maupun pahamnya. Mereka juga menilai RUU HIP telah mendistorsi tafsir Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya.
"Tafsir baru dalam bentuk RUU HIP justru telah mendegradasi eksistensi Pancasila," kata Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Ikhsan Abdullah kepada reporter Tirto, Senin (15/6/2020).
Sementara pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti mengatakan RUU HIP banyak mengandung pasal-pasal yang tidak lazim, yaitu hanya bersifat pernyataan, definisi, hingga political statement.
"Memang biasanya ada pasal definisi dan asas, namun setelahnya ada pasal-pasal mengatur perilaku. Ini tidak lazim," kata Bivitri, 8 Juni lalu.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino