Menuju konten utama

Delapan Daerah di Papua Berpotensi Konflik di Pilkada Serentak 2018

Ketegangan yang meningkat selama Pilkada 2017 di Puncak Jaya, Intan Jaya, dan Tolikara belum sepenuhnya menurun.

Delapan Daerah di Papua Berpotensi Konflik di Pilkada Serentak 2018
Dua polisi melihat rumah yang dilahap si jago merah, pascapertikaian massa pendukung paslon Bupati dan Wabup Puncak Jaya nomor urut 1, 2 dan 3, di Mulia, Puncak Jaya, Papua, Minggu (2/7/2017). ANTARA FOTO/Indrayadi TH

tirto.id - Delapan daerah di Papua berpotensi kembali mengalami konflik pada Pilkada Serentak 2018. Indikasi ini berdasarkan data historis adanya korban jiwa saat konflik pada pemilu dan pilkada tahun sebelumnya di delapan daerah itu.

"Belum lewat setahun dari pengalaman konflik 2017, pilkada kembali digelar di Papua di tahun 2018, yaitu 1 pilkada gubernur papua dan 7 pilkada kabupaten. Penting untuk menjadi perhatian serius," ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di kantor KPU Jakarta, Rabu (31/1/2018).

Adapun delapan daerah yang perlu diwaspadai tersebut adalah Puncak, Yahukimo, Lanny Jaya, Tolikara, Dogiyai, Jayawijaya, Puncak Jaya, dan Intan Jaya.

Saat ini saja, Titi mengatakan bahwa ketegangan yang meningkat selama Pilkada 2017 di Puncak Jaya, Intan Jaya, dan Tolikara belum sepenuhnya menurun.

"Sisa dendam, baik dendam politik maupun dendam pribadi karena anggota keluarga yang tewas, diyakini masih ada dan menjadi potensi konflik untuk tiga daerah ini," kata Titi menerangkan.

Dia melanjutkan bahwa konflik yang terjadi di daerah Papua mengiringi pelaksanaan baik pilkada maupun pemilu, sudah terjadi berkali-kali. Tercatat sejak 2010-2014 saja, ada 71 warga yang tewas sepanjang pesta demokrasi terjadi di Puncak, Yahukimo, Lanny Jaya, Tolikara, Dogiyai, Jayawijaya.

Terbaru pada 2017 lalu, terdapat 19 korban tewas dari konflik pilkada yang terjadi di Puncak Jaya dan Intan Jaya.

Wilayah yang memiliki preseden buruk ini pun, diungkapkan Titi, telah masuk kategori rawan konflik oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum(Bawaslu) dan kepolisian.

"Seharusnya upaya preventif dari persepektif penyelenggara Pemilu dan perspektif kepolisian mengalami kemajuan, karena konflik kekerasannya terjadi berkali-kali," kata dia.

Menurutnya, semua pihak harus meningkatkan pendekatan dan strategi penanganan konflik kekerasan dari yang sebelumnya. Sebab, bukan tidak mungkin korban akibat pilkada akan kembali bermunculan.

"Apalagi 2019 di daerah yang sama kembali akan digelar pileg dan pilpres, sehingga konsentrasi untuk Papua harusnya semakin ditingkatkan dan upaya preventifnya semakin inovatif," jelasnya.

Humas Polri Kombes Polisi Slamet Pribadi menyebutkan strategi kepolisian dalam menangani potensi konflik Papua ini. Di antaranya, dengan menjalin kerja sama antara Polri dengan TNI dan aparatur sipil lain yang ada di sana.

Selain itu, Polri dan TNI juga akan menjalin kerja sama dengan stakeholder terkait pelaku-pelaku politik yang ada di Papua.

"Semua bersinergi mengatasi persoalan keamanan yang ada dalam Pilkada," ucapnya.

Kerja sama Polri dengan TNI dikatakannya telah dijalin sedari masa kampanye dengan adanya pasukan khusus atau pasukan operasional. Hanya saja untuk adanya penambahan pasukan dari TNI, bisa sewaktu-waktu saat dibutuhkan.

"Pergerakan pasukan itu secara eskalasi [sesuai] yang dibutuhkan dan ada prosedur. Jangan sampai ada menimbulkan kengerian seperti mau perang," kata dia.

Dalam prosedur pergerakannya, Slamet menyampaikan komando dari kepala Polri yakni dengan menekankan adanya pencegahan dengan mengedepankan faktor kearifan lokal dari sosial masyarakat Papua sendiri.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Politik
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari