tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut pengelolaan utang Indonesia secara keseluruhan masih normal. Ia mengatakan, pengelolaan utang pemerintahan yang berjalan di periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo tidak jauh berbeda dengan masa periode presiden sebelumnya.
Hal itu diungkapkan Menkeu menanggapi pidato Ketua MPR, Zulkifli Hasan pada Kamis (16/8/2018) lalu yang mengkritik utang pemerintah pusat yang sangat tinggi dan sudah tidak wajar. Menurut Menkeu, pengelolaan utang secara keseluruhan adalah suatu yang normal sejak krisis ekonomi 1997-1998.
"Kemudian, muncul terbitnya SBN [Surat Berhaga Negara] untuk rekapitulisasi perbankan. Itu pengelolaan sebagian pembayaran cicilan, sebagian role over. Itu adalah suatu yang normal dilakukan di semua negara," ujar Sri di Jakarta pada Senin (20/8/2018).
Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah Januari hingga Juli 2018 sebesar Rp4.253 triliun. Jumlah tersebut naik Rp26 triliun dari bulan sebelumnya sebesar Rp4.227 triliun.
Utang tersebut akan jatuh tempo pada 2019 sebesar Rp409 triliun. Angka itu lebih besar dari utang pemerintah yang harus dibayarkan pada tahun ini yaitu sekitar Rp384 triliun.
"Yang penting bukan masalah jatuh temponya, tapi juga keseluruhan. Jadi kita selama market-nya confident dan kita bisa melakukan suatu issue dari SBN. Itu sudah masuk growth issuers yang kita pertimbangan tahun depan. Apakah itu sebagian akan dibayar atau sebagian di-role over, itu suatu yang akan terus kita lakukan dari tahun ke tahun," terang Sri Mulyani.
Menurut Menkeu, cara itu sudah diterapkan sejak tahun 2000 hingga tahun ini. Pemerintahan Presiden ke-5 Indonesia Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid sudah menerapkan kombinasi di antara itu, sebagian dibayar atau sebagian role over.
Yang penting menurutnya, adalah posisi keseimbangan primer APBN, komposisi antara utang dalam negeri dan luar negeri, serta minat investor dalam dan luar negeri yang masih positif.
"Sekarang kondisi surat berharga negara itu sudah mature baik di dalam negeri maupun di luar negeri, maka proses refinancing (pembiayaan kembali) menjadi jauh lebih mudah dibandingkan kalau tahun-tahun awal jadi itu yang akan kita lakukan," ujarnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Dipna Videlia Putsanra