Menuju konten utama

Demo Myanmar & Hantu Kebuntuan Satu Dekade "Leaderless Protest"

Tunisia. Mesir. Turki. Hong Kong. Myanmar. Gerakan protes tanpa pemimpin dalam satu dekade terakhir.

Demo Myanmar & Hantu Kebuntuan Satu Dekade
Pendukung militer Myanmar membawa spanduk dan bendera saat reli di Yangon, Myanmar, Kamis (25/2/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/foc/cfo

tirto.id - Satu purnama berlalu sejak rakyat Myanmar—supir truk, biksu, guru, mahasiswa, klub binaragawan, sampai polisi—berbondong menentang kudeta militer. Sedikitnya 50 nyawa melayang dan lebih dari 1.500 orang ditahan dalam aksi protes terhadap Tatmadaw, yang mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan sah Partai NLD dan menahan pemimpinnya, Aung San Suu Kyi.

Kalangan muda Myanmar, generasi paling melek teknologi, familiar dengan bahasa Inggris dan kultur pop Amerika Serikat, muncul di garis depan. Kehadiran mereka tercermin dari parade kostum di jalan dengan poster penuh sindiran terhadap rezim militer. Pada waktu bersamaan, informasi dan seruan aksi terus bergaung di dunia maya, salah satunya oleh akun bercentang biru Civil Disobedience Movement, sebuah “gerakan milik semua orang yang menentang kediktatoran dan penindasan”. Otoritas Myanmar sempat mencoba memblokir media sosial dan akses internet. Sampai hari ini, langkah tersebut terbukti gagal.

Mengingat sifatnya yang spontan, aktivisme di Myanmar dikenal kerap dikategorikan sebagai gerakan tanpa pemimpin (leaderless movement).

“Gerakan ini tanpa pemimpin—masyarakat turun ke jalanan dengan caranya sendiri atas keinginannya sendiri,” ujar aktivis Thinzar Shunlei Yi dikutip dari AP News.

Pandangan senada dilontarkan oleh Richard Horsey dari think tank International Conflict Group, bahwa protes di Myanmar tidak dipimpin oleh Partai NLD, kepanitiaan terstruktur, gerakan buruh, atau tokoh kharismatik dari serikat buruh. Horsey mengungkapkan, melalui ruang-ruang obrolan di aplikasi pesan instan atau media sosial, berbagai kelompok masyarakat justru dipersatukan oleh penolakan terhadap kudeta yang dilakukan rezim militer.

Revolusi Tanpa Pemimpin

“Kita berada di era baru revolusi tanpa pemimpin,” tulis Sam Brannen, analis think tank CSIS, pada 2019 silam.

Kala itu, Brannen tengah menyoroti aktivisme yang semakin mengglobal dalam satu dasawarsa terakhir. Dari Arab Spring sampai protes ketimpangan ekonomi di Cile, aksi protes berlangsung tanpa kehadiran figur pemimpin.

“Para demonstran—biasanya anak muda, yang marah dan berasal dari kalangan urban—bukanlah oposisi terorganisir yang menawarkan pengganti dari partai atau ideologi yang sudah mapan, melainkan suatu gerakan tanpa pemimpin yang ingin suaranya didengar,” papar Brannen.

Tahun 2011 dibuka dengan geliat aktivisme di Afrika Utara. Terinspirasi kesuksesan Revolusi Melati di Tunisia menggulingkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali, masyarakat Timur Tengah mulai memprotes rezim-rezim otokratik di negaranya. Di Mesir, kaum muda melengserkan Presiden Hosni Mubarak. Setelah beberapa orang membakar diri sebagai bentuk protes terhadap rezim Mubarak, aktivis muda Asmaa Mahfouz merilis video di YouTube dan Facebook, mengagitasi massa agar merebut Alun-alun Tahrir untuk menghabisi rezim Mubarak.

Turki mengalami musim aksi massa pada 2013, ketika sejumlah aktivis lingkungan memprotes rencana alih fungsi lahan hijau Taman Taksim Gezi di Istanbul menjadi pusat perbelanjaan modern. Aksi ini lantas berkembang menjadi gerakan berskala luas di puluhan kota besar untuk menentang pemerintahan Erdogan yang semakin otoriter.

Sementara di kawasan Asia-Pasifik, pada 2014 silam mahasiswa Hong Kong memprotes mekanisme pemilu yang diputuskan otoritas Hong Kong yang cenderung pro-Beijing. Gerakan pro-demokrasi di Hong Kong kembali menyeruak pada 2019, seiring rencana pengesahan RUU ekstradisi ke Cina yang dikhawatirkan menjadi celah bagi Beijing untuk meredam suara-suara kritis. Protes diikuti oleh serangkaian tuntutan-tuntutan lain, seperti pengusutan kekerasan oleh aparat polisi terhadap demonstran, sampa pelaksanaan hak pilih universal.

Kaum muda menjadi mesin utama serangkaian aktivisme jalanan ini. Di Mesir, salah satu penggeraknya adalah karyawan Google, Wael Ghonim. Dia memanfaatkan laman grup Facebook yang awalnya dibuat untuk mengadvokasi korban kekerasan polisi, menjadi wadah untuk menggerakkan protes anti-pemerintah berskala besar.

Di Turki, anak muda dari kalangan terpelajar menjadi kelompok yang paling bersemangat menduduki Taman Gezi: membangun tenda, klinik kesehatan, perpustakaan mini, sampai menyelenggarkan perkuliahan di sana.

Sementara di Hong Kong, aktivisme dimulai dari kelompok-kelompok komite aksi, misalnya “Occupy Central with Love and Peace”, grup Scholarism pimpinan remaja 17 tahun Joshua Wong, dan Hong Kong Federation of Students.

Seiring nyaringnya seruan demo kalangan muda, muncul pertanyaan: di mana dan apa peran organisasi atau parpol oposisi selama ini?

Di Mesir, sebelum Mubarak dilengserkan, organisasi Islamis Ihkwanul Muslimin adalah kelompok oposisi terbesar. Pada 2005, kader-kader Ikhwanul Muslimin berhasil menguasai seperlima kursi parlemen sebagai perwakilan independen. Namun demikian, status Ikhwanul Muslimin sebagai ormas tetap ilegal, sehingga upaya mereka untuk mereformasi struktur politik dan menerapkan agenda-agenda Islamis sangat terbatas. Ketika demonstrasi pecah, tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin awalnya tak terlalu berminat, meskipun akhirnya terbawa suasana dan tampak malu-malu mulai ikut demo bersama anak-anak muda.

Partai Rakyat Republikan (CHP) adalah partai tertua di Turki yang berhaluan sosial-demokrat. Dengan dukungan dari pemilih suara yang relatif sekuler dan liberal, CHP kelak menjadi benteng oposisi Erdogan yang melaju dengan partai bentukannya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Melansir analisis ilmuwan politik Koray Caliskan, AKP kerap membingkai CHP sebagai “partai elite yang jauh dari nilai-nilai budaya kelas pekerja dan menengah Turki”.

Terlepas dari itu, ketika para aktivis lingkungan memprotes pembangunan di Taman Gezi, CHP vokal memberikan dukungannya. Menurut Kader Sevinç, perwakilan CHP di Uni Eropa, gerakan Gezi adalah perjuangan historis untuk demokrasi dalam rangka membela kebebasan yang sehari-harinya terbatas dan ditekan, sekaligus demi demokrasi yang plural, partisipatif dan liberal di Turki.

Partai berkuasa, AKP, mencibir gerakan Gezi. Pada 2017, Markar Esayan dari AKP menyampaikan pada Deutsche Welle bahwa insiden di Gezi bukanlah seperti yang diberitakan media, karena pemerintah setempat hanya ingin “memindahkan” pohon alih-alih menghancurkan taman. Esayan juga menyatakan bahwa kericuhan pembakaran tenda demonstran di Gezi adalah kelakuan orang-orang FETÖ, gerakan pimpinan Fethullah Gulen yang dituduh menggerakkan kudeta terhadap Erdogan pada 2016.

“[Protes Gezi] ini bukanlah gerakan organik, melainkan ulah pendukung elite-elite lama yang membanjiri jalanan dengan orang-orang sekuler urban,” ujarnya.

Pada akhirnya, pemerintah Turki menangkapi dan mengadili aktivis-aktivis Gezi. Meskipun mereka kelak dibebaskan, salah satunya kembali harus mendekam dalam tahanan, yakni pebisnis dan aktivis HAM Osman Kavala. Selain itu, pemerintah Turki semakin mempertajam undang-undang terkait pembatasan internet pada 2014, diikuti undang-undang lain tentang pembatasan operasional perusahaan media sosial tahun 2020.

Reaksi keras pemerintah Turki gagal diantisipasi gerakan leaderless Gezi, meski para aktivisnya sukses menghadirkan pendidikan politik yang luas kepada massa. Seruan pro-demokrasi Gezi memang berhasil digaungkan keras—berkat media sosial dan liputan internasional. Sayangnya, semangat Gezi remuk digilas oleh hukum-hukum yang lebih represif.

Pengalaman gerakan leaderless Turki berbeda dari Mesir. Demonstrasi di Alun-alun Tahrir sukses melengserkan Mubarak, diikuti dengan pembubaran parlemen dan penyelenggaraan pemilu demokratis. Ikhwanul Muslimin mendirikan Partai Keadilan dan Kebebasan sebagai sayap politiknya, yang berhasil mendominasi kursi parlemen dalam pemilu 2011. Sang pemimpin partai, Mohamed Morsi, terpilih secara demokratis sebagai Presiden. Baru satu tahun menjabat, rakyat Mesir mendemo Morsi. Mereka menolak agenda-agenda Islamis dalam konstitusi yang dipandang otoriter serta mengecam penindasan terhadap aktivis dan jurnalis.

Situasi carut-marut tersebut dimanfaatkan oleh militer untuk mengambil alih kekuasaan. Pada 2013, Morsi dilengserkan dan Jenderal Abdel Fattah el-Sisi diangkat sebagai presiden. Sejak 2019, Human Rights Watch sudah memperingatkan bahaya represi terhadap kebebasan berpendapat dan dominasi militer dalam pemerintahan sipil Mesir. Dengan kata lain, meskipun gerakan leaderless di Mesir sukses mendobrak pemerintahan lama, mereka belum berhasil mendorong terwujudnya pemerintahan baru yang demokratis dan stabil. Ketidakberuntungannya bahkan berganda: ditindas partai Islamis lalu ditindas el-Sisi.

Di Hong Kong, gerakan mahasiswa sejak 2014 tak membuahkan hasil memuaskan. Di satu sisi, anak-anak muda jadi lebih melek politik. Beberapa di antaranya bahkan berhasil menduduki kursi parlemen. Di sisi lain, tuntutan akan pemilu yang transparan tak kunjung dipenuhi. Walaupun demikian, demonstrasi tahun 2019 sukses membuat otoritas Hong Kong membatalkan RUU ekstradisi ke Cina. Hanya saja, tuntutan yang diajukan para aktivis Hong Kong sudah terlanjur beranak pinak. Demonstran menuntut lima poin: aksi mereka tidak dikategorikan sebagai “kerusuhan”, ampunan bagi pendemo yang ditahan, penyelidikan independen terkait kekerasan oleh polisi, dan jaminan atas hak pilih universal. Poin-poin itu sampai sekarang belum terpenuhi.

Infografik Gerakan Tanpa Pemimpin

Infografik Gerakan Tanpa Pemimpin. tirto.id/Quita

Pro-kontra "Leaderless Movement"

Aktivisme populer tanpa pemimpin menjadi tren selama sepuluh tahun terakhir dan dirayakan di seluruh dunia. Namun, perayaan ini bukannya tak mengundang kritik.

“Secara umum, organisasi jadi susah dilacak apabila tidak ada pemimpinnya. Pada waktu bersamaan, ini [watak gerakan leaderless] juga mengurangi kemampuan menjalankan operasional yang kompleks,” kataCTO dari perusahaan sekuriti Imperva, Amichai Shulman, kepada Reuters pada 2011, ketika Arab Spring sedang ramai-ramainya.

Masih dikutip dari Reuters, dosen di U.S. Naval War College Hayat Alvi menilai gerakan tanpa pemimpin dikhawatirkan dapat memberikan kesempatan pada elite yang sudah mapan untuk masuk dan mengambil keuntungan. Menurut Alvi, penting bagi para aktivis untuk membuat konsensus umum tentang apa yang ingin dicapai di masa depan.

Sedang menurut Paulo Gerbaudo, sosiolog politik di King’s College London, mengatakan pada jurnalis Yasmeen Serhan dari The Atlantic pada 2019, bahwa pada dasarnya aksi protes tidak mempunyai daya keberlangsungan yang lama. Ini karena energi dan komitmen untuk mempertahankannya begitu besar. Gerakan protes, imbuh Gerbaudo, tidak sama seperti parpol atau organisasi yang memiliki struktur birokratik sehingga bisa terus beroperasi. Gerakan leaderless juga berisiko memperparah ketegangan dan kekerasan apabila para demonstran tak dibekali cukup arahan untuk menghadapi aparat, sehingga jatuhnya korban jiwa semakin sulit dicegah.

Penulis buku The Leaderless Revolution, Carne Ross, punya pandangan berbeda. Ia menyatakan kepada Serhan bahwa kehadiran pemimpin justru mempermudah otoritas untuk mengidentifikasi dan mengenyahkan figur utama gerakan. Pendeknya, gerakan lebih mudah digebuk.

Sehubungan dengan demonstrasi anti-kudeta terbaru di Myanmar, media kerap membingkai bahwa solidaritas anak-anak muda kelak akan menyelamatkan demokrasi, seperti salah satunya disuarakan Time. Tidak bisa dipungkiri, sebagaimana disampaikan Richard Horsay dari Crisis Group, gerakan leaderless yang bergantung pada kekuataan media sosial di Myanmar ini memang “memiliki fleksibilitas dan kreativitas” sehingga cenderung militer sulit mengajak mereka bernegosiasi.

Menurut Horsay, demonstrasi Myanmar disokong kuat oleh jaringan komunitas-komunitas yang sudah ada, biasanya berbasis profesi atau minat, seperti asosiasi dokter, teknisi, komunitas, sampai kelompok-kelompok LGBT. Namun demikian, Horsay menilai bahwa demo yang digerakkan oleh beragam aktor ini kesulitan merumuskan fokus dan membangun strategi yang koheren.

Memang tidak mudah membayangkan bagaimana rezim militer bisa berakhir, dan apa saja langkah-langkah yang yang harus diambil untuk sampai ke sana. Pelajaran yang perlu dicatat dari kasus-kasus yang ada selama 10 tahun terakhir: gerakan leaderless sukses melahirkan generasi baru aktivis dan menghadirkan pendidikan politik kepada khalayak luas.

Namun, kegagalan merumuskan strategi jangka panjang pula yang membuatnya mudah dipukul balik atau bahkan memancing reaksi yang jauh lebih brutal dari negara.

Baca juga artikel terkait KUDETA MYANMAR atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf