tirto.id - Para selebriti media sosial, terlebih mereka yang aktif di Instagram, atau sering disebut Selebgram, sudah waktunya bersiap-siap menghadapi para petugas pajak. Hal ini setelah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sudah memastikan akan mengejar potensi penerimaan pajak dari pengguna akun media yang menjajakan barang maupun menawarkan jasa dari pihak lain di media sosial.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama dalam media gathering bersama para wartawan di Malang, Kamis (13/10/2016), yang mengatakan bahwa saat ini DJP sedang membahas bagaimana mekanisme pengenaannya.
"Secara ketentuan itu juga penghasilan kena pajak dan harus dilaporkan dalam SPT [Surat Pemberitahuan Tahunan]. Kita sedang kaji mekanisme pengenaannya," kata Hestu Yoga.
Hestu menjelaskan setiap kegiatan ekonomi yang bisa menghasilkan keuntungan bisa dikenakan pajak oleh pemerintah, termasuk upaya yang dilakukan "selebgram" untuk memasarkan produk tertentu melalui media sosial.
Meskipun demikian, upaya itu tidak terlepas dari sejumlah tantangan. Hal ini karena sistem perpajakan Indonesia masih menggunakan "self assessment" dalam pelaporan SPT dan belum seluruh wajib pajak telah melapor pajak dengan benar.
"Tidak semua orang taat pajak. Ini yang kami pikirkan untuk membuat mekanisme atau mengawasi dengan lebih baik, supaya dengan adanya self assessment mereka tetap tertib dan patuh untuk membayar," ujar Hestu.
Sementara itu, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mendukung langkah DJP tersebut. Ia menegaskan para "selebgram" harus mematuhi kewajiban perpajakan secara benar untuk memenuhi unsur keadilan, meski upaya pemungutan itu tidak mudah dilakukan.
"Memang tidak mudah, kalau dia korporasi gampang saja untuk memotong [pajak], tapi kalau individu, masih susah. Sebelum ke situ, lebih baik ke hulunya, ke 'instagram'-nya atau 'youtube'-nya, karena mereka bisa mendapatkan pendapatan dan iklan. Itu yang belum dipajaki," ujarnya.
Namun, menurut dia, perusahaan teknologi informasi yang bergerak dalam bidang e-commerce atau media sosial masih belum bisa menjadi subyek pajak secara potensial, karena tidak memiliki kantor perwakilan secara resmi di Indonesia.
Yustinus mengatakan negara berpotensi memungut pajak dari bisnis perdagangan elektronik, apabila memiliki data yang akurat terkait potensi penerimaan pajak, seperti Inggris yang baru saja memenangkan gugatan terkait pungutan pajak kepada Google.
"Yang penting kita punya hak. Soal cara adalah nomer dua. Kalau kita punya bukti, misalnya pendapatan Rp5 triliun, bisa kita bicarakan berapa sharing pajak untuk Indonesia. Tapi, sekarang kita belum punya dua-duanya. Karena kalau dipaksakan, BUT seperti sekarang, kita bisa kalah di sengketa pajak," katanya.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara