Menuju konten utama

Derita Berkepanjangan Anak-anak Korban Perang

Perang terus bergejolak di berbagai wilayah di dunia. Korbannya yang tak bersalah terus berjatuhan, termasuk anak-anak. Jutaan anak harus meninggalkan rumahnya dan mengungsi mencari tempat yang aman. Jumlahnya setengah dari total pengungsi dunia.

Derita Berkepanjangan Anak-anak Korban Perang
Paramedis membawa anak pengungsi Suriah sakit parah di perbatasan Yunani dengan Makedonia, dekat desa Yunani Idomeni, 9 September 2015. Sebagian besar orang membanjiri Eropa melarikan diri dari kekerasan dan penganiayaan di negara asal mereka yang memiliki hak hukum untuk mencari suaka. [Foto/REUTERS/Yannis Behrakis]

tirto.id - Sesosok jasad bocah yang mengenakan baju merah telungkup di pesisir Semenanjung Bodrum, Turki. Ia adalah Aylan Kurdi, bocah tiga tahun asal Suriah. Aylan dan keluarganya sudah menempuh perjalanan bermil-mil untuk menjauh dari negaranya yang sedang dilanda konflik. Ganasnya laut menghentikan perjalanan Aylan. Foto Aylan yang telungkup tanpa nyawa membuat iba seluruh dunia. Muncul desakan agar menerima para pengungsi dengan tangan terbuka.

Selasa, 6 September 2016 merupakan peringatan setahun tragedi Aylan Kurdi. Bagaimana nasib para pengungsi kini? Masihkah ada bocah lain yang senasib dengan Aylan. Data dari PBB mengungkap data banyaknya anak yang harus menjadi pengungsi karena berbagai konflik yang melanda negara. Salah satunya adalah Halima, bocah asal Somalia.

Bersama dengan adiknya, Halima yang baru menginjak usia 10 tahun ini juga terpaksa mengungsi karena perang yang berkecamuk di Somalia.

“Ayah saya memiliki sebuah toko di Kismayo, tetapi mereka (The Islamic Courts Union) mengatakan kepada ayah saya bahwa ia tidak diizinkan lagi untuk menjual CD musik. Orang tua saya langsung berpikir jika akan terjadi perang. Sehingga suatu pagi, ibu membawa saya dan adik-adik saya pergi meninggalkan rumah kami. Ayah saya masih di sana bersama dua saudara dan nenek saya,” ujarnya, kepada petugas badan khusus PBB untuk pengungsi (UNHCR).

“Sekitar tiga minggu lamanya kami melakukan perjalanan hingga tiba di sini (perbatasan Somalia). Ibu membawa persediaan makanan dan kami juga memohon sedikit makanan dari desa-desa yang kami lewati. Ketika tiba disini, mereka mencatat nama kami dan memberi kami makan. Kami harus menunggu di sini hingga satu minggu ke depan, sementara petugas memeriksa surat-surat kami. Kemudian truk akan datang dan membawa kami ke tempat tinggal yang baru.”

Halima dan keluarganya kini tinggal di kamp pengungsi di wilayah Dadaab, Kenya Timur. Mereka bersama dengan 280.000 orang lainnya memilih untuk meninggalkan rumah mereka di Somalia. Kondisi Somalia yang masih jauh dari kata damai sepertinya akan membuat Halima dan keluarganya akan tetap berada di kamp itu hingga beberapa tahun kedepan.

Aylan dan Halima adalah bagian dari jutaan anak yang terpaksa harus meninggalkan rumahnya, mencari tempat yang aman. Perang telah menghancurkan masa depan anak-anak ini.

Anak-anak selalu jadi korban pertama dari setiap peperangan. Betapa tidak, ada di antaranya yang terpisah dari keluarganya, harus hidup seorang diri di kamp pengungsian, kemudian mereka tak dapat melanjutkan pendidikan, tak sedikit juga dari mereka yang terluka, cacat bahkan tewas karena perang.

Laporan dari badan khusus PBB yang menangani anak-anak UNICEF cukup mencengangkan. Dalam laporan itu disebutkan, pengungsi anak mencapai setengah dari total pengungsi di dunia. Sekitar 31 juta anak telah menjadi pengungsi dan tinggal di luar negaranya akibat perang. Itu termasuk 10 juta pengungsi anak dan 1 juta anak yang mencari suaka yang hingga kini belum ada kejelasan status.

Laporan UNICEF yang berjudul Uprooted: The Growing Crisis for Refugee and Migrant Children tersebut juga mengungkapkan jika pada 2015, setengah dari pengungsi anak itu berasal dari Suriah serta Afghanistan. Sedangkan sisanya yang lain, berasal dari konflik di sekitar 10 negara lainnya.

Sebagian besar pengungsi anak berada di Asia, yang mencapai 39 persen dari total pengungsi anak di dunia yakni sekitar 12 juta anak. Namun, jika ditarik berdasarkan negara maka Amerika Serikat adalah rumah bagi sebagian besar anak-anak yang mengungsi. Meskipun secara umum Turki adalah rumah terbesar bagi pengungsi dunia.

Perang yang tak kunjung reda dalam lima tahun terakhir ini juga menyebabkan meningkatnya jumlah pengungsi anak dunia hingga 75 persen. Setiap tahun angkanya terus bertambah bahkan peningkatannya mencapai dua kali lipat selama sepuluh tahun terakhir. Meskipun mereka sudah pergi meninggalkan kotanya yang porak poranda karena perang, tapi bayang-bayang bahaya dan tindakan kekerasan masih terus menghantui anak-anak malang ini.

Para pengungsi dari Suriah yang ingin mencari tempat aman seperti ke Eropa, harus melewati ganasnya laut Mediterania. Bahaya tak dapat di prediksi sesekali dapat menghadang mereka dalam perjalanan. Seperti yang terjadi pada ratusan pengungsi Suriah yang harus kehilangan nyawa di Laut Mediterania. Nasib buruk seperti diculik, diperkosa, ataupun dibunuh juga mengintai mereka dalam perjalanan.

“Hari ini, hampir satu dari setiap 200 anak-anak di dunia adalah pengungsi. Dalam beberapa tahun terakhir kita telah melihat sejumlah besar anak yang terpaksa harus meninggalkan rumahnya, mengambil resiko, serta putus asa. Anak-anak dalam perjalanannya beresiko tinggi terhadap berbagai kekerasan dan rentan menjadi korban kejahatan.” kata Wakil Direktur Eksekutif UNICEF Inggris, Lily Caprani, dikutip dari The Guardian.

Penderitaan mereka tak sampai di situ. Ketika tiba di kamp pengungsian, anak-anak tersebut juga harus kembali merasakan berbagai tindakan kekerasan. Kamp pengungsian yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi jutaan anak itu kemudian menjadi sarang tindakan kekerasan baru yang siap menghantui anak-anak.

Di kamp pengungsi, anak-anak berisiko tinggi menjadi korban pelecehan seksual, penyelundupan manusia, perdagangan manusia dan bentuk kekerasan lainnya. Misalnya yang terjadi di tempat pengungsian di Nizip, Gaziantep, di tenggara Turki. Setidaknya ditemukan sekitar 30 anak Suriah yang berusia 8-12 tahun yang mengalami pelecehan seksual di kamar mandi pengungsi sejak September 2015 hingga Januari 2016.

Tersangkanya adalah seorang pria yang bertugas sebagai pencuci piring di tempat pengungsian tersebut. Anak-anak tersebut dibujuknya ke area yang tidak terpantau oleh kamera pengawas seperti di kamar mandi. Di sana, anak-anak itu dipaksa untuk berhubungan seksual dengannya dan dibayar dengan uang sebesar 1,5 hingga 5 lira.

Selain itu, Newshub menyebut juga jika banyak karyawan serta manajer yang bekerja di kamp pengungsian tersebut yang turut terlibat dalam pelecehan seksual tersebut tapi tak pernah terendus media.

"Meskipun banyak masyarakat dan orang-orang di seluruh dunia yang mulai menerima pengungsi dan anak-anak migran, namun xenophobia, diskriminasi, dan pengucilan dapat menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan dan masa depan mereka,” kata Direktur Eksekutif UNICEF, Anthony Lake, dikutip dari The Guardian.

"Tapi jika pengungsi anak diterima dan dilindungi hari ini, mereka memiliki kesempatan untuk belajar dan tumbuh, dan mengembangkan potensi mereka, mereka dapat menjadi sumber stabilitas dan kemajuan ekonomi," lanjut Anthony.

Seruan untuk melindungi pengungsi anak-anak juga datang dari Save The Children. Organisasi non-pemerintah ini menulis pada lamam situsnya jika pergerakan jumlah pengungsi anak terus meningkat, bahkan tertinggi sejak Perang Dunia II. Anak-anak membutuhkan perlindungan, tulisnya.

Seruan demi seruan untuk mengakhiri krisis pengungsi anak sudah sering di serukan. Mulai dari individu hingga organisasi internasional seperti PBB. Namun dari tahun ke tahun, bukannya menurun tapi jumlah pengungsi anak terus meningkat.

Memberi perlindungan terhadap pengungsi anak memang sudah menjadi tanggung jawab masyarakat internasional. Bukan hanya pengungsi anak tapi untuk seluruh anak di dunia. Mungkin impian yang tersisa dari anak-anak itu hanyalah dapat hidup dengan aman. Karena impian mereka yang lainnya telah direnggut oleh perang.

Baca juga artikel terkait PENGUNGSI ANAK atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti