tirto.id - Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02, Sandiaga Uno menyatakan keinginannya agar Indonesia memiliki bank syariah terbesar di ASEAN. Ia menyayangkan posisi Indonesia saat ini, karena pusat keuangan syariah tidak ada di Jakarta.
"Kita sudah saatnya punya bank syariah yang terbesar di ASEAN. Saya terenyuh kenapa pusat keuangan syariah itu bukan di Jakarta, tetapi ada di Kuala Lumpur? Bahkan Hong Kong dan London mengembangkan," kata Sandi dalam debat pilpres kelima yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta pada Sabtu (13/4/2019).
Ucapan cawapres nomor urut 02 tersebut merupakan tanggapan atas pertanyaan segmen ketiga terkait perdagangan dan industri.
Baik pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin maupun Prabowo-Sandiaga menjawab soal tentang strategi dan kebijakan konkrit yang akan dilakukan untuk merealisasikan potensi ekonomi dan keuangan syariah, serta menempatkan Indonesia menjadi pemain utama ekonomi syariah global.
Sebelumnya, Sandiaga Uno menekankan pentingnya penciptaan dan pengelolaan ekosistem terkait potensi ekonomi syariah Indonesia. Ia menyebut, kekuatan negara ini terletak pada kekuatan kewirausahaan di bidang tersebut. Misalnya keberadaan produk-produk seperti produk herbal yang punya kemampuan ekspor.
"Kita harus mampu menciptakan produk-produk dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk siapa? Untuk anak-anak bangsa ... dan kita tidak boleh jadi pasar kita harus bisa mensuplai kepada kebutuhan ekonomi syariah dunia," kata Sandi.
Debat pilpres kelima yang digelar pada Sabtu (13/4/2019) adalah debat terakhir yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pertanyaan demi pertanyaan dalam debat ini disusun oleh 10 panelis yang sudah ditunjuk KPU.
Mereka adalah Herman Karamoy (Dekan FEB Universitas Sam Ratulangi) dan I Nyoman Mahaendra Yasa (Dekan FEB Universitas Udayana), Dermawan Wibisono (Guru Besar SBM ITB), dan Tukiman Tarunasayoga (Dosen Community Development Unika Soegijapranoto, Undip, dan UNS).
Selain itu, panelis lain adalah Rachmi Hertanti (Direktur Eksekutif Indonesia For Global Justice), Mohammad Nasih (rektor Universitas Airlangga), Arief Mufriani (Dosen FIB UIN Syarif Hidayatullah), Eddy Suratman (Guru Besar FEB Universitas Tanjungpura), Hanif Amali Rivai (Dekan FE Universitas Andalas), juga Suharnomo (Dekan FEB Universitas Diponegoro).
Editor: Fitra Firdaus