Menuju konten utama
Tonny Trimarsanto:

"Di Pasar, Mereka Diteriaki 'Potong Saja Kemaluanmu!'"

Cerita transgender. Komunitas terpinggirkan.

Ilustrasi Tonny Trimarsanto. tirto.id/Fuad

tirto.id - Tonny Trimarsanto dan film dokumenter merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Baginya, membuat film dokumenter merupakan cara lain untuk menyampaikan kegelisahan masyarakat, khususnya soal komunitas yang terpinggirkan. “Yang saya filmkan adalah kekhawatiran orang-orang, bukan saya pribadi,” tegas Tonny.

Sepak terjang Tonny Trimarsanto dimulai kala ia membantu Garin Nugroho dalam pembuatan Daun di Atas Bantal (1997) sebagai penata artistik. Melalui film itu, Tonny Trimarsanto memperoleh penghargaan Best Art Director di perhelatan Indonesian Cine Club Festival. Setelah keberhasilan tersebut, Tonny Trimarsanto mulai terjun ke dalam dunia dokumenter dengan film pertamanya My Cloth Like a Rainbow (2001).

Sepanjang perjalanan kariernya, lulusan Institut Kesenian Jakarta ini tercatat telah membuat puluhan film dokumenter. Berbagai penghargaan kerap mampir ke lemari Tonny Trimarsanto, mulai dari tampil di Cannes dengan film Serambi (2006) sampai memenangkan banyak festival internasional melalui Renita, Renita (2006). Film terbarunya, Bulu Mata (2016) baru saja dianugerahi Piala Citra di ajang Film Festival Indonesia 2017. Lewat Bulu Mata, Tonnymengisahkan kehidupan transgender di negeri Serambi Mekah.

Rabu (15/11/2017) lalu, Tirto berkesempatan mewawancarai Tonny Trimarsanto. Dihubungi lewat telepon, Tonny Trimarsanto bicara tentang penerimaan masyarakat terhadap transgender hingga perkembangan dunia film dokumenter Indonesia yang masih tertinggal dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Selamat atas keberhasilan Bulu Mata yang menggondol Piala Citra di Festival Film Indonesia. Apa sebenarnya yang ingin Anda sampaikan tentang film itu?

Berbicara mengenai Bulu Mata, sebetulnya ini menjadi film ketiga saya yang mengambil tema transgender. Sebelumnya, saya juga membuat film bertema serupa lewat Renita, Renita (2006) dan Mangga Golek Matang di Pohon (The Mangoes, 2012). Dari situ, sampai-sampai ada celetukan dari teman-teman yang menyebut saya “sutradara spesialis transgender.” Saya sampai bingung.

Bulu Mata sendiri berangkat dari rekomendasi teman-teman juga untuk membuat film bertema transgender. Jika di Renita, Renita lebih ke masalah identitas dan Mangga Golek Matang di Pohon cenderung menyajikan kompleksitas permasalahan seorang transgender, maka di Bulu Mata saya ingin memberikan atau membuat media inspirasi bagi keluarga yang anggotanya ada transgender. Film ini saya harapkan menjadi semacam tontonan yang edukatif. Seperti kita ketahui, ada banyak permasalahan transgender di berbagai lokasi di Indonesia.

Untuk riset dan masa produksi Bulu Mata sendiri membutuhkan waktu berapa lama?

Bulu Mata saya kerjakan selama hampir satu tahun lebih sejak 2015. Sekitar awal 2015 saya datang ke Banda Aceh dan melihat banyak sekali transgender di sana. Untuk lokasi syuting sendiri mulanya saya memilih Banda Aceh. Namun, melihat fakta bahwa di Banda Aceh merupakan kota besar yang di dalamnya tinggal banyak pendatang dari Sigli sampai Meulaboh, akhirnya saya memutuskan untuk memindahkan lokasi. Alasan utamanya: film bakal kurang intim karena akan sulit melacak keluarga transgender yang terdapat dalam film ini.

Setelah berdiskusi dan menimbang banyak faktor (terutama tentang produksi dan pertimbangan konten), akhirnya saya memindahkan lokasi ke daerah Bireun yang secara geografis lebih kecil serta lebih terjangkau untuk melacak para keluarga transgender sebab mayoritas tinggal di sana. Jika dihitung, saya total melakukan empat kali proses syuting; bolak-balik dari Jawa ke Bireun. Saya lakukan bertahap agar mendapatkan cerita yang utuh.

Bulu Mata mengambil lokasi di Aceh. Seperti kita ketahui, Aceh begitu ketat dalam menerapkan hukum syariat Islam dan permasalahan transgender sendiri kemungkinan besar masih dianggap tabu. Adakah pertentangan dari penduduk lokal selama masa produksi maupun selepas film sudah jadi?

Secara garis besar, saya dan kru tidak mengalami masalah selama proses produksi. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari dukungan para transgender sendiri yang sangat terbuka dan kooperatif dalam pembuatan film Bulu Mata.

Sedikit bercerita, para transgender di sana sudah memiliki strategi bagaimana caranya bisa bertahan di Aceh. Mereka melakukan diplomasi dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh, mengajak ibu-ibu untuk bermain bola voli, kursus salon, ataupun acara-acara yang lain.

Namun, tidak bisa dipungkiri juga tanggapan bernada miring masih begitu terasa. Sikap menjauhi mereka yang diperlihatkan masyarakat setempat kerap kali terjadi. Misalnya, mereka kesulitan mencari tempat tinggal (kos) akibat orientasi seksual yang mereka bawa berbeda dari kebanyakan. Belum lagi perundungan yang mereka terima. Akhirnya, untuk mengakali agar masalah tidak terus terulang, mereka tinggal dalam satu tempat atau paling mentok salon tempat di mana mereka bekerja juga dijadikan tempat tinggal. Kondisi serba sulit nyatanya harus mereka hadapi.

Kalau untuk pertentangan pasca-syuting juga tidak ada masalah. Karena ketika film selesai diproduksi, kami sepakat untuk tidak memutarnya di sana (Bireun dan Aceh). Ada teman yang bilang, “Mas, jangan diputer di Aceh dulu ya jika filmnya seperti ini.” Teman-teman transgender sudah mewanti-wanti sejak awal untuk tidak memutarnya di Aceh sebab ada sangkut pautnya dengan masa depan mereka. Terlebih soal keamanan. Kami pun menghormati pilihan mereka.

Bagaimana Anda melihat kondisi riil para transgender di Aceh dan kota-kota lain di Indonesia?

Ini jadi perhatian yang lebih, ya. Kondisi teman-teman transgender masih jauh dari kata kondusif. Mereka yang berjalan di tempat umum masih saja menjadi sasaran perundungan. Diskriminasi di ruang publik sangat terasa. Kalau mas sudah lihat film Bulu Mata, ada adegan pembuka di mana dua orang transgender pergi ke pasar dan sesampainya di sana mereka diteriaki, “Potong saja kemaluanmu!” Ini kan jadi hal yang buruk. Belum lagi mereka juga dipandang skeptis, aneh, sampai dicaci maki. Tetapi, di tengah tekanan publik yang cukup kuat terhadap teman-teman transgender, masih ada pihak-pihak yang terbuka dan mau menerima kondisi mereka.

Renita, Renita mengisahkan tentang transgender yang bercita-cita menjadi dokter dan perempuan sejak kecil, tapi orang tuanya mengirimnya ke pesantren. Di sana ia justru mengalami pelecehan serta kekerasan. Sementara Mangga Golek Matang di Pohon bercerita mengenai transgender yang ingin kembali ke kampung halamannya namun penolakan dari anggota keluarga yang lain sangat kuat. Bahkan, transgender tersebut tidak akan dianggap menjadi anaknya. Menurut Anda mengapa masyarakat masih sangat diskriminatif terhadap kaum transgender?

Kalau saya lihat, masalah utama adalah kita tidak punya sistem terbuka dalam masyarakat. Sejak kecil kita tidak diajari bagaimana perbedaan itu penting, bahwa menjadi berbeda itu wajar. Kita tidak diajari bahwa semuanya sama, serata. Ditambah lagi, kita tidak punya sistem dialog untuk menampung hal-hal tersebut.

Kemudian, pandangan seperti itu menghasilkan tindakan yang tidak fair. Para transgender musti menghadapi kenyataan bahwa sejak kecil mereka mengalami diskriminasi. Perundungan di sekolah. Akhirnya apa? Mereka kebanyakan tidak sekolah dengan tinggi yang berujung pada akses maupun ruang ekonomi yang terbatas. Paling mentok, lulusan SD atau SMP lantas kerja di salon. Pertentangan paling besar memang berasal dari sikap keluarga. Mereka yang menertawakan transgender tidak mendapatkan penjelasan dari awal mengapa transgender bisa jadi begitu.

Film-film Anda mengangkat isu sosial dan lingkungan, yang sebenarnya keras. It’s a Beautiful Day (2013) mengisahkan konflik air, Ngulon (2014) yang bercerita tentang masalah-masalah pemilihan kepala desa, sampai The Last Prayer (2016) yang menggambarkan konflik di Pasar Johar Semarang. Bagaimana prosesnya Anda sampai ke sana?

Saya memilih tema-tema tersebut karena penting untuk diobrolkan di ruang terbuka. Tema-tema di film saya sering dianggap “kekiri-kirian.” Saya tak ambil pusing karena ke kiri lebih enak, jalan terus (tertawa). Tema-tema seperti masalah air, sampah, dan reklamasi itu kan sebetulnya penting. Atau misalkan di The Last Prayer yang menceritakan rencana pembongkaran Pasar Johar untuk diganti mal. Itu juga sangat penting sebab masalah ada di hadapan mata kita, di depan kita.

Saya berupaya menarik dan mendorong orang-orang untuk memberi perhatian terhadap isu-isu di sekitar. Kalau saya menyerang langsung pihak-pihak yang “bermasalah” dengan masyarakat, bisa-bisa saya di-Munir-kan, diracun arsenik. Maka dari itu saya menggunakan media film sebagai sarana pesan. Yang saya filmkan merupakan kegelisahan orang-orang, bukan saya pribadi. Saya berupaya menyampaikan kekhawatiran masyarakat. Mengapa air susah didapatkan? Mengapa petani kesulitan memperoleh air? Mengapa pasar dengan corak arsitektur bagus dan bersejarah musti dibongkar? Mengapa harus ada reklamasi? Dan pertanyaan mengapa lain yang menimbulkan rasa khawatir.

Sejauh ini, saya mengamati film-film Anda disambut baik di sejumlah festival internasional. Adakah kerja sama lebih jauh dari festival tersebut setelah menyaksikan film Anda?

Ketika It’s a Beautiful Day menang di Italia, ada peneliti dari Belgia yang ingin datang ke Indonesia untuk melihat kondisi privatisasi air sebenarnya. Mangga Golek Matang di Pohon, ketika sudah diputar di sejumlah festival juga menjadi bahan diskusi-diskusi terbuka mengenai transgender. Renita, Renita pun juga sama, dipakai sebagai bahan kajian serta mata kuliah pengantar gender. Film saya yang terakhir, Bulu Mata, bahkan dibawa mahasiswa S3 di Berlin sebagai lampiran disertasinya. Kerja sama yang saya peroleh berada di tingkatan sederhana; penelitian dan kajian.

Ada rencana terjun dalam dunia film yang lebih “menjual,” dalam artian komersil?

Sejujurnya saya tidak begitu yakin meskipun pada 2006, film saya Serambi diputar di Cannes. Saya masih mencintai ide-ide tentang minoritas dan mereka yang terpinggirkan. Setelah Bulu Mata, film-film saya masih menyentuh sisi itu. Misalnya, proyek terbaru saya nanti berbicara mengenai poligami di Nusa Tenggara Timur di mana laki-laki memiliki 12 istri. Selain itu, saya juga sedang membuat film tentang pesantren waria dan tentang peristiwa 1965. Untuk film mengenai 1965 sendiri saya menggunakan pendekatan surealis. Isu-isu seperti ini selalu menarik saya karena saya beranggapan film drama yang menonjolkan cinta-cintaan bukan ranah saya. Meski demikian, apabila nanti saya membuat film bertemakan cinta, saya juga akan menggunakan perspektif yang beragam seperti film-film saya terdahulu.

Bagaimana perkembangan film dokumenter di Indonesia menurut Anda?

Pada dasarnya, dunia dokumenter merupakan dunia yang sepi, bukan dunia gemerlap seperti dunia film komersil lainnya. Namun, di balik dunia yang sepi itu, pembuat film bisa mengembangkan kemampuannya, improvisasi, serta menyuarakan banyak hal. Menurut pengalaman saya selama berjalan di dunia dokumenter, kita sebetulnya tidak kurang ide dan sumber kreativitas maupun tema yang diangkat tidak kalah. Akan tetapi, kita belum cukup terampil untuk mengolahnya. Kita perlu menaikkan level dokumenter mengingat realitas dokumenter dunia sudah melampaui itu. Sudah tidak ada percakapan ini film dokumenter atau bukan.

Di balik kekurangan itu, sineas kita perlahan sudah mulai bisa membaca keberadaan ruang-ruang presentasi atau pitchingforum untuk mendapatkan dana dari co-production negara lain. Belum lagi sekarang siapapun sudah bisa belajar pembuatan film dokumenter melalui YouTube maupun media lainnya. Yang perlu diketahui adalah semua treatment yang digunakan di dokumenter sama dengan film-film pada umumnya. Dokumenter juga membutuhkan sumber daya yang besar agar bisa mencapai kualitas lebih bagus.

Bagaimana posisi dokumenter Indonesia dibandingkan dengan dokumenter Asia Tenggara lainnya?

Jujur kita bisa dibilang tertinggal dengan negara Asia Tenggara semacam Thailand dan Filipina. Mereka, lewat film dokumenter yang dihasilkan, mampu menarik atensi di sejumlah festival internasional. Sekali lagi saya tekankan bahwa sebetulnya kita tidak kalah dan bisa mengejar ketertinggalan itu asalkan kita bisa memperbaiki kemampuan bercerita dalam film dokumenter. Plus, upaya sineas Indonesia dalam meningkatkan upayanya di ranah teknis, ide, promosi, serta fundraising harus pula ditingkatkan.

Rencana ke depan?

Yang jelas, saya akan selalu setia dan konsisten mengusung tema-tema minoritas, mereka yang terpinggirkan, atau yang jarang sekali disentuh orang lain. Bagi saya ini adalah tantangan dan impian karena pada dasarnya bertahan di dokumenter itu memerlukan konsistensi maupun daya tahan yang tinggi.

Baca juga artikel terkait FILM DOKUMENTER atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Mild report
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf