Menuju konten utama

Di Balik Tren Perayaan Bridal Shower

Meski bisa jadi momen kehangatan, bridal shower kerap menyiratkan adanya persetujuan terhadap norma yang timpang-gender

Di Balik Tren Perayaan Bridal Shower
Ilustrasi bridal shower. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sembilan cupacake manis berjejer di meja berornamen shabby. Di atasnya tertulis kalimat “Happy bride to be” yang ditujukan untuk seorang perempuan di seberang meja. Wajahnya sudah penuh dengan coretan lipstik merah dan alisnya dibentuk sebesar coretan spidol papan tulis.

Hari itu ia harus melewati bridal shower, acara kumpul-kumpul bersama teman-teman lajangnya sebelum memulai babak baru kehidupan menjadi seorang istri. Perayaan semacam ini sedang jadi tren memang, dan teman-teman si gadis tentu tak mau ketinggalan mengekor.

Jamaknya, acara bridal shower dibuat dengan susunan acara berikut: mengejutkan sang calon pengantin yang datang belakangan, menjahilinya, bergosip, dan tak lupa foto-foto untuk mengisi galeri media sosial. Tak jarang calon pengantin harus menerima “hukuman” dari teman-temannya dengan memakai baju, selempang dan memotong kue dengan bentuk dan tulisan tak senonoh.

“Kita bagi tugas buat bikin acara bridal shower, termasuk siapa yang bawa daster buat dipakai calon manten. Kan sekaligus jadi ajang buat kita ngerjain calon manten,” kata Nurlaila (25), seorang karyawan media pernah membikin bridal shower untuk teman indekosnya, akhir tahun lalu.

Ia termasuk tipe orang yang menganggap bridal shower sebagai acara penting. Sebab, katanya, seusai sang sahabat menikah, ia tak lagi bisa menikmati kebersamaan layaknya melajang dulu. Bridal shower berfungsi menjadi penghantar transisi peran bagi sahabatnya.

“Intinya ikut merayakan hari bersejarah dia sebelum berubah status jadi istri orang.”

Untuk membuat sebuah perayaan bridal shower, maka teman-teman calon pengantin perempuan lazimnya mempersiapkan ragam pernak pernik. Mulai dari kue, balon, selempang, mahkota, dan menyewa tempat yang Instagramable, tentunya.

Semuanya tak dirogoh dengan kocek murah. Afifah (26), pelaku perayaan bridal shower lainnya, mengaku bisa menghabiskan total uang Rp1,5-2 juta sekali perayaan. Padahal, perempuan yang bekerja sebagai pustakawan ini mengaku melakukannya setengah terpaksa: ditodong ikut kumpul-kumpul. Empat kali ia buat acara serupa, semuanya dipersembahkan buat teman yang ia anggap kurang intim.

“Dibilang akrab juga enggak banget, cuma akrab kalau lagi happy.”

Bridal showerawalnya tak seperti yang dirayakan sekarang ini. Dulu, di Belanda pada abad ke-16 lalu, acara ini muncul sebagai ungkapan welas asih. Seorang perempuan dari keluarga terkemuka tak direstui orangtuanya saat ingin menikah. Si pria berbeda kasta.

Singkat cerita, orangtua perempuan menolak memberi “modal” untuk berumah tangga. Akhirnya, teman-teman calon mempelai membantu mereka dengan memberikan sumbangan untuk pernikahan dan ragam kebutuhan rumah tangga.

Di Amerika Serikat, bridal shower mulai populer di era Victoria akhir, sekitar tahun 1900-an. Para perempuan menengah atas merayakannya dengan bergosip, bertukar hadiah, makan-makan, dan wejangan tentang peran baru sebagai istri. Sebuah payung kertas yang digantungi hadiah-hadiah akan direntangkan di atas kepala calon pengantin, layaknya “mandi di bawah shower.”

Infografik Bridal Shower

Merayakan Ketimpangan Gender

Bridal shower mungkin saja menjadi tren, menjadi acara yang hampir wajib dilakukan sebelum pesta pernikahan digelar. Bahkan tak jarang, saking inginnya calon pengantin membuat seremonial, ada yang membikin sendiri pesta pelepasan masa lajangnya.

Padahal, secara tak sadar mereka turut berperan dalam melestarikan ketimpangan gender. Seorang Sosiolog Amerika Serikat, Beth Montemurro bahkan mengatakan banyak calon pengantin perempuan merasa tak nyaman saat harus melakukan bridal shower. Pernyataan ini diperkuat oleh hasil wawancaranya terhadap 51 pelakon bridal shower, mulai dari pengantin, tuan rumah, dan tamu.

Ada beberapa hal yang menjadi pemicu ketidaknyamanan mereka, yakni acara membosankan, canggung, dan harus menjadi pusat perhatian. Seorang pengantin bernama Lori, yang ia wawancarai mengatakan: “Aku merasa pusing, berkeringat, panas, dan tertekan. Saat pulang, aku jadi seperti zombie.”

Montemurro menganggap calon pengantin telah diinisiasi ke dalam peran istri oleh teman-teman dan keluarganya. Digambarkan dari jenis hadiah berupa peralatan rumah tangga, artinya, mereka menyetujui konsepsi kerja domestik hanya dilakukan perempuan. Padahal, kedatangan tamu yang notabene adalah perempuan dianggap mengekspresikan dukungan bagi perempuan lain sebagai anggota komunitas gender.

Gagasan Montemurro itu diperkuat oleh komentar Ela. Katanya, salah satu alasan membuat bridal shower adalah sebagai dukungan mental pada calon pengantin. Setelah menikah nanti, persepsi yang mereka pahami adalah temannya tak lagi punya banyak waktu luang untuk main dan kumpul bersama.

“Kalau sudah jadi istri enggak akan sebebas dulu karena ngurus keperluan keluarga dan harus izin suami. Apalagi kalau sudah jadi ibu.”

Pada akhirnya, penulis buku Something Old, Something Bold: Bridal Showers and Bachelorette Parties ini berpendapat bahwa ritual pranikah berkontribusi pada stabilisasi ketidaksetaraan gender. Bahwa masyarakat Amerika pada pergantian abad ke-21 masih menikah dengan tradisi dan konsepsi tradisional tentang maskulinitas dan feminitas.

“Ritual ini diatur terutama oleh perempuan, kita melihat peran gender tradisional dan modern dinegosiasikan, dilawan, ditransformasikan dan diperkuat,” kata Montemurro.

Dari uraian dan fenomena yang terjadi, tampaknya baik juga jika bisa dibayangkan acara bridal shower versi alternatif. Lihat saja acara itu sebagai momen perayaan sebelum memasuki era baru kehidupan, sebab pernikahan sama rumitnya bagi laki-laki maupun perempuan.

Dus, mengapa pula harus memberi kado kosmetik atau buku resep dan alat memasak jika kawan Anda tak doyan-doyan amat dandan atau memasak. Bukankah Anda bisa memberi kado kipas angin atau mobil atau benda lain yang tidak mengandaikan pembagian kerja domestik berdasarkan gender?

Baca juga artikel terkait PERNIKAHAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani