tirto.id - Sebuah Uber tancap gas ke arah pusat kota Johannesburg, Afrika Selatan. Ia menuju Mad Giant, sebuah restoran-bar di daerah Ferreiras Dorp. Di dalamnya ada empat penumpang: seorang dari Peru, lainnya dari Brazil, India, dan Indonesia. Mereka berjumpa dalam sebuah konferensi dan rencananya akan makan malam di sana, sambil menikmati voucher minum gratis.
Suasana dalam Uber cuma diisi obrolan ringan awalnya, sebelum orang India usul untuk memutar lagu. Orang Peru langsung inisiatif membuka Spotify di ponselnya, dan bertanya: “Lagu apa ya?”
“Despacito!” sahut orang Brasil.
“Yang orisinal atau yang remix?”
“Oh yang asli aja. Aku enggak suka yang versi Bieber. Kurasa itu ngerusak yang aslinya.”
Sebentar saja, tiga dari empat kawan itu langsung larut dalam lagu milik Luis Fonsi, sang biduan asal Puerto Rico. Mereka menyanyi mengikuti lirik. Orang India jadi satu-satunya yang belum pernah mendengar lagu itu.
Dalam versi asli, "Despacito" yang berarti “perlahan” ini memang dinyanyikan penuh dalam bahasa Spanyol. Di Peru, bahasa Spanyol adalah bahasa nasional. Sementara di Brasil, meski mereka menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa utama, bahasa Spanyol sudah akrab karena secara geografis dikelilingi negara-negara berbahasa Spanyol, bahkan sebagian mencampurnya dalam bahasa sehari-hari. Bahasa itu dikenal dengan istilah portuñol.
Mereka tak heran kalau orang Asia tak hapal bahasa Spanyol, tapi kaget karena orang Indonesia—negara berbahasa Melayu—fasih merapal lirik "Despacito".
Di Indonesia, dan sebagian besar dunia lainnya, Despacito nyatanya memang bukan barang asing di kuping. Google Indonesia bahkan mencatatnya sebagai lagu paling populer di Indonesia sepanjang 2017.
Belakangan, Spotify juga menahbiskan hal serupa: "Despacito" jadi lagu nomor dua dan nomor tiga yang paling sering didengarkan sepanjang 2017 secara global. Versi remix yang duet dengan Justin Bieber lebih unggul sedikit dari versi aslinya.
Sepanjang tahun ini, "Despacito" memang dilambangkan sebagai tanda kebangkitan musik Latin. Apalagi sejak ia menjadi lagu berbahasa Spanyol yang menguasai tangga lagu dunia Billboard untuk pertama kalinya, setelah "Macarena" milik Bayside Boys Mix, pada 1996 silam.
Di atas "Despacito", Spotify memang mencatat "Shape of You" dari biduan Inggris Ed Sheeran sebagai lagu paling banyak didengar secara streaming tahun ini. Menurut Presiden Sony Music US Latin Nick Seroussi, hal itu bukan kebetulan belaka.
“Saat kau mendengar "Shape of You" Ed Sheeran, [yang kau dengar] bukan lagi kick and snare dalam permulaan lagu. Kau akan mendengar snare dalam upbeat. Itu adalah musik Karibian, berasal dari irama kami, datang dari dunia kami,” katanya pada Rolling Stone.
Kick adalah istilah slang untuk menyebut bass drum yang menghasilkan nada rendah, sedangkan snare adalah istilah untuk drum yang menghasilkan suara treble.
"Shape of You" sendiri memang mengutip irama Karibian. Menurut tulisan “How Ed Sheeran Made ‘Shape of You’ the Year’s Biggest Track” dari Jon Pareles di The New York Times, produser Steve Mac—patner Ed—menambahkan riff dengan keyboard dan log-drum dalam lagu itu. Ed sendiri tak keberatan, karena awalnya ia pikir lagu itu tak akan masuk dalam album teranyarnya, ÷ (Divide).
“Aku enggak bikin lagu ini untuk aku yang nyanyikan,” katanya. Ia sempat ingin memberikan lagu itu pada Rudimental, yang mungkin duet dengan Rihanna. “Mengikuti tren dalam pop adalah hal wajar, dan hal itu adalah sesuatu yang biasanya kuhindari. Tapi aku salah ternyata, [lagu] ini jadi lagu paling besar dalam karierku,” tambahnya.
Tren musik memang sedang berubah. Di Spotify, secara global musik Latin tumbuh 110 persen pada 2017, lebih tinggi dibanding genre Hip-Hop yang tumbuh 74 persen. Rekor barunya, 10 musik berbahasa Spanyol masuk dalam tangga lagu Global Top 50 Spotify.
Di Youtube, enam dari 10 video musik paling banyak ditonton tahun ini adalah dari artis Latin. Naik signifikan dibanding pada 2016, yang cuma 1:10. Di Youtube, 45 dari 100 video musik paling banyak ditonton adalah milik artis Latin. "Despacito" sendiri adalah video musik pertama di Youtube yang tembus 4 miliar kali tayang.
Rupanya tren ini tak terjadi sekonyong-konyong. Setidaknya begitu analisis Jesús López, CEO Universal Music Latin America. Ia mengaku sudah mencium aroma kebangkitan musik Latin ini sejak 2013. Rocio Guerrero, Kepala Global Culture di Spotify mencatat, pendengar Reggaeton—musik khas Latin—terus naik melampaui genre Hip-Hop dan Pop sejak 2014. Kenaikan yang sama juga dicatat Sandra Jimenez, Kepala Musik Amerika di Youtube dan Google Play. Angkanya sekira 75 sampai 80 persen, baik pada 2015 dan 2016.
Salah satu faktor pengubahnya adalah kebiasaan mendengar lagu yang berubah. Orang tak lagi menunggu radio atau acara musik di televisi untuk tahu perkembangan musik terbaru. Jasa layanan musik streaming yang gampang diakses membuat jalur pasar berubah.
Dahulu, jika musik di luar Amerika ingin masuk ke jajaran musik internasional, seleksi ketat dari radio di negeri Paman Sam itu akan sangat berpengaruh. Itu sebabnya tak banyak musisi Latin yang berhasil mengikuti jejak Ricky Martin, Shakira, dan Christina Aguilera ketika fenomena serupa terjadi di akhir 1990-an dan awal 2000-an.
Streaming membuka jalur bagi musisi baru untuk lebih dikenal. Misalnya "Me Rehúso" milik Danny Ocean, musisi Columbia yang pindah ke Miami dan menciptakan lagu itu untuk kekasihnya yang ia tinggal. Sejak dilepas ke Spotify September 2016, perjalanan Me Rehúso tak bisa dibilang biasa-biasa saja.
Sebagai debut pertama, lagu itu membawa nama Danny Ocean langsung ke panggung musik internasional. Ia masuk Global Top 50 Chart di Spotify, dan awal bulan ini mendapuk gelar sebagai lagu berbahasa Spanyol paling lama yang bertahan di tangga lagu itu, bahkan melampaui "Despacito".
Danny Ocean tak sendiri. J. Balvin, biduan Reggaeton asal Columbia mengikuti jejak "Despacito" dengan lagunya bertajuk "Mi Gente". Bila Fonsi membuat remix "Despacito" dengan mengundang Justin Bieber (dan kini punya lagu duet baru bersama Demi Lovato), Balvin tak mau kalah dengan mengundang langsung Sang Ratu Musik, Beyonce. Strategi itu tak meleset. "Mi Gente" sempat memuncaki tangga lagu di Spotify dan iTunes.
Strategi duet ini juga lebih dulu berhasil dilakukan Maluma, biduan lain dari Columbia. Pada penutupan 31 Desember tahun lalu, lagu duetnya bersama Shakira, berjudul "Chantaje" jadi video musik paling banyak ditonton di Youtube. Kini Maluma sudah mondar-mandir di tangga lagu internasional dengan lagu lain, dan duet lainnya. Semisal "Corazon" atau "Hola".
Paling anyar adalah Ozuna, biduan Reggaeton asal Puerto Rico yang kencang sekali mengeluarkan lagu-lagu duet—yang juga mondar-mandir masuk tangga lagu dunia. Terakhir, duetnya dengan Cardi B—rapper perempuan asal New York—lewat "La Modelo", jadi lagu nomor satu di tangga lagu Latin iTunes.
Ismar SantaCruz, Direktur Strategi Radio di Univision melihat kenaikan angka kolaborasi ini sudah terjadi sejak 10 tahun lalu, sebelum Reggaeton sepopuler sekarang.
“Ketimbang menggapai kesuksesan sendiri-sendiri, [artis-artis ini] menggapainya secara kolektif," katanya seperti dikutip Rolling Stone. “Beberapa tahun lalu, dinding simbolis antara Reggaeton Puerto Rico dan Reggaeton Kolombia mulai runtuh, dan sekarang alih-alih punya satu lagu dari Daddy Yankee, kamu bisa punya satu lagu dengan empat artis berbeda. Hal ini menciptakan efek bola salju yang lebih kuat."
Lantas, apakah bangkitnya musik Latin ini akan berlangsung lama? Atau hanya semusim belaka seperti yang terjadi pada akhir 1990-an silam?
Menurut Seroussi, jawabannya tidak—fenomena ini bukan semusim belaka. “Kita tidak bicara nasib baik belaka, atau musim-musiman, atau ‘ini tuh lucu untuk sekarang’ kayak yang terjadi pas 1990-an kemarin,” katanya. “Kupikir [musik Latin] ini bakal tetap bertahan dalam beberapa tahun ke depan.”
Faktor utamanya, karena sistem streaming yang akan menghilangkan sekat-sekat di dunia musik sebelumnya. Pola ini benar-benar menyerahkan tren ini pada selera pasar. Alasan lainnya, Seroussi tahu bahwa ada sejumlah kolaborasi besar lainnya yang akan terjadi pada 2018 mendatang. Setidaknya itu yang sedang disiapkan Sony Latin.
Mungkin, alasan lain adalah karena irama Reggaeton sangat ramah di telinga sehingga mudah diterima. Saya jadi ingat pada Dhamini, kawan dari India yang belum pernah dengar Despacito sebelum naik Uber tempo hari. Keesokan harinya, saat kami dalam Uber yang lain dengan tujuan tempat lain, ia sudah memutar sendiri lagu itu. Dan secara sepotong-potong, ia mulai mengikuti liriknya.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani