Menuju konten utama

Diskriminasi dan Rasisme di Asia Timur

Diskriminasi dan rasisme hidup berdampingan dengan penduduk di Asia Timur.

Diskriminasi dan Rasisme di Asia Timur
Anti-rasis Jepang bentrok dengan anggota Zaitokukai (Warga Korea yang punya keistimewaan di Jepang) di distrik Ikebukuro Tokyo. Foto/AFLO

tirto.id - Praktik diskriminasi merupakan fenomena yang sering terjadi di berbagai belahan dunia, tanpa terkecuali. Meski PBB telah mengeluarkan instrumen untuk menghapus praktik rasisme dan diskriminasi rasial, namun praktik rasisme dan diskriminasi masih merajalela di berbagai negara.

Kasus rasisme sesungguhnya berbeda di setiap negara. Hal itu karena adanya perbedaan pengaruh latar belakang budaya dan sejarah dari masing-masing negara. Misalnya rasisme di Amerika Serikat, yang terjadi karena adanya bangsa kulit putih yang merasa menjadi superior dibandingkan bangsa kulit hitam. Tentu kita tak akan melupakan rasisme dalam bentuknya yang paling biadab, yakni peristiwa Holocaust yang dilakukan oleh Rezim Hitler Jerman terhadap ras Yahudi.

Melewati peristiwa sejarah yang ekstrem itu, rupanya rasisme masih hidup hingga sekarang, termasuk di Asia Timur.

Diskriminasi di Jepang

Beberapa waktu lalu Kementerian Kehakiman Jepang merilis hasil survei terhadap ribuan orang asing di Jepang terkait pengalaman diskriminasi dan rasisme di tempat kerja atau di tempat lainnya di Jepang. Survei terkait diskriminasi dan rasisme ini adalah yang pertama kali dilakukan oleh pemerintah Jepang.

Responden pada survei tersebut sebanyak 4.252 baik laki-laki maupun perempuan yang berusia di atas 18 tahun dari 37 kota. Hasilnya, sekitar sepertiga dari responden mengungkapkan bahwa mereka mengalami diskriminasi dalam berbagai bentuk dalam lima tahun terakhir.

Salah satu diskriminasi terhadap warga asing terjadi di tempat kerja. Sekitar 25 persen warga asing yang mencari pekerjaan mengatakan mereka ditolak karena mereka bukanlah orang Jepang dan sekitar 19,6 persen mengatakan mereka dibayar lebih rendah dari rekan-rekan mereka di Jepang untuk pekerjaan yang sama.

Selain itu, sekitar 29,8 persen orang asing yang bekerja di Jepang mengatakan bahwa mereka “kadang-kadang” dan “sering” mendengar penghinaan berbasis ras yang dilemparkan pada mereka. Sebagai orang yang mengungkapkan penghinaan berbasis ras itu datang dari orang asing lainnya, atasan atau bos mereka, rekan kerja dan mitra bisnis serta tetangga mereka.

Sekitar 1826 orang atau 42,9 persen responden juga mengatakan mereka telah melihat atau mendengar laporan tentang ujaran kebencian yang menargetkan ras tertentu atau kelompok etnis melalui media seperti televisi, koran atau majalah dan sekitar 33,3 persen mengatakan mereka telah melihat laporan tentang ujaran kebencian di internet.

“Pidato diskriminasi dan tindakan terhadap orang asing tidak dapat ditoleransi,” kata Menteri Kehakiman Jepang Katsutoshi Kaneda, kepada The Guardian.

Diskriminasi lainnya bagi para warga asing adalah dalam lima tahun terakhir, sekitar 48,1 persen dari mereka telah mencari rumah untuk disewa, dan sekitar 39,3 persen, memiliki pengalaman ditolak karena mereka adalah orang asing.

Di antara contoh-contoh di atas, para responden juga mengatakan ketidaknyamanan mereka karena mendapat tatapan aneh, sering dilecehkan karena kurang mahir berbahasa Jepang serta tak jarang mereka dihindari oleh penduduk setempat di ruang publik seperti di bus, kereta api atau di pusat perbelanjaan.

“Kami percaya survei ini akan memberikan data dasar sebagai kunci bagi kami untuk menerapkan kebijakan guna melindungi hak asasi manusia dari warga asing di waktu mendatang,” kata Menteri Kehakiman Katsutoshi Kaneda, kepada Japan Times.

Kebencian di Korea Selatan dan Cina

Tak hanya Jepang, sebagai salah satu, tetapi bukan yang paling homogen di dunia, Korea Selatan juga memiliki masalah soal diskriminasi dan rasisme. Kebanggaan yang tinggi akan budaya homogen di Korea Selatan menjadi salah satu pemicu munculnya rasisme kepada etnis lain yang masuk ke negara tersebut sebagai pekerja atau mereka yang menikah dengan laki-laki atau perempuan Korea Selatan.

Survei yang dilakukan oleh Seoul Institute pada tahun 2015 mengungkapkan bahwa diskriminasi warga asing dilakukan berdasarkan kebangsaan, penampilan, dan pendidikan. Sekitar 94,5 persen dari 2.500 orang asing menjawab mereka telah mengalami diskriminasi di Seoul.

Hanya sekitar 5,5 persen warga asing yang mengatakan mereka tidak pernah didiskriminasi. Berdasarkan survei tersebut, ada dua jenis diskriminasi yang umum dilakukan yakni karena kebangsaannya yakni sekitar 62,2 persen dan penampilannya sekitar 28,8 persen.

Survei lain dari Hyundai Research Institute mengungkapkan bahwa sekitar 44,2 persen warga Korea Selatan tidak menganggap orang asing sebagai tetangga. Dengan kata lain, mereka tak ingin berdekatan dengan warga asing.

Laporan CNN juga menunjukkan bahwa faksi xenophobia juga terus meningkat dan mereka lebih berani untuk menunjukkan pandangan anti-asing mereka. Mereka juga mengungkapkan jika peluang kerja bagi warga Korea Selatan juga menjadi minim karena adanya pekerja asing. Warga Korea Selatan juga melarang perempuan setempat untuk menikah dengan laki-laki dari negara miskin.

Lain lagi dengan yang terjadi di Cina. Warga asing yang memiliki warga kulit gelap dianggap mencurigakan dan kurang mendapat tempat di Cina karena dikaitkan dengan sifat-sifat yang kurang menguntungkan, sedangkan orang asing dengan kulit putih masih diterima di negara tersebut.

Selain itu, ada juga penggunaan kata penghinaan seperti “little Japanese” atau bahkan “Japanese devils” cukup umum di Cina. Sejarah berdarah antara dua negara terutama soal okupasi Jepang dan kekejamannya terhadap warga Cina menimbulkan kebencian terhadap orang Jepang.

Infografik Diskriminasi & Rasisme di Asia Timur

Mengapa Orang Suka Rasis?

Rasisme menjadi masalah besar yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini. Rasisme sudah eksis dalam kehidupan masyarakat sejak berabad-abad yang lalu. Tindakan rasis yang dilakukan tak jarang berujung tindakan diskriminasi sosial, perbudakan, segregasi atau pembatasan, kekerasan rasial hingga genosida atau pemusnahan ras. Pertanyaannya, mengapa orang suka rasis?

Menurut laman Komisi Hak Asasi Manusia Australia, ada beberapa alasan kenapa orang selalu berlaku rasis. Pertama, kita akan lebih mengikuti pandangan orang lain di sekitar kita. Tak dapat dipungkiri, lingkungan mengambil peranan penting bagi seseorang dalam mengambil keputusan termasuk dalam berlaku rasis agar tetap bertahan dalam lingkungan tersebut.

Kebanyakan dari kita juga menghabiskan waktu dengan orang yang memiliki minat, latar belakang, budaya dan bahasa yang sama. Hal ini akan menciptakan rasa memiliki yang tinggi. Di sisi lain, rasa memiliki yang tinggi ini dapat menyebabkan kita untuk berpikir bahwa kelompok kita adalah yang paling baik dari pada yang lainnya.

Selain itu, kita juga sering menilai atau melabelkan sesuatu kepada orang lain dengan sangat cepat, mulai dari cara berpakaian, atau melabelkan ras lain sebagai pemalas, dan lainnya. Hal inilah yang dianggap menjadi pemicu diskriminasi dan rasis terhadap orang lain termasuk warga asing yang memiliki budaya, bahasa yang berbeda.

Di Indonesia, rasis dapat ditemukan di berbagai tempat. Stereotip terhadap salah satu suku juga tak pernah ketinggalan. Bahkan beberapa waktu lalu, kata “pribumi” ramai diperbincangkan. Selama ini, pembelahan antara pribumi dan non-pribumi adalah pembedaan yang bersifat rasis, terutama untuk orang keturunan Tionghoa.

Manusia, di mana pun ia berada, memang mudah tergelincir ke dalam perilaku rasis. Upaya melawannya, salah satunya, adalah dengan berhenti menganggapnya sebagai kewajaran.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani