tirto.id - Rencana pemerintah mendatangkan nelayan dari Pantai Utara (Pantura), Jawa Barat, ke Laut Natuna mengalami kendala biaya.
Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Tegal Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Riswanto mengatakan, para nelayan Pantura ini mengeluhkan beban biaya BBM bagi operasional kapal mereka.
“Kendala banyak. Karena untuk kapal kapal di atas 30 kors ton kita memakai bbm industri. Sedangkan biaya untuk ke natuna tidak sedikit. Paling besar adalah biaya operasional terkait harga BBM,” ucapnya kepada wartawan saat ditemui di Kemenkopolhukam, Senin (6/1/2020).
Riswanto menjelaskan setiap orang yang ingin melaut di Natuna diharuskan memiliki kapal di atas 100 Gross Ton (GT). Kapal besar tersebut diwajibkan karena aktivitas nelayan dalam mencari ikan di perairan tersebut memakan waktu 2-3 bulan.
Masalahnya, kapal dengan ukuran di atas 100 GT tidak akan memperoleh subsidi sebagaimana keputusan pemerintah pada tahun 2014 lalu.
Subsidi hanya diberikan jika ukuran kapal tak lebih dari 30 GT. Tanpa subsidi, harga bahan bakar akan menggunakan patokan industri.
Berbekal kedua kombinasi itu, Riswanto mengatakan situasi itu cukup memberatkan teman temannya yang totalnya mencapai 120 orang pelaut. Belum lagi, pelayaran ke Natuna juga belum tentu menjamin pasti mendapat ikan banyak.
“Kita memakai BBM industri, otomatis akan menambah biaya operasional kita, sifatnya adalah mencari ikan yang belum tentu kita belum dapat ikannya. Dua-tiga bulan pelayaran itu biayanya hampir Rp 500 juta dengan kapasitas kapal 100GT ke atas,” ucap Riswanto.
Kendala lain belum mencangkup perkara perizinan yang masih belum jelas. Dengan demikian, mereka belum akan berangkat sampai ada kepastian mengenai berbagai kendala itu.
“Terkait perizinan kita perlu persiapkan. Kalau sekarang kita kesiapannya seperti apa, perizinan belum siap, kita belum berani ke sana. Kita kan kita butuh pengamanan dan perlindungan dari negara juga selama operasi di laut Natuna,” ucap Riswanto.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana