Menuju konten utama

Defisit Neraca Perdagangan Juli-Agustus Diprediksi Sekitar $1,2 M

forecasting awalnya minus 800 juta dolar AS sampai 1,2 miliar dolar AS," kata Bhima."> "Perhitungan detailnya masih belum, tapi forecasting awalnya minus 800 juta dolar AS sampai 1,2 miliar dolar AS," kata Bhima.

Defisit Neraca Perdagangan Juli-Agustus Diprediksi Sekitar $1,2 M
Kantor Badan Pusat Statistik (BPS). Tirto/ Andrey Gromico.

tirto.id -

Defisit neraca perdagangan Indonesia diperkirakan akan berlanjut antara Juli hingga Agustus. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan terakhir pada Mei 2018 sebesar 1,52 miliar dolar AS.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan meskipun defisit neraca perdagangan ini akan berlanjut, tapi kemungkinan nilainya dapat ditekan lebih rendah.

"Perhitungan detailnya masih belum, tapi forecasting awalnya minus 800 juta dolar AS sampai 1,2 miliar dolar AS," kata Bhima kepada Tirto pada Selasa (26/6/2018).

Defisit ini dipengaruhi karena perkiraan nilai impor migas yang akan terus membengkak, bersamaan dengan itu adanya pelemahan kurs rupiah terhadap dolar. Hal itu, yang membuat ekspor terpukul karena bahan bakunya mahal dan di lain sisi ada efek proteksi dagang di negara mitra ekspor, seperti India yang memberikan bea masuk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia yang tinggi.

India berencana menaikkan tarif bea masuk CPO saat ini 15 persen dan produk turunannya 25 persen, menjadi masing-masing 44 persen dan 54 persen. Padahal, tarif bea masuk saat ini baru naik dua kali lipat dari tahun lalu 7,5 persen.

Langkah India merupakan proteksi dagang mengingat neraca perdagangan India mengalami defisit terhadap Indonesia. Ekspor nonmigas Indonesia ke India pada 2017 sebesar 13,94 miliar dolar AS, sedangkan impor Indonesia dari India sebesar 3,7 miliar dolar AS. Sehingga, India alami defisit di perdagangan nonmigas sebesar 10,24 miliar dolar AS.

"Dampaknya [tingginya harga minyak dan kurs rupiah] sangat dirasakan ke sektor riil," kata Bhima.

Pada akhirnya, hal itu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Diperkirakan Bhima pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun stagnan di kisaran 5-5,1 persen. Jauh dari target pertumbuhan ekonomi dalam asumsi APBN yang sebesar 5,4 persen.

"Stagnan di 5 persen karena net ekspor tumbuh melambat. Rupiah juga semakin tertekan karena defisit dagang membuat permintaan valas naik khususnya dolar AS untuk memenuhi kebutuhan impor," kata Bhima.

Lalu, kesempatan kerja menurun terutama di sektor komoditas, karena kinerja ekspor CPO dan Karet masing-maskng anjlok di level 15,6 persen dan 21 persen pada periode Januari-Mei 2018 dibanding tahun lalu (year on year/yoy).

Namun, untuk kuartal II/2018 diprediksi akan berada di angka 5,15 persen, lebih tinggi dari kuartal I/2018 yang sebesar 5,06 persen, karena didorong Tunjangan Hari Raya (THR). Anggaran THR dan gaji ke-13 pada 2018 untuk PNS, pensiunan, prajurit TNI, dan anggota polisi sebesar Rp35,76 triliun atau meningkat 68,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

"THR sangat mendorong konsumsi yang berkontribusi ke pertumbuhan ekonomi. Pensiunan yang baru dapat THR akan belanjakan uangnya," kata Bhima.

Baca juga artikel terkait NERACA PERDAGANGAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri