Menuju konten utama
24 Februari 1949

Di Nganjuk, Menteri Sederhana itu Dihabisi Belanda Saat Bergerilya

Soepeno dieksekusi mati tentara Belanda ketika bergerilya di pedalaman Jawa Timur.

Di Nganjuk, Menteri Sederhana itu Dihabisi Belanda Saat Bergerilya
Ilustrasi Mozaik Soepeno. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pagi itu, Soepeno dan seorang rekannya sedang membersihkan diri di sumber mata air yang terletak di pedalaman Dusun Ganter, Nganjuk, Jawa Timur. Sedang asyik-asyiknya mandi, sekonyong-konyong muncul beberapa orang serdadu Belanda yang langsung menodongkan senjata. Sontak, keduanya pun terkejut.

Sopo kowe (siapa kamu)?!” gertak salah seorang prajurit Belanda itu dalam bahasa Jawa, seperti dikutip dari Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer karya Julius Pour (2009: 157).

“Saya orang sini,” jawab Soepeno singkat.

Si topi baja tampaknya mulai tidak sabar dan bertanya lagi dengan nada kasar, “Kerjamu apa?!”

Kali ini Soepeno diam, begitu pula dengan kawannya. Keduanya lalu digiring ke tempat yang lebih lapang. Di sana sudah ada 4 tawanan lainnya. Mereka satu rombongan dengan Soepeno.

Prajurit Belanda curiga bahwa Soepeno bukan rakyat biasa. Memang, ia adalah Menteri Pembangunan dan Pemuda RI yang sedang menyamar. Soepeno dan rombongannya bergerilya untuk menghindari kejaran pasukan Belanda yang tengah gencar-gencarnya melancarkan agresi militer.

Interogasi berlanjut. Soepeno dan lima kawannya dipaksa berjongkok dengan tangan di atas kepala, di bawah ancaman moncong senapan. Hari itu, 24 Februari 1949, tepat hari ini 72 tahun lalu, adalah hari terakhir Menteri Soepeno.

Anak Pantura Masuk Kabinet

Soepeno lahir di Pekalongan, salah satu kota pesisir di pantai utara Jawa Tengah, pada 12 Juni 1916. Ayahnya, Soemarno, adalah seorang pegawai rendah yang bekerja di perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial Hindia Belanda di Tegal.

Usai menamatkan sekolah menengah atas di Algemeene Middelbare School (AMS) Semarang, Soepeno melanjutkan pendidikannya ke Technische Hogeschool Bandung (cikal bakal ITB). Namun, baru 2 tahun, ia memilih pindah kuliah ke Recht Hogeschool atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia.

Di kota yang menjadi pusat pemerintahan kolonial inilah Soepeno semakin tertarik untuk turut ambil bagian dalam pergerakan nasional. Ia memimpikan bangsa Indonesia bisa lepas dari penjajahan Belanda.

Soepeno bergabung dengan Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), lalu terpilih sebagai ketua. Ia juga memimpin Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia (Baperpi) sejak 1941 (Julinar Said, dkk., Ensiklopedi Pahlawan Nasional, 1995: 50).

Selama di Jakarta, Soepeno tinggal di asrama PPPI di Jalan Cikini Raya 71. Ia menjadi ketua pondokan tersebut. Di asrama itulah untuk pertama kalinya Soepeno bertemu langsung dengan Mohammad Hatta (Yus Sudarso, Pribadi Manusia Hatta, 2002:36).

Kelak, Bung Hatta menunjuk Soepeno untuk turut mengisi kabinetnya sebagai Menteri Pembangunan dan Pemuda. Kabinet itu mulai bertugas pada 29 Januari 1948.

Ketika pemerintahan Hindia Belanda berakhir seiring kemenangan Jepang pada 1942, Soepeno menikah dengan Kamsitin Wasiyatul Chakiki Danoesiswoyo. Hampir setahun berselang, pada Agustus 1943, pasangan ini dikaruniai seorang putri yang diberi nama Soepeni Joedianingsih.

Nama anak semata wayang Soepeno itu ternyata sempat menarik perhatian Sukarno suatu kali. Presiden RI pertama ini bertanya kepada Kamsitin, istri Soepeno, mengapa memberi nama Judia (Yudia), bukan Judha (Yudha).

"Saya jawab ke Bung Karno, kalau namanya Yudha nanti perang terus," kenang Kamsitin merujuk kepada Perang Baratayudha, perang besar antara kubu Pandawa melawan Kurawa dalam cerita Mahabharata, seperti dikutipTribunnews (9/11/2013).

Kamsitin sangat berharap perang segera usai. Harapan itu memang terwujud menjelang akhir 1949 dengan diakuinya kedaulatan Indonesia secara penuh oleh Belanda. Namun, 10 bulan sebelum itu, perang telah merenggut nyawa suaminya. Soepeno gugur ditembak Belanda saat bergerilya.

Menteri Pekerja Keras

Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002) menyebut Soepeno merupakan sosok yang tangguh dan sederhana. Sebelum duduk di kabinet, ia adalah anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), lembaga pembantu presiden yang dipimpin Soetan Sjahrir. KNIP dibentuk pada 9 Agustus 1945 sebagai lembaga yang menjalankan fungsi legislatif dan merupakan embrio parlemen Indonesia.

“Soepeno,” tulis Rosihan, “orang yang suka bekerja keras. Dia mirip dengan workaholic. Di asrama Badan Pekerja KNIP di Purworejo, Soepeno makan apa adanya, tidur di atas tikar, hidup sederhana. Dia bagaikan keranjingan dengan kerja” (hlm 135).

Soepeno sempat menjadi Ketua BP-KNIP yang beranggotakan 28 orang setelah Soetan Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri RI pada 14 November 1945. Pada 28 Januari 1948, giliran Soepeno yang masuk kabinet. Ia menjabat Menteri Pembangunan dan Pemuda di Kabinet Hatta I.

Tanggal 19 Desember 1948, Agresi Militer Belanda II dilancarkan. Sasaran utamanya adalah Yogyakarta, ibukota RI kala itu. Sukarno, Hatta, Sjahir, dan beberapa pemimpin republik lainnya ditawan, lalu diasingkan ke luar Jawa. Situasi genting ini memicu berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Beruntung, Soepeno dan beberapa pejabat tinggi negara lainnya selamat dari penangkapan. Namun, mereka harus bergerilya lantaran terus dikejar pasukan Belanda. Soepeno lolos karena sedang bertugas di luar Yogyakarta, tepatnya di Cepu, Jawa Tengah.

Dikisahkan oleh Djoeir Moehamad & Abrar Yusra dalam Memoar Seorang Sosialis (1997), Soepeno saat itu sebenarnya dalam perjalanan pulang ke ibukota dari Cepu (hlm. 208). Saat sampai di Prambanan, sisi timur Yogyakarta, ia merasa ada yang tidak beres. Ternyata benar, pusat pemerintahan telah diduduki Belanda.

Dari Prambanan, Soepeno mengarahkan mobilnya balik jalan, menuju Tawangmangu, dekat Solo. Di sana, ia akan bergabung dengan para pejabat negara lainnya yang lolos dari penangkapan. Setelah berkoordinasi di Tawangmangu, diputuskan bahwa masing-masing pejabat akan turut bergerilya, berpindah-pindah lokasi, hingga situasi terkendali.

Soepeno dan beberapa orang lainnya diarahkan menuju timur, ke suatu tempat di lereng Gunung Wilis tempat Panglima Besar Jenderal Soedirman dan pasukannya bermarkas. Rombongan kecil ini berangkat dengan berjalan kaki dari kampung ke kampung, dari hutan ke hutan, dalam ancaman yang setiap saat bisa saja hadir.

Hampir tiga pekan berjalan, rombongan Soepeno tiba di Desa Wayang, Ponorogo. Di desa itu, mereka bertemu dengan Kapten Soepardjo Roestam, ajudan Jenderal Soedirman yang memang diutus untuk mencari keberadaan para pejabat RI (Departemen Penerangan RI, Djendral Soedirman Pahlawan Sedjati, 1950: 45).

Setelah memberitahu di mana posisi pasukan Jenderal Soedirman kendati tetap saja cukup sulit untuk menemukan tempat itu, Kapten Soepardjo pamit karena harus melanjutkan tugas. Soepeno dan rombongan juga meneruskan perjalanan.

Medan liar yang amat sulit dan harus berkali-kali memutar jalan agar terhindar dari sergapan musuh membuat perjalanan yang ditempuh memakan waktu semakin lama. Sementara itu, tentara Belanda kian gencar mengejar.

Pada 20 Februari 1949, Soepeno dan kawan-kawan menjejakkan kaki di Dusun Ganter, Nganjuk. Di dusun ini, mereka menginap di rumah warga dan berniat menetap selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan yang entah kapan akan berakhir.

Infografik Mozaik Soepeno

Infografik Mozaik Menteri Soepeno Ditembak Mati. tirto.id/Sabit

Akhir Cerita Menteri Gerilya

Sudah tiga hari Soepeno dan lima rekannya singgah di Dusun Ganter. Pagi itu, 23 Februari 1949, mereka berniat meneruskan perjalanan menuju kaki Gunung Wilis untuk bergabung dengan pasukan gerilya Jenderal Soedirman.

Namun, rupanya Soepeno dan kawan-kawan sudah tidak bisa ke mana-mana lagi. Saat mandi pagi pada hari itu, mereka tertangkap dan diinterogasi di bawah todongan bedil tentara musuh. Rosihan Anwar (2002:132) menuliskan fragmen mendebarkan ini dalam bukunya:

“[…] dia (serdadu Belanda) tidak percaya Soepeno hanya seorang penduduk biasa yang berasal dari daerah itu. Memang, Soepeno memakai baju hitam model warok Ponorogo. Tetapi, bau badannya bukan bau rakyat. Tidak ada bau apek seperti pada rakyat biasa” (hlm. 132).

Sekali lagi, Soepeno ditanya siapakah ia sebenarnya. Soepeno tetap bungkam. Si tentara makin kesal. Diletakkannya senjata tepat di pelipis kiri Soepeno. Yang diancam ternyata tak gentar, tetap diam dalam ketegaran.

“Adegan ini,” tulis Rosihan, “bisa dilihat oleh rombongannya, yang mengintip dari dinding bambu rumah milik Kromo Doel, di dekat tempat itu. Mereka dengan jelas bisa melihat wajah Soepeno, mencerminkan ketetapan hati yang sangat kokoh. Sama sekali ia tidak merasa takut, menghadapi ancaman maut yang sudah datang begitu dekat.”

Suasana sesaat hening, lalu tiba-tiba bunyi letusan terlontar dari ujung senapan salah satu serdadu Belanda. “Pelurunya tepat menembus kepala Soepeno. Darah segera menyembur, membasahi bumi dan tanah airnya. Soepeno langsung roboh," catat Rosihan.

Setelah Soepeno tumbang, eksekusi dilanjutkan terhadap lima tawanan lainnya. Mereka ditembak mati di tempat yang sama.

Jenazah Soepeno dan kawan-kawan dikebumikan di dusun tempat mereka dihabisi. Tepat setahun kemudian, pada 29 Februari 1950, jasad sang menteri dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan di Semaki, Yogyakarta.

Makam Menteri Soepeno berada di sisi kanan tempat peristirahatan terakhir Jenderal Oerip Soemohardjo yang berdampingan dengan nisan Panglima Besar Jenderal Soedirman (Solichin Salam, Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan, 1963: 95). Pemerintah RI menetapkan Soepeno sebagai Pahlawan Nasional pada 13 Juli 1970.

Istri Soepeno, Kamsitin, berterima kasih atas pemindahan jenazah suaminya dan bersyukur atas ditetapkannya Soepeno sebagai Pahlawan Nasional. Namun ia juga mengharapkan, tempat di mana Soepeno dan lima rekannya mengembuskan napas terakhir tidak dilupakan begitu saja.

"Bapak (Menteri Soepeno) mungkin satu-satunya menteri yang dieksekusi mati. Saya berharap ada semacam tugu peringatan di lokasi eksekusi tersebut."

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 24 Februari 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Irfan Teguh