tirto.id - Beberapa hari jelang Piala Dunia 2018 digelar, foto sebuah kaos yang memperlihatkan taktik Denmark mendadak viral di dunia maya. Dengan berbentuk bagan, taktik tersebut digambarkan begini: kick off - oper bola ke Christian Eriksen - apakah ia mencetak gol atau tidak? - oper lagi ke Eriksen. Tentu saja kaos tersebut hanyalah olok-olok, kendati tak salah-salah amat jika menafsirkan taktik Denmark dengan cara demikian.
Praktis memang hanya Eriksen yang memiliki kualitas pemain kelas satu di skuat Denmark saat ini. Secara statistik ia membuktikan hal tersebut. Di bawah arahan pelatih Age Hareide, Eriksen sukses membukukan 16 gol dalam 21 pertandingan. Sementara di era pelatih sebelumnya, Morten Olsen, ia bermain sebanyak 57 laga namun hanya mencetak enam gol.
Hanya saja, pada praktiknya, taktik yang kerap bertumpu kepada Eriksen ini mudah saja dipatahkan karena kualitas pemain lain yang jauh di bawah Eriksen. Denmark sering mati angin terutama jika Eriksen dijaga ketat pemain-pemain yang condong mengandalkan kekuatan fisik. Tanpa back up dari rekan-rekan setimnya, gelandang 26 tahun yang bermain untuk Tottenham Hotspur tersebut acap kesulitan melepaskan diri dari tekanan.
Seperti terlihat ketika Denmark berhadapan dengan Prancis di laga pamungkas Grup C. Dalam laga yang berakhir dengan skor 0-0 itu, Eriksen praktis tak berkutik setelah pergerakannya dikunci rapat oleh Steven N’Zonzi dan N’Golo Kante. Dalam laga tersebut, persentase kesuksesan operan (pass success percentage) Eriksen hanya mencapai 69,7%, kendati ia turut melepaskan empat tembakan.
Denmark sebetulnya memiliki beberapa pemain dengan postur tinggi besar. Antara lain: bek tengah Simon Kjaer (1,9 meter), gelandang box-to-box Thomas Delaney (1,8 meter), Yussuf Yurary Poulsen yang bermain di RB Leipzig (1,93 meter), serta Mathias “Zanka” Jorgensen sebagai holding midfielder (1,91 meter). Hanya saja, amat jarang Denmark bermain agresif dan menekan intens lawan secara fisik.
Sejak menangani Denmark, Hareide menggunakan formasi 4-3-3 dengan sistem direct play. Di posisi bek tengah, ia menempatkan duet Kjaer yang bermain untuk Sevilla dan bek muda Chelsea, Andreas Christensen. Khusus Christensen, ia sebetulnya merupakan pilihan kedua Hareide setelah Andreas Bjelland mengalami cedera. Namun, dengan kemampuannya sebagai ball-playing defender, bek yang masih berusia 22 tahun tersebut justru kerap menjadi pemain pertama ketika Denmark membangun permainan dari bawah.
Sementara posisi bek sayap Denmark ditempati oleh Jens Stryger Larsen dan Henrik Dalsgaard. Demi mengakomodir kedua bek yang memiliki perbedaan karakter tersebut, Hareide menggunakan pendekatan yang berbeda untuk keduanya.
Hareide kerap membangun serangan dari sisi kiri dengan membentuk poros segitiga yang melibatkan: (LB) Larsen - (CM) Thomas Delaney - (LW) Pione Sisto. Para pemain lain kemudian bergerak mencari ruang dengan jarak yang berdekatan.
Saat serangan mulai dibangun, Larsen akan bergerak ke tengah menambal posisi Delaney yang naik ke atas. Sementara Delaney akan bergeser ke kiri depan ketika Sisto mencoba penetrasi menusuk ke tengah. Jika digambarkan, ketiga pemain ini akan bergerak secara diagonal dan membentuk garis zig-zag: kiri-tengah-kiri-tengah.
Khusus Larsen, perubahan perannya bisa jadi diadaptasi dari pendekatan yang dilakukan Pep Guardiola di Manchester City terhadap Fabian Delph. Pep yang ingin full back-nya di sisi kiri ikut terlibat ketika build up serangan di lini tengah, menunjuk Delph untuk melakoni role tersebut. Hal ini tentu mengingatkan pada sistem permainan Barcelona ketika Dani Alves masih di Nou Camp.
Bersama Xavi/Rakitic di tengah dan Messi di sisi kiri, trio ini kerap menjadi opsi utama saat Barca menghadapi lawan yang menumpuk pemain di lini tengah. Tiap Alves mendapat bola, ia akan naik segera naik ke atas dan bergeser agak ke tengah untuk melakukan umpan tik-tak bersama Messi atau Xavi/Rakitic. Hanya saja, dengan tidak adanya pemain sekaliber Messi, Alves, atau Rakitic di skuat Denmark, taktik Hareide tentu tidak berlangsung sedinamis Barcelona.
Di sisi kanan, Hareide mengusung pendekatan yang lebih tradisional, mengingat karakter permainan Henrik Dalsgaard sebagai fullback juga cenderung konservatif. Dalsgaard akan bergerak statis secara vertikal ke depan dan belakang lalu memberikan umpan silang ke kotak penalti. Untuk mengakomodir umpan-umpan silang Dalsgaard, Hareide pun memilih Nicolai Jorgensen yang berpostur jangkung (1,94 meter).
Kekuatan Denmark sesungguhnya ada di pertahanan. Hal tersebut sudah ditunjukkan mereka ketika melawan Perancis. Kendati anak asuh Didier Deschamps amat dominan dengan menguasai bola sebanyak 62% (berbanding 38%), melakukan 661 operan, hingga membuat attempt hingga 11 kali (on target 4, off target 6, blocked 1), mereka tak sanggup mencetak gol ke gawang Denmark.
Satu hal lagi yang dapat menjadi gambaran kekuatan Denmark: tim ini tidak terkalahkan dalam 18 laga (menang 9 kali, seri 9 kali). Terakhir kali Denmark kalah saat laga kualifikasi kontra Serbia Montenegro (11 Oktober 2016) dengan skor 0-1.
Duet Maut di Lini Tengah Kroasia: Rakitic dan Modric
Sejak melakoni debut di Piala Dunia 1998, Kroasia sudah langsung mengguncang publik sepakbola lewat penampilan mereka. Selain meraih gelar juara ketiga, penyerang mereka, Davor Suker, juga tercatat sebagai pencetak gol terbanyak dengan enam gol. Sejak saat itu, Kroasia selalu menjadi kuda hitam yang ditunggu kejutannya.
Di Piala Dunia 2018 kali ini, predikat kuda hitam sudah tidak lagi diterima Kroasia. Usai meraih tiga kemenangan dan lolos dari Grup D dengan nilai sempurna (9), bahkan sudah ada memprediksi mereka menjadi juara. Apalagi dalam kelolosan tersebut Kroasia juga sempat membantai Argentina dengan skor 3-0.
Skuat Kroasia memiliki kekuatan yang nyaris merata di segala lini. Kebanyakan pemain mereka saat ini sudah bersama sejak Piala Eropa 2008. Itulah kenapa Kroasia menjadi salah satu tim tertua di Piala Dunia 2018 dengan rata-rata usia pemain 29 tahun. Bisa jadi Piala Dunia 2018 adalah ajang terakhir mereka untuk unjuk gigi. Kelemahan Kroasia terdapat di posisi penjaga gawang. Kendati bermain reguler bersama AS Monaco, Danijel Subasic, sudah berusia 33 tahun dan juga tidak memiliki cadangan dengan kualitas sepadan.
Dari semua lini, tumpuan kekuatan Kroasia jelas ada di lini tengah melalui poros mengerikan Ivan Rakitic dan Luka Modric. Selain itu, tambahan tenaga dari Marcelo Brozovic, Ivan Perisic, juga Mateo Kovavic membuat lini tengah Kroasia makin tangguh. Sementara di lini depan, nama-nama seperti Mario Mandzukic, Andrej Kramaric, Nikola Kalinic, Marko Pjaca, hingga Ante Rebic juga patut diwaspadai.
Pelatih Zlatko Dalic menggunakan formasi 4-3-3 (yang berubah menjadi 4-1-4-1 ketika bertahan) dengan pendekatan man-oriented alias penjagaan per orang. Dengan pendekatan tersebut, Kroasia praktis bermain dengan garis pertahanan tinggi dan lini depan menjadi benteng pertama untuk merebut bola dari musuh. Saat menyerang, para pemain sayap Kroasia, Perisic dan Ante Rebic yang memang memiliki kemampuan menggiring yang apik dan pace di atas rata-rata, kerap melakukan cut inside ke tengah dengan dilapis para fullback yang juga naik ke atas.
Sedang tiga gelandang tengah akan bermain rapat guna menjaga kerapatan di area sentral. Modric bermain lebih ke depan, sementara Rakitic agak ke dalam, namun keduanya diberi peran bebas untuk bergerak multisisi. Brozovic diplot sebagai holding midfielder yang berdiri di depan duet Lovren dan Domagoj Vida di posisi bek tengah. Kekompakan di lini tengah inilah yang menjadi kunci utama Kroasia menjaga stabilitas permainan mereka.
Satu hal yang perlu dicermati dari Kroasia adalah, kendati memiliki banyak pemain berkualitas di lini tengah, Dalic tidak melulu berorientasi dengan penguasaan bola. Kala melawan Argentina, catatan statistik dari Whoscored menunjukkan Kroasia “hanya” menguasai bola sebanyak 43%, namun berhasil membuat percobaan sebanyak 14 kali dengan 5 di antaranya mengarah ke gawang.
Modric dan Rakitic pun sama-sama mencetak gol dalam laga tersebut. Rakitic kemudian menjadi pemain terbaik dengan ponten 9,1, sedangkan Modric di tempat kedua dengan nilai 8,9. Tiga pemain lain juga mendapat nilai tinggi dari Whoscored: Sime Vrsaljko (7,6), Mandzukic (7,4), dan bek Liverpool, Dejan Lovren (7,2).
Kroasia jelas diunggulkan dalam laga kontra Denmark. Namun melihat lima pertemuan kedua negara, baik Kroasia maupun Denmark sama-sama pernah memenangi dua laga, sementara laga lain berakhir seri. Kroasia pernah menang saat Piala Eropa 1996 (3-0) dan laga persahabatan 2004 (2-1). Sementara Denmark menang di kualifikasi Piala Dunia 1998 (3-1) dan laga persahabatan 1999 (0-1). Adapun hasil seri 1-1 terjadi pada babak kualifikasi Piala Dunia 1998 yang digelar di Kroasia.
Dengan melihat catatan statistik dan pertemuan masing-masing tim, ditambah dengan hasil tak pernah kalah keduanya dalam fase grup, pertandingan nanti dapat berlangsung ketat dan bahkan minim gol. Denmark akan bertumpu pada pertahanannya, sementara Kroasia melalui keunggulan lini tengah mereka.
Editor: Zen RS