tirto.id - Kementerian Keuangan menerapkan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi rumah dengan harga di bawah Rp2 miliar. Sementara PPN 50% jika harga jual rumah di atas Rp2 miliar sampai Rp5 miliar. Keputusan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21 Tahun 2021.
“Ini untuk menyerap rumah-rumah yang sudah siap dibangun dan dijual. Stok rumah akan menurun, permintaan meningkat, sehingga memacu adanya rumah baru lagi,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, Senin (1/3/2021).
Selain memberikan relaksasi bebas PPN, Bank Indonesia (BI) memberlakukan relaksasi rasio loan to value/financing to value (LTV/ FTV) untuk kredit pembiayaan properti maksimal 100 persen mulai 1 Maret hingga 31 Desember 2021. Dengan relaksasi rasio LTV, DP rumah menjadi 0%.
Yasmin Riyasi (27) adalah salah seorang warga yang berminat dengan program yang telah diumumkan hampir satu bulan lalu ini. “Lebih tertarik ke bebas DP itu,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin (22/3/2021). Masalahnya dia belum juga menemukan pengembang yang menawarkan baik bebas PPN maupun DP 0%.
“Udah cari, brosur juga udah dikirim sama beberapa marketing. Cuma enggak ada yang nawarin DP 0% dan juga bebas PPN itu. Nyarinya kok susah ya, padahal Bandung enggak jauh dari Jakarta. Infonya kok enggak pada tahu?”
Hanadi (27) juga berminat dengan stimulus bebas PPN dan DP 0% dari pemerintah. Sebulan lebih dia mencari baik rumah second dan ready stock, tapi tidak juga dapat. “Ribet. Lebih ribet dari urus FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan). Terus baru tahu juga kalau rumah second enggak dapat bebas PPN, enggak bisa DP 0%. Nanya yang ready stock juga harganya di atas (di atas anggaran),” kata dia kepada reporter Tirto, Senin.
“Untungnya selama hunting itu nemu yang subsidi. Ya sudah, akhirnya pilih subsidi,” tambahnya.
Kesulitan para pemburu rumah di atas akan semakin berlipat karena realisasi stimulus ini mengecualikan pekerja di sejumlah sektor. PT BTN, misalnya menyatakan tidak akan memberikan keringanan untuk pekerja yang bekerja di bidang yang rentan terkena dampak COVID-10 seperti sektor retail, pusat perbelanjaan, dan perhotelan.
“Kami juga lihat apakah tempat bekerjanya terkena dampak atau tidak, penurunan gaji atau tidak. Untuk debitur wiraswasta, kami lihat ada penurunan omzet atau tidak. Kalau ada, terpaksa kami tolak,” kata Executive Vice President Nonsubsidized Mortgage & Consumer Division Bank BTN Suryanti Agustinar dalam media briefing dengan Rumah.com, pekan lalu (16/3/2021).
Kebijakan yang diterapkan oleh pihak perbankan, menurut Director Research Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus, diskriminatif. Kebijakan ini jauh dari tujuan awal sebagai insentif. Menurutnya, percuma saja ada insentif yang diberikan pemerintah bila sulit diakses.
“Aneh juga dengar persyaratan itu, enggak sejalan 100% dengan kebijakan ini. Kenapa menganaktirikan pekerja mal dan hotel? Perbankan harus lebih kooperatif, jangan bikin aturan syarat yang susah susah, yang biasa aja, supaya alokasi kredit bank tinggi. Selama ini, kan, alokasi kredit kurang karena bank cari aman. Mbok ya biar ekonomi jalan bank harus garap program ini lebih serius,” katanya kepada reporter Tirto, Senin.
Berbeda dengan Anton yang mendorong sektor perbankan untuk lebih fleksibel, analis pasar uang PT Bank Mandiri Tbk Reny Eka Putri menilai langkah perbankan untuk menambah kriteria debitur merupakan strategi proteksi untuk menekan potensi naiknya kredit macet/NPL di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi.
“Kan, lihat dari kemampuan bayar konsumen. Takutnya ada risiko kalau bank kasih pinjaman pada karyawan di sektor yang terdampak pandemi. Dia kan punya resiko NPL tinggi,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin. Risiko kredit macet meningkat memang membahayakan keuangan bank itu sendiri.
“Di satu sisi perbankan ingin meningkatkan kredit untuk memberikan KPR pada konsumen tapi di satu sisi ini gak mau NPL nya naik,” tambahnya.
Pengusaha Realestat Indonesia (REI) Komite Perizinan dan Investasi Adri Istambul LG Sinulingga cukup memahami aspek kehati-hatian yang diterapkan bank meski itu berarti membuat insentif pemerintah jadi tak maksimal. Namun, bukan berarti tak ada jalan keluar dari itu. Pekerja di sektor tertentu yang rentan terhadap pandemi bisa tetap mengaksesnya dengan cara lain.
Ia memberi contoh, perusahaan tempat orang itu bekerjalah yang bertindak sebagai penjamin. “Seharusnya yang mampu dan ingin ajukan KPR ini difasilitasi dan dibantu, misalnya kerja sama dengan developer dan pihak hotel/retail (tempat kerja). Kalau konsumen ini keuangannya bermasalah bisa di-cover cicilannya sampai 6 bulan,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin.
Dengan begitu pekerja di sektor tersebut tetap bisa menikmati insentif, namun risiko gagal bayar cicilan kredit bisa diminimalisasi. “Bisa dengan banyak cara,” tambahnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino