tirto.id - “Hail Hitler!”
Donald Duck menyorakkan kalimat tersebut setiap ia melihat puluhan gambar wajah Adolf Hitler yang dipasang di samping peluru-peluru pada sebuah pabrik pembuatan senjata.
Donald Duck bertugas merapatkan baut yang ada di ujung peluru. Ukurannya berbagai macam. Mesin ban berjalan bekerja sangat cepat. Donald tak bisa istirahat. Apalagi tubuhnya ditodong sejumlah pedang tajam. “Aku udah enggak tahan!” teriaknya. Bulu-bulu yang tadinya rapi mulai berdiri, mata Donald Duck berputar, begitupun lehernya.
Gambar beralih ke sebuah kamar tidur yang tenang. Berhias tulisan "Home Sweet Home" pada bagian kepala tempat tidur. Di sana Donald Duck berbaring mengenakan piama bermotif bendera Amerika Serikat.
Tak lama kemudian ia bangun. Ia kembali mengucap “Hail Hitler!” karena melihat bayangan di dinding. Ternyata bayangan itu ialah siluet pajangan patung Liberty yang ia letakkan di samping jendela kamar. Donald Duck berlari menuju pajangan itu dan memeluknya sambil berkata, “Aku bahagia jadi orang Amerika.”
Tayangan tersebut ialah gambaran film Der Fuehrer’s Face. Walt Disney membuat film tersebut pada 1943, saat Amerika Serikat masih dalam pengaruh masa perang. Film berdurasi hampir delapan menit ini jadi film perang produksi Disney yang paling sukses. Der Fuehrer’s Facememenangkan The Academy Awards dalam kategori film pendek animasi terbaik.
Dari sana Donald Duck dikenal sebagai ikon masa krisis Amerika Serikat. Karakter yang menyemangati para warga di masa-masa gelap.
Setahun sebelumnya, Disney meluncurkan film The New Spirit. Film dimulai dengan menayangkan benda serupa radio tua di dalam rumah Donald Duck. Radio mengabarkan berita bahwa warga Amerika Serikat perlu semangat baru dan bekerjasama untuk melawan ketidakadilan. “Negara membutuhkanmu!” Perkatan ini membuat Donald Duck bersemangat. Ia bergegas mengambil semua benda tajam yang ada di rumahnya. Ia siap ikut perang.
Radio kembali bersuara tentang hal yang lebih penting ketimbang berperang. Donald Duck makin gusar dan penasaran, ia memohon dengan uring-uringan agar diberitahu soal hal penting itu. Ternyata yang lebih penting dari ikut perang ialah membayar pajak penghasilan. Mendengar itu Donald Duck langsung lemas dan kesal. Raut wajahnya segera berubah ketika radio memberitahu bahwa pajak digunakan untuk biaya pembuatan senjata, kapal perang, dan pesawat tempur guna memusnahkan musuh. Cerita berlanjut tentang rincian cara membayar pajak.
“Hanya Donald Duck yang bisa membuat pembayaran pajak jadi hal yang terlihat menyenangkan,” kata Marcia Blitz, penulis buku Donald Duck, seperti dikutip dalam artikel “Send in the Mouse: How American Politicians Used Walt Disney Productions to Safeguard the American Home Front in WWII”.
The New Spirit ditayangkan di 12.000 bioskop dan ditonton sekitar 26 juta warga Amerika. Sekitar 37% penonton mengaku tergerak membayar pajak setelah menyaksikan film tersebut.
Antitesis Mickey Mouse
Donald Duck tercipta saat Disney merasa ia memerlukan tokoh yang bertolak belakang dari Mickey Mouse. Ide mengembangkan karakter bebek muncul saat Disney mendengar Clarence Nash mengisi suara bebek dalam film Mary Had a Little Lamb. Dick Lundy, salah satu animator Disney, memodifikasi gambar bebek hingga tercipta tokoh dengan kostum pelaut. Gaya busana anak-anak yang populer di ujung era 1880-an.
Donald Fauntleroy Duck akhirnya tampil pertama kali dalam The Wise Little Hen pada 9 Juni 1934, tepat hari ini 94 tahun lalu. Di film itu Donald Duck ibarat pemeran pembantu. Sosoknya digambarkan sebagai tokoh jahil, pemalas, dan suka berbohong.
Pada film-film berikutnya, Donald Duck tampil jadi diri yang sebenarnya sebagai sosok yang mudah marah. Ia dikemas sebagai bebek yang arogan, sombong, dan suka mengeluh. Sebagian besar kisahnya menyiratkan perilaku buruk yang membuatnya terlibat masalah.
“Donald Duck sesungguhnya tidak percaya diri. Ia minder dengan kepopuleran Mickey Mouse. Sikap nakal menutupi hal yang sebenarnya ia rasakan. Ia juga punya karakter positif. Donald Duck menyenangkan, hangat, pantang menyerah, dan perhatian pada tiga keponakan dan Daisy,” tulis The Disney Wiki, situs yang dibuat oleh fans berat Disney.
Donald yang Patriotis
Bagi orang yang hidup pada masa krisis dan perang di Amerika Serikat, Donald Duck punya peran yang berarti. The Magic Kingdom, Walt Disney and The American Way of Life (1997) menulis, “Ia bisa melakukan hal yang ingin kami, warga Amerika Serikat, lakukan tetapi tidak bisa kami lakukan. Donald Duck menolak ditekan. Ia melawan lewat kemarahan. Kami yang berada dalam kondisi tertekan di bawah kekerasan, merasa teridentifikasi lewat sosok Donald Duck. Menonton Donald Duck membuat kami membayangkan bahwa kami bisa hidup bebas jika kami berani.”
Buku karya Steven Watts itu juga menyebut bahwa karakter Donald Duck menggambarkan situasi Amerika Serikat sesaat setelah terbebas dari krisis ekonomi yang panjang. “Pada masa itu orang-orang masih berupaya untuk bisa sepenuhnya terbebas dari kesulitan ekonomi dengan segala tekanan yang ada. Sikap Donald Duck yang terkesan percaya diri menutupi rasa inferior seiring dengan segala upaya yang ia lakukan untuk menyingkirkan segala rintangan agar bisa mendapat kebahagiaan.”
Donald Duck terkenal dengan julukan 'jack of all trades'—orang yang tak pernah bisa menekuni satu bidang pekerjaan. Ia dianggap tidak memiliki keahlian apapun. Satu hal yang terus dipegang adalah semangat pantang menyerah. Sikap yang juga dibutuhkan masyarakat Amerika pada masa krisis.
Pada masa Perang Dunia II, Disney mengeluarkan beberapa film yang menyiratkan sikap patriotik Donald Duck. Film tersebut di antaranya Commando Duck, The Old Army Game, Sky Trooper, dan Home Defence. Dalam film-film itu Donald digambarkan sebagai tentara yang frustrasi, sering marah-marah, tetapi tetap melaksanakan semua tugas.
Film-film tersebut tidak membuat Disney mendapat keuntungan besar. Hasil yang diperoleh ialah sosok Donald Duck makin populer dan mengalahkan popularitas Mickey Mouse. Komiknya yang terbit sejak 1942 terus dipublikasikan.
“Popularitas Donald Duck mencerminkan dunia yang brutal, keji, dan digerakkan oleh konflik,” kata Lloyd Morris, seperti yang dikutip Watts.
Editor: Ivan Aulia Ahsan