Menuju konten utama

Di Balik Hengkangnya Rabobank dari Indonesia

Hengkangnya kantor cabang bank asing dari persaingan bisnis perbankan Tanah Air disebabkan alasan spesifik perusahaan, bukan karena bisnis industri perbankan Indonesia.

Di Balik Hengkangnya Rabobank dari Indonesia
Gedung kantor pusat Rabobank. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Hari masih pagi ketika saya menginjakkan kaki di Gedung Nobel House, kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Waktu baru menunjukkan jam 09.22. Sesampainya di kawasan perkantoran mewah tersebut, saya langsung naik menuju lantai 32, tempat salah satu kantor cabang Rabobank berada.

Di Gedung Nobel House, Rabobank Indonesia menempati dua lantai yaitu di lantai 31 dan 32. Lantai 31 merupakan kantor pusat Rabobank Indonesia, sementara lantai 32 merupakan kantor cabang. Kantor cabang itu tidak lah begitu besar, akan tetapi bernuansa bersih dan segar.

Saat itu, hanya ada dua orang teller dari sekitar 4 meja teller yang tersedia. Lainnya bertuliskan closed. Tampak pula pemandangan dua pasang meja dan kursi sebagaimana tempat customer service berada, tapi hanya ditempati satu orang saja. Sepasangnya lagi dibiarkan kosong.

Lainnya, ada seorang penjaga keamanan yang menemani tiga orang perempuan garda terdepan industri perbankan itu. Selain saya, hanya ada satu orang nasabah lain pagi tadi. Seorang pria paruh baya dengan perawakan tegap, yang saya taksir usianya sekitar 50 tahunan. Saya berkesempatan sedikit berbincang dengan nasabah yang enggan disebutkan namanya itu.

Ia menuturkan, Rabobank masih melayani nasabah seperti biasa saat ini operasional bisnisnya di Indonesia akan segera berakhir. “Sebagai nasabah, kalau ada bank yang tutup begini pasti merasa kehilangan,” ungkapnya.

Manajemen Rabobank Indonesia secara resmi telah mengumumkan penghentian operasional bisnisnya. Melalui surat pemberitahuan resmi yang ditujukan kepada nasabah loyalnya, perseroan mengumumkan penghentian operasional di Indonesia secara bertahap pada 22 April 2019.

Presiden Direktur Rabobank Indonesia, Jos Luhukay dalam suratnya mengungkapkan bahwa keputusan ini merupakan keputusan sulit namun merupakan bagian dari strategi global Rabobank Group terkait dengan visi Banking for Food yang berfokus pada rantai pasokan internasional untuk sektor pangan dan agrikultur.

“Dengan berat hati kami sampaikan bahwa pemegang saham pengendali telah memutuskan untuk menghentikan operasional Rabobank Indonesia. Kami berkomitmen untuk menjalankan keputusan dari seluruh pemegang saham dengan sebaik mungkin dan memastikan proses pengembalian izin perbankan dan izin usaha kepada otoritas terkait berjalan dengan baik, lancar, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia,” tulis Jos Luhukay, seperti dilansir dari CNBC Indonesia.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Slamet Edy Purnomo mengungkapkan, sebagai regulator OJK akan memastikan seluruh hak dan kewajiban Rabobank Indonesia kepada pihak terkait termasuk nasabah, akan terjaga dan terlindungi dengan baik.

Ia mengungkapkan, hengkangnya Rabobank dari daftar kantor cabang bank asing (KCBA) di Indonesia terkait wacana konsolidasi bisnis perseroan di kawasan Asia.

“Ada rencana bisnis dari kantor pusat di Belanda bahwa bisnis Rabobank di Asia akan disentralisasi di Hong Kong,” jelas Slamet Edy kepada Tirto.

Dengan demikian, beberapa kantor cabang dan kantor cabang pembantu yang beroperasi di Indonesia secara bertahap akan dihentikan. Selain itu, Rabobank telah menyiapkan dana yang cukup untuk membayar simpanan nasabah jika dana tersebut ditarik sewaktu-waktu.

Kinerja Kurang Menggembirakan Rabobank Global

Mochammad Doddy Ariefianto, Direktur Grup Surveillance (Pengawasan Risiko) dan Stabilitas Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menilai, hengkangnya beberapa KCBA dari Indonesia semisal Rabobank, lebih disebabkan oleh alasan spesifik perseroan seperti prioritisasi terhadap keberlangsungan bisnis perseroan di tingkat global. Berakhirnya operasional bisnis suatu KCBA, merupakan salah satu upaya penyusunan kembali strategi bisnis jangka panjang perseroan agar tetap sejalan dengan core business atau bisnis inti perseroan secara global.

Rabobank yang mulai beroperasi di Indonesia sejak 1990 memberikan layanan perbankan korporasi dengan fokus pada sektor pangan dan agribisnis. Di sektor ini, kredit yang disalurkan bank asing di Indonesia mencapai Rp4,78 triliun per Februari 2019. Angka itu turun dibanding Januari 2019 yang mencapai Rp5,27 triliun. Secara rata-rata, penyaluran kredit sektor pertanian oleh bank asing mengalami penurunan dari Rp5,84 triliun pada 2015 menjadi Rp3,5 triliun pada 2017 (PDF).

Hal itu sejalan dengan menyusutnya investasi asing asal Belanda di Indonesia. Pada 2014 misalnya, investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) asal negeri kincir angin mencapai $1,7 miliar setara 6,1 persen terhadap keseluruhan realisasi investasi asing di Indonesia. Angka itu turun menjadi $1,3 miliar pada 2015, setara 4,5 persen (PDF) dan hanya sebesar $943,12 juta pada 2018. Realisasi investasi asal Belanda di Indonesia sepanjang tiga bulan pertama 2019 sebesar $365,3 juta.

Kontribusi Rabobank Indonesia terhadap perusahaan induk yang bermarkas di Utrecht juga semakin berkurang. Di Asia, kontribusi terbesar berasal dari Rabobank Hong Kong yang membukukan pendapatan bunga 2018 mencapai EUR 292 juta. Sedangkan Indonesia menyumbang EUR 58 juta yang turun dibanding 2017 yang mencapai EUR 65 juta (PDF).

Di Indonesia, kinerja Rabobank juga tidak begitu menggembirakan. Laporan bulanan perseroan melaporkan kerugian sebesar Rp10,24 miliar per Februari 2019 (PDF). Selain itu, jumlah karyawan juga terus berkurang dari 1.708 karyawan pada 2009 menjadi hanya 722 karyawan pada 2017.

“Hengkangnya Rabobank adalah hal biasa yang normal 100 persen normal. Kalau dipandang sudah tidak menguntungkan, tentu untuk apa dipertahankan? Lebih baik kalau kantor cabangnya ditutup. Itu adalah hal biasa,” jelas Doddy kepada Tirto.

Legitnya Persaingan Bisnis Perbankan Tanah Air

Secara keseluruhan, bisnis perbankan Indonesia sebenarnya masih cukup menggiurkan, terutama jika dilihat dari besaran margin bunga bersih atau net interest margin (NIM). Per Februari 2019, NIM KCBA sebesar 4,13 persen, naik 82 bps dibanding posisi per Februari 2018 yang sebesar 3,31 persen (PDF). Secara rata-rata tahunan, NIM operasional bank asing di Indonesia selalu berada di atas tiga persen selama empat tahun belakangan. Perolehan tertinggi terjadi pada 2016, saat KCBA mampu meraup NIM sebesar 3,90 persen (PDF).

“Ini artinya, bank-bank asing pun masih bisa bersaing di Indonesia dan persaingan bisnis perbankan Indonesia cukup baik,” ucap Doddy.

Infografik Hengkangnya bangsa asing

undefined

Secara nasional, industri perbankan nasional mampu mencetak NIM di atas empat persen, yang merupakan salah satu tertinggi di ASEAN. Selain Indonesia, industri perbankan Filipina merupakan salah satu bisnis yang bisa memberikan keuntungan tinggi bagi investor.

NIM perbankan Indonesia per Februari 2019 tercatat sebesar 4,81 persen. Selama empat tahun belakangan, tren NIM industri perbankan Tanah Air memang tercatat di atas 5 persen. Tertinggi pada 2016 mencapai 5,63 persen, berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) (PDF) yang dirilis oleh OJK.

“Bisnis perbankan di Indonesia tetap menjanjikan dan memberikan keuntungan, sehingga tetap terlihat sexy di mata investor asing. Tetap sexy di mata investor. NIM industri perbankan di Indonesia termasuk salah satu yang tinggi di ASEAN,” sebut Doddy.

Terlepas dari hengkangnya Rabobank dari Indonesia, Doddy menyebut bahwa bisnis industri perbankan Tanah Air masih sedap dipandang mata investor asing. Ini karena, faktor risiko yang terkendali serta pasar potensial alias potential market yang besar yang dimiliki oleh Indonesia lantaran baru sekira 50 persen individu dewasa Tanah Air yang mengenal perbankan.

Dengan begitu, masih terbuka luas pertumbuhan perolehan dana pihak ketiga serta kredit yang disalurkan. Selain itu, bisnis di Indonesia juga multi eksplorasi. Misalnya saja dengan pembangunan infrastruktur yang sejak 2014 giat dilaksanakan, banyaknya bisnis turunan yang bisa digarap oleh industri perbankan seperti pembangunan perumahan yang diikuti oleh menggeliatnya bisnis konstruksi.

“Indonesia adalah salah satu sweet spot bagi investor yang ingin memiliki bisnis bank,” pungkas Doddy.

Baca juga artikel terkait PERBANKAN atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Bisnis
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti