tirto.id -
Salah satunya terlihat dari keputusan direksi memperpendek jeda jadwal terbang awak kabin dari semula tersedia waktu 3 hari menjadi pulang-pergi (PP).
"Itu peraturan yang dibuat oleh direksi dalam hal ini jadwal terbang awak kabin tadinya multidesk jadi one day. Contoh scheduleJakarta-Sydney itu harusnya 3 hari tapi jadi PP," ucap Sekjen Ikagi Jacqueline Tuwanakotta kepada wartawan saat ditemui di Kementerian BUMN, Senin (9/12/2019).
Jacqueline menyatakan bahwa dalam pengaturan seharusnya tidak boleh ada kebijakan demikian. Ia bilang manajemen telah mengabaikan static risk management system yang dialami oleh para awak kabin.
Jacqueline bilang akibat kebijakan ini 8 awak kabin diopname karena kelelahan kerja. Ia bilang para awak kabin itu tidak dalam kondisi yang layak untuk bekerja.
"Mereka sakit kelelahan, sakit mata, badannya lemah," ucap Jacqueline.
Hersanti, pramugari Garuda yang sudah bekerja sekitar 30 tahun mengatakan menjadi salah satu korban itu. Ia mendapat tugas dalam rute penerbangan Jakarta-Melbourne.
Untuk melayani penerbangan tersebut, ia harus standby selama 18 jam penuh tanpa tidur. Ia mengaku sulit tidur dan badannya terasa gemetar karena harus terjaga dalam waktu yang lama.
"Sebetulnya kami manusia bukan robot, sebaiknya kami dilakukan seperti manusia, harus tidur," ucap Hersanti kepada wartawan saat ditemui di Kementerian BUMN, Senin (9/12/2019).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana