tirto.id - Henry Rollins, mantan vokalis Black Flag, pada 30 Juli 2015 menulis sebuah nubuat. Amerika, tanah yang dibangun oleh darah dan penindasan itu, menurutnya akan mendapatkan balasan setimpal: seorang presiden rasis, misoginis, dan mengakomodir kebencian. Ia meramal Trump akan jadi presiden. Ia benar, dan kini kita dibuat menunggu: Apa yang akan dilakukan warga negara Amerika usai Trump menjadi presiden?
Beberapa berduka dan berkabung, sementara yang lain bersorak. Mereka yang bersorak menganggap kemenangan Trump sebagai kemenangan Amerika. Kelompok rasis Klu-Klu Klan mengatakan mereka akan melakukan kampanye supremasi kulit putih lagi. Sementara di sisi lain, banyak orang yang ketakutan karena ancaman dideportasi, terusir, dan ditindas. Kelompok seperti masyarakat muslim, imigran dari Meksiko, sampai orang-orang kulit hitam.
Para seniman dan musisi juga bereaksi keras. Kelompok musik hip hop Run The Jewels, yang beranggotakan Killer Mike dan El-P, merilis lagu "2100" yang dikerjakan bersama Boots. Lagu ini, menurut Run The Jewels, tak diniatkan dirilis dalam waktu dekat. Namun sebagai bentuk solidaritas bagi mereka yang ketakutan dan terintimidasi akibat terpilihnya Trump, mereka memutuskan merilisnya di luar rencana awal.
Musik-musik Amerika terbaik lahir dari penderitaan dan penindasan. Henry Rollins menyebut musik blues, gospel dan soul tidak berasal dari hidup yang nyaman. Musikus jenius seperti Billie Holiday tidak lahir dari makan siang gratis dan pelukan hangat. Musik jazz, salah satu ekspor budaya terbaik Amerika, lahir dari penindasan kelompok yang dialami masyarakat kulit hitam.
Di bawah Trump, disinyalir musik-musik Amerika akan menemukan kembali identitasnya. Dan jika cukup beruntung, musik ini akan memberikan semangat perubahan dan solidaritas sesama manusia.
Herry “Ucok” Sutresna, dari kolektif musik Fateh dan Homicide, pernah menggambarkan bahwa musik hip hop terbaik tidak berasal dari dunia yang sempurna. Ia mencontohkan album Public Enemy, Fear of a Black Planet, merupakan anomali dari sebuah zaman yang muram.
Saat musisi lain bicara tentang pesta dan bersenang-senang, Chuck D datang dengan rima yang dilantunkan dengan suara bariton yang khas tentang bagaimana ia menolak panggilan wajib militer dan masuk penjara karenanya. Ia juga bicara tentang konspirasi pemerintah yang memasok narkoba ke lingkungan kulit hitam, perihal CIA yang menyadap telepon, tentang pentingnya pengorganisasian komunitas dan seruan call-to-arms.
Dalam soal Trump, Ucok menyebut bahwa usaha untuk melawan kehadiran Trump melalui musik sudah ada sejak masa kampanye. Banyak band yang merilis lagu anti-Trump.
“Bahkan [band supergrup] Prophets of Rage yg butut itu sebetulnya proyek ngelawan ini,” kata dia.
Sejauh ini yang ia dengar baru Rage Against the Machine yang mempertimbangkan reuni untuk merespons kemenangan Trump. Selama ini komunitas hip hop merupakan kelompok seni yang paling awal merespons rezim Amerika yang baru ini.
“Di grassroot-nya udah meledak malah perlawanannya. Paling besar di Oackland. Di rumah para rapper politis, kayak The Coup dan Paris Dab,” katanya.
Setiap zaman punya musuhnya sendiri dan terpilihnya Trump sebagai presiden adalah momen yang tepat bagi musisi untuk membuat karya yang baik. Ardyan M. Erlangga, editor Vice Indonesia, menyebut bahwa selama dua tahun belakangan industri musik arus utama Amerika Serikat sudah semakin politis, terutama di hip hop dan RnB.
“Kita tunggu saja rilisan terbaru Kendrick Lamar atau Ras Kass. John Legend pun kenceng banget nolak Trump. Jadi ide-ide besar politis bisa saja muncul dari lanskap industri arus utama, dari musisi yang biasanya masuk Billboard,” katanya
Gejala ini bukan hal yang baru. Sejarah musik Amerika Serikat telah mencatatkan banyak gejala serupa. Menurut Ardyan, bagi banyak anak muda generasi milenial di negeri Paman Sam, hari-hari ini terasa seperti kiamat. Tapi sejarah sudah membuktikan, di momen-momen depresif secara politik, budaya DIY (do it yourself) dan counterculture justru tumbuh subur di AS. Jadi, tidak terlalu berlebihan jika kita akan melihat musik-musik politis dan radikal di AS beberapa tahun ke depan.
“Lirik-lirik antirasisme, antifasis, dan antihomofobia saya perkirakan marak empat tahun mendatang. Itu hampir pasti, melihat mood aktivisme belum padam di kalangan pendukung Hillary yang demonstrasi,” katanya.
Menariknya, upaya perlawanan datang dari seluruh aliran dan komunitas musik. Ardyan menyebut pegiat kancah musik alternatif AS adalah kutub yang aktif menolak Trump.
“Jangan lupa, daftar ini tidak cuma dari kancah punk atau hardcore. Pada musim kampanye lalu, Death Cab for Cutie justru sangat aktif menentang pencalonan Trump,” katanya. Bahkan melalui akun media sosialnya, Death Cab for Cutie menyebut konser mereka adalah area netral dan aman bagi kelompok minoritas dan mereka yang menjadi korban rasisme.
Muhammad Abdul Manan Rasudi, dari Primitive Zine, punya pendapat menarik terkait kemenangan Trump dan Brexit. Keduanya adalah momen di mana kelompok kanan meraih simpati dan mendapatkan kemenangan. Dia berpendapat akan ada band-band tua yang akan kembali dan membuat album yang baru.
“Setidaknya auranya ini udah sama kayak tahun 80an,” katanya. Saat itu band politis bermunculan dan membuat banyak album yang bagus.
Saat ini ia berpendapat akan muncul band punk, baik band lama maupun baru, yang akan merespon Trump atau kebangkitan kelompok kanan. Alasannya sederhana. Menurut Manan, punk memiliki sensitivitas lebih soal bigotry dan otoritarianisme. Ia berharap semangat ini akan menular ke seluruh komunitas skena dan tidak hanya eksklusif pada satu kelompok saja.
“Saatnya anak hardcorepunk kembali politis, kagak ngurusin urusan personal dan nangis jadi agak emo-emoan,” katanya.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS & Maulida Sri Handayani