Menuju konten utama

Di Film B.W. Purba Negara, Anak Lebih Toleran dari Orang Dewasa

B.W. Purba Negara merilis film cerita panjang keduanya yang berjudul Doremi & You.

Di Film B.W. Purba Negara, Anak Lebih Toleran dari Orang Dewasa
BW Purbanegara. FOTO/http://purbanegara.com

tirto.id - Pada 2016, sutradara muda asal Yogyakarta berhasil meyakinkan nenek berusia 95 tahun tanpa reputasi akting untuk bermain di filmnya. Ia bahkan berhasil membuat Mbah Ponco Sutiyem, si nenek tersebut, bersaing bersama aktris senior seperti Ngoc Thanh Tam (Vietnam), Subenja Pongkorn (Laos), Al-Al Delas Allas (Filipina), dan Cut Mini dalam memperebutkan nominasi aktris terbaik di ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) pada 2017 lalu.

Sutradara itu adalah B.W. Purbanegara. Tak hanya sukses membawa film Ziarah memenangkan sejumlah penghargaan festival Internasional, ia juga berhasil mewujudkan harapannya agar film ini bisa masuk bioskop besar di sejumlah daerah.

Ziarah adalah film ke-13 dan film fiksi panjang pertama B.W., sekaligus film pertamanya yang masuk bioskop besar. B.W. merasa penting membawa Ziarah ke bioskop agar bisa dijangkau penonton yang lebih luas sehingga kisah tentang nenek 95 tahun yang mencari makam suaminya ini bisa turut memberi keragaman di bioskop.

Bukan sekali dua kali B.W. menantang dirinya sendiri untuk mencoba hal baru dalam film-filmnya. Pada 2011 lalu, ia membuat film pendek dengan tokoh utama perempuan tuna netra dan laki-laki tuna rungu. Dua remaja yang saling mengasuh dan melindungi ini di akhir film digambarkan tengah salat berjamaah dengan si perempuan sebagai imam.

Film bertajuk Bermula dari A ini berhasil membuat B.W. semakin dikenal dengan kemenangannya di sejumlah ajang penghargaan, termasuk Piala Citra kategori film pendek terbaik di Festival Film Indonesia 2011.

Piala citra FFI pertama kali mendarat di tangan B.W. Purbanegara pada 2008 melalui film pendeknya yang berjudul Cheng Cheng Po. Film yang mendedah kebhinekaan melalui pertemanan empat anak yang berbeda suku ini juga berhasil memenangi kategori sutradara terbaik, teknis terbaik, dan film pendek terbaik dalam Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2008.

Tahun ini, B.W. Purbanegara merilis film fiksi panjang keduanya yang bertajuk Doremi & You. Dalam film terbarunya, B.W.kembali membangun kisah pertemanan empat anak SMP dengan memadupadankan lokalitas dan drama musikal. Doremi & You menjadi film musikal pertama B.W.yang kembali menghadirkan narasi keragaman anak-anak.

Konflik dalam Doremi & You bermula ketika Markus, anak Papua yang bapaknya bekerja sebagai badut, tidak sengaja menghilangkan uang dana pembelian jaket paduan suara sekolahnya. Dalam rangka membantu mengganti uang jaket yang hilang, Putri, si anak dari Sunda, mengusulkan untuk ikut kompetisi pencarian bakat “Doremi & You”. Ia mengajak Markus dan Anisa, si anak rantau yang berasal dari Medan, serta Imung yang berdarah Bugis dan bermata sipit untuk berkolaborasi menyanyi di kompetisi itu.

Bagaimana B.W. mengolah konflik empat anak yang berbeda latar belakang ini?

Menarik kiranya mengulik film-film B.W. yang mempunyai formulasi serupa, yakni keragaman dan tokoh anak.

Keragaman dalam karakter anak B.W.

Doremi & You memang bukan film anak pertama B.W. Sebelumnya ia juga menggarap Cheng-cheng Po (2007), Bermula dari A (2011), dan Say Hello to Yellow (2011). Keempat film ini sama-sama mengangkat karakter anak sebagai tokoh utama.

Gaya khas B.W. adalah menghadapkan tokoh-tokoh utama dengan lawan main dari latar belakang yang berbeda. Dalam film Doremi & You, B.W. menghadirkan empat anak dari daerah dan suku yang berbeda, yang bersama-sama berusaha untuk mengembalikan uang jaket yang mereka hilangkan.

Berbeda lagi dengan film Say Hello to Yellow, B.W. menempatkan keragaman perspektif melalui tokoh Risma si anak kota dengan Kurniati dan kawan-kawan yang berasal dari desa pelosok di Gunungkidul dalam sebuah kisah jenaka tentang bagaimana teknologi (ponsel dan sinyal) mampu membentuk karakter dan cara pandang orang, serta mengikat dan merenggangkan hubungan.

Isu keragaman dalam Bermula dari A tampil jauh lebih subtil. B.W. menghadirkan kisah dua orang remaja tuna rungu dan tuna netra yang saling mengasuh satu sama lain. Dialog keduanya menyebabkan kesalahpahaman orang-orang sekitar—bahkan juga para penontonnya.

Sementara itu Cheng-Cheng Po menceritakan pertemanan si Cina Han yang tak bisa membayar SPP dengan Tohir, Markus, dan Tiara. Mereka berkolaborasi menampilkan tarian barongsai di dekat tempat Ibu Han berjualan bakpao. Cara ini mereka lakukan untuk membantu Han membayar SPP agar ia bisa ikut ujian, usai gagal meminta solusi kepada orangtua mereka masing-masing.

Keragaman Sebagai Solusi

Tema keragaman memang bukan sesuatu hal baru. Ada banyak film Indonesia yang telah mengusung tema ini. Mulai dari topik cinta beda agama seperti dalam Cin(T)a, Cinta Tapi Beda, Ayat-Ayat Cinta, hingga persoalan intoleransi yang disuguhkan Tanda Tanya, Ayat-ayat Adinda, atau 3: Alif, Lam, Mim.

Menariknya, Doremi & You, Cheng-cheng Po, Bermula dari A, dan Say Hello to Yellow memaknai keragaman bukan sebagai pusat permasalahan, dan justru sebagai jalan untuk memecahkan persoalan. Keragaman adalah solusi untuk memenangkan kompetisi menyanyi dan mengganti uang yang hilang di Doremi & You; cara untuk membantu Han membayar SPP dan mengikuti ujian di Cheng-Cheng Po; sebagai siasat berkawan dengan teman baru di Say Hello to Yellow; atau juga sebagai upaya saling mengasuh dan melindungi relasi dua teman tuna rungu-tuna netra di film Bermula dari A.

Cara bertutur seperti ini melengkapi upaya sineas lainnya yang selama ini mengangkat keragaman sebagai problem sosial.

Infografik BW Purbanegara

Infografik BW Purbanegara. tirto.id/Quita

Keragaman dalam posisinya sebagai kata benda ditampilkan B.W. secara realis, tapi juga bisa dibaca secara simbolik. B.W. menghadirkan shot-shot momen ketika para murid bergantian membacakan secara lantang doa dari agama dan kepercayaan mereka masing-masing. Atau lewat dialog-dialog jenaka dan istilah-istilah gaul seperti “Secara, please deh” di film Say Hello to Yellow.

Nampaknya B.W. memang punya ambisi mengangkat isu "kebhinekaan" di hampir semua filmnya. Lihat saja nama sekolah SMP dan SMA Bhineka Jaya di film Doremi & You. Di film yang sama, keempat sahabat itu juga menyanyikan lagu-lagu daerah seperti "Bungong Jeumpa", "Cublak-cublak Suweng", "Sik Sik Sibatumanikam", yang kemudian diakhiri dengan bersama-sama menyerukan “Indonesia”. Formula yang sama juga dipakai di film Cheng-Cheng Po dan film B.W. lainnya.

Harmoni Anak, Perkara Orangtua

“Seribu alasan kita akan berbeda. Berjuta alasan untuk mengerti. Anugerah terindah dari Tuhan, berjalan beriringan. Terciptalah Harmoni.”

Potongan lirik lagu “Harmoni” dari lagu pengiring Doremi & You tersebut semakin mendukung topik yang ia angkat.

Kenapa bisa memadukan? Musik dalam film ini bukan tempelan belaka, bukan pula disetel untuk sekedar menarik penonton anak dengan musik dan tarian. Musik adalah perkakas baru B.W. Purbanegara. Perkakas besar yang ia gunakan untuk mewadahi keragaman—keberbedaan itu sendiri. Di titik ini, musik dipakai sebagai satu entitas hidup yang paling gampang dipahami dan paling bisa diterima oleh semua orang.

Ada satu pertanyaan yang sempat terbesit di kepala saya ketika menonton Doremi & You: mengapa B.W. berulang kali mengusung keragaman dan menempatkannya pada tokoh-tokoh anak?

Coba kita ringkas sekali lagi. Keragaman melekat dalam tubuh tiap anak, yang kemudian dimaknai sebagai solusi dan jalan memecahkan masalah. Sementara, masalah yang lebih rumit cukup berikan kepada para orangtua (di film-film) saja. Misalnya, permasalahan ekonomi yang sangat rumit cukup dilekatkan pada ayah Markus, perkara ambisi mendapatkan nilai terbaik cukup dibicarakan oleh paman Anisa, dan seterusnya.

B.W. nampaknya hanya ingin berpesan bahwa anak-anak ternyata lebih lihai memecahkan perkara di sekitar mereka. Bahkan anak-anak jugalah yang paham cara-cara bijak memaknai keragaman dan menggunakannya sebagai solusi. Namun, perkara kerumitan orangtua terlihat ditepikan oleh B.W. dan dianggap sebagai bukan sesuatu yang penting untuk dijajaki lebih lanjut.

Isu itu layak menjadi tantangan buat B.W. di film-film selanjutnya.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Film
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Windu Jusuf