tirto.id - Dewan Pers mengkritik kinerja media nasional dalam memberitakan Papua dan Papua Barat. Dewan Pers mengklaim pemberitaan mengenai provinsi paling timur Indonesia itu selama ini 'timbul tenggelam'.
"Saat ini, berita tentang Papua di media nasional timbul tenggelam. Banyak juga wartawan media nasional yang ditempatkan di Papua yang ditarik kembali," kata Ketua Dewan Pers Yosep Prasetyo dalam pertemuan eksploratif tentang Papua di Jakarta, Rabu, (11/5/2016).
Yosep memandang, dengan penempatan wartawan di Papua dan Papua Barat, masyarakat dapat ikut memahami permasalahan di provinsi itu secara komprehensif. Selain itu, pers juga harus mengkritik pemerintah bila melihat ada ketimpangan di Papua.
Ia mengingatkan, media nasional perlu belajar dari pengalaman Timor Timur yang lepas dari wilayah Indonesia.
"Pers gagal dalam memberitakan Timor Timur. Jangan lagi terulang di Papua," tutur Yosep.
Yosep menyayangkan sikap media nasional saat itu yang lebih banyak memberitakan seremonial kedatangan pejabat dari Jakarta yang disambut dengan tari-tarian dan acara-acara khusus. Hal ini memberikan pandangan keliru, seakan-akan rakyat Timor Timur bahagia menjadi bagian dari Indonesia.
"Media nasional kurang memberitakan ketimpangan yang ada di Timor Timur sehingga ketika dilakukan referendum, kita semua menyakini bahwa Timor Timur tidak akan lepas dari Indonesia. Ternyata, faktanya 90 persen orang Timor Timur ingin melepaskan diri dari Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Suhajar Diantoro menilai, pers memiliki peran penting untuk mewujudkan perdamaian dan rekonsiliasi di Papua karena merupakan salah satu pilar demokrasi.
"Pers memiliki fungsi untuk memperkuat kohesi sosial, termasuk di Papua. Bila pemerintah melenceng dari tujuan nasional, pers harus melakukan kritik," kata Suhajar dalam pertemuan eksploratif tentang Papua di Jakarta, Rabu, (11/5/2016).
Suhajar mengatakan, sebagai pilar keempat demokrasi, pers berfungsi sebagai pengawas dan mengkritisi tiga pilar lainnya, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Bila fungsi pers berjalan dengan baik, maka pers juga berperan untuk merajut kohesivitas dan rekonsiliasi Papua selain mengkritisi tiga pilar lainnya.
"Namun, pers bagaikan pedang bermata dua. Pers dapat menjadi senjata untuk mendukung kekerasan, tetapi dapat juga menjadi instrumen untuk mendorong penyelesaian konflik," tuturnya.
Pertemuan eksploratif tersebut diadakan oleh Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Jaringan Damai Papua dan Dewan Pers. Pertemuan ini mengangkat tema "Meningkatkan Peran Media Nasional Menuju Rekonsiliasi Papua" di Hall Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu, (11/5/2016).
Hadir dalam pertemuan itu Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan Suhajar Diantoro sebagai pembicara kunci mewakili Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan pembicara-pembicara lain dari berbagai kementerian dan lembaga.
(ANT)
Editor: Putu Agung Nara Indra