tirto.id - Kabar pengembangan vaksin COVID-19, yang diterima Bio Farma sebanyak 2.400 sampel Senin (20/7/2020) lalu dan bakal diuji klinis tahap 3, direspons positif pasar. Selasa (21/7/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 63,6 poin atau 1,26 persen ke posisi 5.114,71.
Pasar saham lain juga merespons positif serangkaian hasil positif dari penelitian vaksin COVID-19 di berbagai negara. Indeks Jepang, Nikkei 225, menguat 0,73 persen menjadi 22.884, Korea Composite Stock Price Index (Kospi) naik 1,39 persen menjadi 2.228,83, Indeks Hang Seng milik Hong Kong naik 1,83 persen, dan Indeks Singapura naik 0,53 persen.
Analis dan direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan tren penguatan saham ini memang disebabkan oleh faktor kabar baik tentang vaksin. “Posisi pasar cuma satu: kalau mau benar pulih harus lihat vaksin. Kalau vaksin ada, pasar menganggap semua masalah COVID-19 selesai,” ucap Hans saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (22/7/2020).
Melihat tren itu, Hans tak heran bila pada perdagangan Rabu (22/7/2020), saham emiten PT Kimia Farma (KAEF) dan PT Indofarma (INAF) melonjak. Banyak orang tiba-tiba tertarik mengoleksi saham farmasi. Otoritas bursa pun sampai memberlakukan Auto Reject Atas (ARA) karena banyaknya investor mengantre untuk membeli tapi tak ada yang bersedia menjual.
Data RTI mencatat saham KAEF sempat naik 24,78 persen menjadi Rp2.140 per lembar saham dan mengalami ARA pukul 9.26 WIB. INAF melonjak 24,92 persen ke Rp1.880 per saham dan ARA berlaku pada pukul 9.28 WIB.
Meski demikian, Hans bilang pergerakan saham belakangan ini perlu diwaspadai. Sentimen positif ini terkesan semu karena pengembangan vaksin sebenarnya membutuhkan waktu yang lama. “Pasar saham diberi ‘gula’ berita vaksin tapi kita juga harus hati-hati karena waktu pengembangan masih lama.”
Analis sekaligus Managing Director Samuel Holding Harry Su juga menyarankan untuk waspada. Pasalnya, kabar vaksin harus dilihat sejernih mungkin. Ia mengingatkan vaksin baru akan menjalani uji klinis tahap 3. Dari informasi yang ia dapat, pengembangan vaksin masih harus menjalani uji klinis ke-4, belum termasuk tahapan produksi massal.
Menurut situs Goodrx, uji klinis tahap 3 tidak mudah, bisa berjalan satu sampai empat tahun. Uji tahap ini menentukan seberapa aman obat itu diedarkan. Lalu, hanya sekitar 25-30 persen obat bisa lolos uji tahap ini. Selanjutnya, otoritas obat dan makanan juga harus mengecek kelayakan data uji klinis sekaligus fasilitas produksi.
“Jadi memang terjadi gap antara ekspektasi dan realita,” ucap Harry saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (22/7/2020).
Di luar vaksin, Harry juga mencatat setidaknya ada dua faktor yang menyumbang penguatan pasar. Pertama, operasi pasar Bank Indonesia (BI) yang menambah likuiditas atau quantitative easing. Kedua, akhir-akhir ini memang lebih banyak orang yang tertarik bermain saham.
Tren positif dari kabar vaksin ini menurutnya, juga relatif sementara sebab pasar sebenarnya juga menanti seberapa parah penurunan kinerja perusahaan terbuka selama Q2 kemarin. Pasar juga semakin harap-harap cemas karena pengumuman pertumbuhan ekonomi Q2 semakin dekat. Belum lagi, sebagian besar ekonom berpendapat pertumbuhan Q2 2020 memprediksi pemburukan sampai minus 6 persen lebih dalam dari ekspektasi BI minus 4,8 persen. “Kita harus menanti seberapa parahnya hasil Q2,” ucap Harry.
Di luar itu, ia juga meyakini tren penambahan kasus baru COVID-19 masih tetap diperhatikan pasar meski setahunya, pemain pasar lebih senang mendengar kabar penemuan vaksin.
Penjelasan Harry sejalan dengan pernyataan Koordinator Uji Klinis Vaksin COVID-19 yang juga Ketua Tim Riset Kusnandi Rusmil usai menemui Presiden Joko Widodo, Selasa (21/7/2020) lalu. Kusnandi menerangkan bahwa permintaan Jokowi agar vaksin cepat ada dan beres dalam tiga bulan sulit terwujud. Ia bilang proses uji klinis paling cepat bisa selesai Januari 2021 mendatang.
“Kami bilang enggak bisa tiga bulan karena kami harus melakukan dengan hati-hati dan dengan benar,” ucap Kusnandi kepada wartawan di Istana Negara.
Kusnandi beralasan tahapan uji klinis diatur secara ketat oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Ia bilang tim harus menjalankan tata cara yang ada dengan baik untuk menjamin vaksin yang akan diproduksi massal nantinya.
“Enggak boleh dipercepat, nanti hasilnya tidak baik dan malah vaksin ini tidak terpantau efek sampingnya dan kemudian manfaatnya,” kata Kusnandi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino