tirto.id - Suara aktor Gemma Chan di video The IMDB Show: Take 5 membuat banyak orang kesengsem. Bila dideskripsikan secara ringkas, suara Gemma tidak seberat dan seserak Emma Stone, tapi tidak setipis dan setinggi Emma Watson. Dalam tayangan itu Gemma bicara dengan tempo cukup lambat dan intonasi rendah. Dia pun bicara tanpa terlalu banyak melakukan variasi nada suara.
Dengan cara bicara seperti itu Gemma sangat cocok jadi pendongeng untuk membacakan cerita pengantar tidur. Tak heran jika ada seorang pemirsa yang berkomentar, “Suaranya bisa menyembuhkan kanker dan membuat kulit Anda bersinar.” Seorang lainnya juga berkomentar, “Ya Tuhaaan, dia tuh udahlah elegan, kalem, suaranya menenangkan pula kayak ratu!!”
Lain itu banyak juga warganet yang kepincut logat British-nya. “Demi Tuhan, logatnya itu benar-benar memesona,” komentar seorang warganet. Bahkan, ada juga penggemarnya yang berkomentar, “Logat dan suaranya itu macam suara Ilahi!”
Apa yang istimewa dari aksen British Gemma?
Orang Inggris menggolongkan aksen yang dituturkan Gemma sebagai Received Pronounciation—satu dari beberapa aksen yang dituturkan di Britania Raya. Itu adalah aksen yang lazim dituturkan oleh masyarakat Inggris bagian selatan, seperti di London, Oxford, Cambrige. Para fan Gemma tidak salah jika menyebut logat itu elegan atau mewah karena mulanya ia dituturkan oleh kalangan kelas menengah dan atas, termasuk para anggota Kerajaan Inggris Raya.
Persepsi yang muncul terhadap aksen Gemma bisa disebabkan oleh berbagai macam hal. Alasan paling sederhana adalah anggapan bahwa aksen Inggris itu memang menarik. Anggapan ini mayoritas dianut oleh perempuan Amerika Serikat kala mendengar pria Inggris bicara.
Pada 2018, Washington Post pernah mewawancai sejumlah akademisi dan praktisi psikologi untuk mencari tahu penyebabnya. Salah satu narasumbernya adalah psikoterpis Guy Winch. Penulis buku Emotional First Aid: Healing Rejection, Guilt, Failure, and Other Everyday Hurts (2014) itu berpendapat bahwa bagi orang AS aksen British bukan hal yang umum dan seseorang cenderung mengagumi sesuatu yang terkesan tidak biasa.
“Orang AS mengasosiasikan aksen British dengan seseorang yang lebih cerdas, canggih, dan kompeten. Itu semua adalah kualitas pribadi yang dianggap menarik oleh banyak orang," kata Winch.
Hal senada juga diungkapkan oleh Lynne Murphy, penulis The Prodigal Tongue: The Love-Hate Relationship Between American and British English. Menurut Murphy, orang AS tertarik pada aksen British karena penuturnya adalah orang “kerajaan” yang memberinya kesan elegan dan cerdas. Jadi, ada aspirasi kelas sosial yang terselip dalam ketertarikan seseorang terhadap logat British.
"Orang menyebut aksen itu seksi karena mereka mengagumi negaranya," kata Murphy yang juga mengajar linguistik di University of Sussex, Inggris. “Dalam alam pikir orang Amerika, Inggris adalah semacam negeri fantasi dengan bangsawan dan kastil-kastilnya.”
RP yang Populer
Aksen Received Pronounciation (RP) yang dituturkan Gemma punya banyak nama. Orang Inggris juga mengenalnya dengan sebutan BBC English, The Queen’s English, atau Oxford English.
Secara linguistik, RP adalah aksen yang masih muda. Istilah RP untuk menamai aksen ini baru muncul sekira 1869. Aksen RP jadi semakin populer sejak ahli fonetik Daniel Jones mengadopsinya untuk English Pronouncing Dictionary pada 1924. Ia adalah aksen khas yang biasa digunakan untuk bersosialisasi di sekolah-sekolah elite di Winchester, Eton, Rugby, Oxford, dan Cambridge.
“Pola bicara mereka yang secara longgar berakar dari aksen lokal Midlands tenggara—kira-kira mencakup London, Oxford dan Cambridge—kemudian dikaitkan dengan ‘kemapanan’. Karenanya, ia memperoleh status unik di kalangan kelas menengah di London,” tulis Kurator Utama untuk Bahasa Inggris Lisan di British Library Jonnie Robinson di laman BBC.
Aksen RP menjadi semakin populer sejak 1922, saat Komite Penasihat BBC menetapkannya sebagai aksen standar penyiarannya. Aksen RP ini dipandang ideal karena memiliki struktur grammar dan cara pengucapan yang jelas.
Meski demikian, penutur aksen RP adalah bukanlah mayoritas di Inggris. Per 2019, catat BBC, aksen RP hanya digunakan oleh tiga persen masyarakat Inggris. Sebagian penggunanya adalah kalangan kelas menengah dan aristokrat. Sekarang ini, sebagian orang menilainya sebagai aksen yang terlalu kuno. Penggunaannya pun jadi semakin terbatas di lingkungan pemerintahan dan akademis.
“Semakin sedikit anak muda yang merasa perlu bicara dalam aksen RP. Mereka justru sering menyamarkan aksen RP-nya dengan menonjolkan aksen daerah,” tulis Robinson.
Ragam Aksen di Inggris
Inggris setidaknya punya 17 aksen regional, di antaranya aksen London, East Anglia, West Country, Southern Welsh, Northern Welsh, West Midlands, Scouse, dan Yorkshire. Berbagai aksen ini kerap terdengar di film atau serial televisi semacam Harry Potter, Lord of The Ring, hingga Game of Thrones.
Selain aksen-aksen regional itu, ada pula aksen lokal seperti Cockney. Sebagaimana RP, aksen Cockney juga yang muncul pada abad ke-19. Ia identik dengan orang-orang London Timur dan disebut sebagai aksennya kelas pekerja. Salah satu ciri khas aksen ini adalah penggunaan bahasa slang yang berima.
Menurut leksikografer bahasa slang Inggris Jonathon Green, bahasa slang Cockney mulai muncul pada dekade 1830-an. Istilah “Cockney” secara mengacu pada orang-orang yang tinggal di bilangan Cheapside.
Salah satu versi menyebut slang Cockney mulanya adalah kode yang dipakai oleh para bromocorah. Jadi, ia dikembangkan secara sengaja untuk mengelabui para polisi. Teori kedua menyebut ia sebagai kode di antara para pedagang.
“Beberapa ahli percaya bahwa pedagang di pasar Cheapside mengarang kode-kode tertentu untuk saling berkomunikasi tanpa dipahami oleh pelanggannya,” kata Green sebagaimana dikutip Vox.
Contoh ungkapan slang Cockney adalah “Turns the Liza over” untuk menyuruh seseorang mengganti saluran televisi. Liza adalah ungkapan untuk merujuk televisi. Ia adalah singkatan dari “Liza Minnelli” yang nama belakangnya serima dengan telly—bahasa slang untuk televisi.
Lock, Stock, and Two Smoking Barrel (1998) adalah salah satu film yang dominan menggunakan aksen dan ungkapan slang Cockney dalam dialognya. Sementara salah satu selebritas yang mengaku dirinya dibesarkan dalam aksen Cockney adalah Michael Caine.
Tak hanya subur di negeri sendiri, aksen-aksen British juga menyebar dan memengaruhi aksen di Amerika. Itu terjadi seiring dengan migrasi orang-orang Inggris ke benua itu pada abad ke-17. Aksen mereka lalu berkembang jadi aksen berbagai daerah di Amerika. Aksen East Anglia, misalnya, mempengaruhi aksen Boston. Sementara aksen Skotlandia ikut mempengaruhi aksen Appalaichans.
Peneliti variasi bahasa dari Universitas Victoria Marisa Brook menyebut aksen sebagian orang AS sekarang mirip dengan aksen British abad ke-17. Salah satu contohnya adalah pelafal huruf “R” secara jelas, seperti dalam kata card dan water. Ahli bahasa menyebut ini sebagai rhoticity. Sementara itu, orang Inggris kini sudah meninggalkan cara itu.
“Sebagian imigran yang datang ke AS dulu berasal dari bagian Kepulauan Inggris yang belum terpengaruh aksen non-rhoticity (menyamarkan pelafalan R). Perubahan ke aksen non-rhoticity standar di Inggris baru dimulai pada saat Amerika Serikat merdeka," kata Brook kepada BBC.
Amerikanisasi
Meski satu bahasa, orang Inggris hari ini sering kali memprotes cara orang Amerika berbahasa. Salah satu cara paling mudah untuk melihat protes-protes ini adalah meyimak akun-akun Youtuber yang membahas soal bahasa.
Joelandlia, pasangan Youtuber asal Inggris, pernah membahas modifikasi bahasa ala orang AS yang menurut mereka tidak masuk akal. Beberapa kata tersebut misalnya pacifier untuk menyebut tummy (dot), burgularised untuk menyebut burgled (dirampok), atau jelly untuk menyebut jealous (iri).
Selain itu, ada pula istilah-istilah khas AS yang kurang mereka pahami karena bukan budaya yang lazim di Inggris. Salah satunya adalah prom. “Di Inggris, kami tidak terbiasa dengan budaya prom night,” ujar Joelandlia. Contoh lain adalah spring break. “Kami hanya mengenal summer holiday, saat kami biasa menghabiskan liburan di rumah teman.”
Terkait hal ini, penulis Inggris Matthew Engel menyatakan telah terjadi fenomena Americanism dalam penggunaan bahasa Inggris. Itu adalah modifikasi bahasa ala penutur American English yang digunakan di Inggris. Amerikanisme menghasilkan ungkapan-ungkapan yang berbeda dari bahasa yang dipakai oleh orang Inggris asli.
Menurut penulis That’s The Way it Crumbles (2017) ini, cara orang Inggris bicara hari-hari ini sangat dipengaruhi oleh tuturan dan budaya Amerika.
“Segala sesuatu seperti direkayasa agar setiap orang bicara dengan bahasa yang digunakan oleh negara adidaya itu. Itu akan membuat dunia jadi homogen dan membosankan,” kata Engel dalam wawancara dengan The Economist.
Namun, orang Inggris kebanyakan tidak menyadari bahwa beberapa kata yang mereka cap sebagai hasil Amerikanisme sebetulnya justru berasal dari Inggris. Ahli bahasa The Economist Lane Greene menyebut kata-kata seperti faucet (keran) dan diaper (popok) yang dikira adalah kata Amerika sebenarnya berasal dari langgam bahasa Middle English. Langgam ini dituturkan antara abad ke-12 hingga ke-16.
Contoh kata Amerikanisme lain adalah kata sidewalk (trotoar). Padahal, sidewalk sejatinya muncul di Inggris sekira awal abad ke-19. Greene menyebut kata itu merujuk pada trotoar di sepanjang Jembatan Westminster. Jadi, pada titik tertentu Amerikanisme justru mengawetkan bahasa lama sekaligus membantah mereka yang menyangkanya merusak bahasa Inggris.
“Bahasa Inggris ada dalam kondisi yang sangat baik. Bahasa terus berubah setiap waktu di berbagai situasi dan lini masyarakat. Bahasa Inggris pun tidak sedang diarahkan untuk jadi homogen (seperti yang disangkakan Engles),” kata Greene.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi