tirto.id - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Nasir Djamil mempertanyakan standard operational procedur (SOP) penangkapan terduga teroris oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Kepolisian Republik Indonesia. Jika terbukti ada penyiksaan, pihaknya akan membatasi ketentuan penangkapan dalam revisi Undang-Undang (UU) Terorisme.
“Densus 88 seringkali melakukan pendekatan penyiksaan kepada terduga teroris,” kata Nasir, di Jakarta, Rabu (16/3/2016).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengingatkan, selama ini Densus 88 kerap kali melakukan tindakan penyiksaan sejak tahapan penangkapan. Bahkan, tindakan penyiksaan yang dilakukan Densus 88 ini dilakukan dengan menutup mata kepada terduga pelaku teroris, serta memukul bagian tubuh dan kepala dengan senjata.
“Padahal pelaku yang ditangkap belum tentu menjadi tersangka dan bahkan sering terjadi salah tangkap,” ujarnya.
Apalagi, lanjut Nasir, tindakan itu sulit diproses secara hukum karena korban tidak melihat langsung siapa yang menyiksa.
“Saya khawatir, pelaku penyiksaan sulit terungkap karena penyiksaan dilakukan oleh internal Polri, dan kemungkinan sulit mencari saksi di luar polri yang melihat kejadian tersebut," ujarnya.
Karena itu, lanjut dia, dalam waktu dekat, dirinya akan meminta klarifikasi kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Badrodin Haiti serta mempelajari SOP penangkapan Densus 88.
Menurut dia, jika ditemukan ada celah Densus 88 melakukan tindakan penyiksaan, maka Komisi III akan membatasi ketentuan penangkapan dalam revisi UU Terorisme tersebut.
Nasir menegaskan dibutuhkan ketegasan Kapolri untuk mengungkap petugas Densus yang bertugas saat penangkapan Siyono dan diberi sanksi berat.
Sebelumnya, Densus 88 telah menangkap seorang terduga teroris Siyono (34), asal Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kabupaten Klaten pada Rabu (9/3/2016) dan dikabarkan meninggal dunia pada Sabtu, (12/3/2016).
"Kasus tewasnya Siyono mengingatkan saya pada kejadian penyiksaan yang dialami lima orang korban salah tangkap di Poso pada 2013 lalu," kata Nasir.