tirto.id - Pagi itu, pesawat Air Asia QZ8501 sudah terlambat terbang 15 menit dari jadwal semestinya. Pesawat itu sedianya mengantar penumpangnya dari Bandara Juanda, Surabaya, ke Bandara Changi, Singapura. Pesawat yang dipiloti Kapten Irianto dan dibantu kopilot Remi Emmanuel Plesel itu akhirnya mengudara pukul 05.20 WIB.
Pesawat QZ8501 melaju mulus saja selama 45 menit penerbangan. Sekitar pukul 05.54 pesawat itu berada di ketinggian 32.000 kaki. Sejak itu Kapten Irianto dua kali melakukan manuver ke kiri. Agaknya pesawat itu mendapati kendala cuaca di jalur utamanya.
Pukul 06.11 Kapten Irianto mengontak pengawas penerbangan Bandara Sukarno-Hatta untuk minta persetujuan bermanuver ke kiri sekali lagi. Ia melapor berada di ketinggian 32.000 kaki. Kapten Irianto lalu membelokkan pesawat Airbus A320-200 itu ke arah 310 derajat. Pengawas penerbangan juga meminta Kapten Irianto melapor lagi jika cuaca membaik.
Tak berselang lama, Kapten Irianto mengontak lagi pengawas penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta. Bukan untuk melaporkan status cuaca, tapi minta izin menaikkan pesawat ke ketinggian 38.000 kaki. Kali ini pengawas penerbangan meminta pesawat untuk tak melakukan perubahan ketinggian karena saat bersamaan ada tujuh pesawat lain di jalur yang sama. Pengawas penerbangan perlu memastikan tak ada pesawat lain di atas QZ8501. Juga, ia perlu melapor ke menara pengawas Bandara Changi kalau-kalau ada pesawat lain di arah berlawanan.
Izin menaikkan ketinggian baru diberikan dua menit kemudian. Namun, pesawat QZ8501 sudah lebih dulu mendaki langit tanpa menunggu aba-aba dari pengawas penerbangan di Soekarno-Hatta. Lebih aneh lagi, kecepatan pesawat juga menurun seiring pertambahan ketinggian. Saat dikontak pun tak ada jawaban dari Kapten Irianto.
Sesuatu yang buruk jelas sedang menghadang pesawat QZ8501. Berkali-kali pengawas penerbangan mencoba mengontak Kapten Irianto. Semua panggilan tak berjawab hingga komunikasi keduanya benar-benar terputus pukul 06.18.
Meski begitu pesawat QZ8501 masih terlihat di layar. Lagi-lagi keanehan terjadi, pesawat itu berganti haluan berkali-kali hanya dalam rentang waktu lima menit. Lalu horor menyeruak ketika pesawat buatan 2008 itu hilang dari radar pukul 06.24.
Pengawas penerbangan di Soekarno-Hatta memerintahkan pesawat lain di jalur yang sama mengontak QZ8501, tapi sama saja hasilnya nihil. Setelah setengah jam tanpa kabar, pukul 07.08, pengawas penerbangan menyatakan status incerfa—fase tak ada kepastian—dan melapor ke Basarnas.
Pagi itu, 28 Desember 2014—tepat hari ini empat tahun silam, Air Asia nomor penerbangan QZ8501 jatuh di wilayah perairan Selat Karimata.
Terjebak Awan Kumulonimbus
Cuaca buruk dan awan kumulonimbus yang terbentuk di langit Selat Karimata awalnya diperkirakan menjadi penyebab jatuhnya pesawat itu. Menurut analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) saat itu, kendali pesawat QZ8501 jadi kacau ketika memasuki awan badai itu. Kepala Bidang Meteorologi Penerbangan BMKG kala itu Mustari Heru Jatmika, sebagaimana dikutip majalah Tempo edisi 5 Januari 2015, menyebut bahwa hari itu awan kumulonimbus membentang di atas Selat Karimata.
Menurut Bambang Setiajid, Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi Bandara Juanda saat itu, pembentukan awan kumulonimbus di Selat Karimata sudah terpantau sejak pukul 02.00 WIB. Kapten Irianto diduga tak bisa menghindari kumulonimbus karena tak memegang data cuaca yang disediakan Badan Meteorologi Bandara Juanda.
Hari itu Air Asia tak menggelar rapat persiapan penerbangan dengan Badan Meteorologi Bandara Juanda atau mengambil data cuaca yang disediakan. Sehingga Badan Meteorologi tak bisa menyarankan penundaan jadwal atau jalur alternatif kepada Air Asia. Koridor ketinggian lain pun akhirnya diisi oleh pesawat lain yang terbang di jalur yang sama.
Seturut laporan harian Kompas (29/12/2014), status pesawat QZ8501 ditingkatkan menjadi distresfa alias distress phase sejak pukul 07.55. Itu menunjukkan bahwa pesawat diperkirakan mendarat darurat, jatuh, atau bahkan tenggelam. Operasi pencarian dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sejak status distresfa ditetapkan, pemerintah segera melakukan operasi pencarian besar-besaran dengan mengerahkan 22 kapal dan 8 pesawat. Kapal Riset BPPT Baruna Jaya IV pun ikut dilibatkan. Kapal itu memiliki alat sensor multi-beam echo sounder dan side-scan sonar serta berpengalaman menemukan pesawat Adam Air yang tenggelam di Selat Makassar pada 2007.
Investigasi KNKT
Harian Kompas (21/1/2015) melaporkan bahwa kotak hitam pesawat QZ8501 ditemukan 13 Januari 2015. Kotak hitam itu merekam 174 jam riwayat penerbangan dan rekaman pembicaraan di kokpit berdurasi 2 jam 4 menit. Butuh waktu sekitar setahun bagi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk menganalisis data itu.
Ketika hasil investigasi KNKT atas kotak hitam diumumkan ke publik pada awal Desember 2015, diketahui bahwa penyebab kecelakaan sebenarnya adalah gangguan sistem pesawat yang luput diperbaiki, bukan cuaca buruk.
"Hal ini diawali oleh retakan solder pada electronic module pada rudder travel limiter unit (RTLU) yang lokasinya berada pada vertical stabilizer," ungkap Kapten Nurcahyo Utomo, Kasubkom Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, sebagaimana dikutip detik.
Sistem yang mengalami gangguan adalah rudder travel limiter (RTL) yang berfungsi mengatur kemiringan pesawat. Flight data recorder (FDR) mencatat ada tiga kali peringatan gangguan RTL. Kapten Irianto lantas melakukan penanganan sesuai prosedur.
Gangguan RTL sebenarnya bukan masalah yang bisa membahayakan penerbangan. Hanya saja, ketika terjadi gangguan keempat sekitar pukul 06.15 Kapten Irianto berimprovisasi agar masalah itu segera terselesaikan.
Pada penerbangan sebelum ini, Kapten Irianto juga mengalami masalah serupa. Kala itu teknisi mengatasi masalah ini dengan me-reset circuit breaker dari flight augmentation computer (FAC). Kapten Irianto pun mengikuti cara itu meski sebenarnya tak ada dalam prosedur.
Konsekuensi dari langkah ini adalah terjadinya gangguan listrik tiba-tiba dan terganggunya sistem kendali pesawat. Sistem autopilot dan autothrust pun mati, kendali pesawat jadi sepenuhnya manual. Sejak itulah situasi memburuk, karena pilot dan kopilot tak bisa mengendalikan pesawat.
Situasi jadi tambah runyam karena kesalahpahaman komunikasi di antara pilot dan kopilot. "Kami melihat ada komunikasi yang enggak efektif, saat satu meminta pull down, yang satu push down. Kendali pesawat tidak saling terkait. Di mana kemudi 1 dan 2 tidak terhubung, jadi pilot saling tidak tahu melakukan apa," terang Nurcahyo.
Kopilot Remi Emmanuel Plesel terus menarik tuas kemudi sehingga menyebabkan pesawat menukik naik. Pesawat terus naik hingga akhirnya mencapai kondisi stall—kondisi saat pesawat kehilangan daya angkat—dan mulai jatuh.
"Itu turunnya 12 ribu feet per menit. Jadi waktu dari 29 ribu kaki hingga sampai pesawat jatuh waktunya sekitar 2,5 menit. Sampai akhir, dua-duanya (kapten pilot dan kopilot) masih terus berusaha mengontrol pesawat," papar Nurcahyo.
Editor: Suhendra