Menuju konten utama

Dari Detektor Logam hingga CCTV Masjid al-Aqsa

Kamera CCTV di Masjid al-Aqsa dianggap lebih berbahaya dibandingkan detektor logam.

Dari Detektor Logam hingga  CCTV Masjid al-Aqsa
Warga Palestina bersorak merayakan pembongkaran detektor metal dari gerbang Masjid Al-Aqsa. FOTO/Ahmad Gharabli/AFP/Getty Images

tirto.id - Ketegangan di Masjid al-Aqsa antara warga Palestina dan polisi Israel sudah berlangsung hampir dua pekan, setelah dua polisi Israel ditembak oleh tiga warga Palestina di Kota Tua Yerusalem. Demi keamanan, pemerintah Israel memasang logam detektor di pintu Masjid al-Aqsa.

Pemasangan detektor logam itu kemudian menimbulkan kemarahan dari warga Palestina. Masjid al-Aqsa yang menjadi tempat salat bagi ribuan warga Palestina itu dianggap tak perlu dipasang detektor logam. Warga Palestina menolak masuk ke Masjid melalui detektor logam tersebut. Ada yang kemudian melakukan salat Jumat di halaman luar.

Setelah detektor logam itu dipasang di pintu masuk, setidaknya tiga anggota keluarga Israel ditikam hingga tewas di kediaman mereka di Tepi Barat. Sedangkan empat orang Palestina tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan di sekitar Yerusalem Timur dan sekitar 400 orang terluka.

Pada akhirnya detektor logam yang dipasang di depan Masjid al-Aqsa kemudian dicabut pada 25 Juli. Keputusan itu diambil setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggelar pemungutan suara dan sebagian besar mendukung pencabutan detektor logam.

Keputusan Israel juga tak lepas dari adanya konfrontasi di Kedutaan Besar Israel di Amman, Yordania. Kejadian di kedutaan itu tentu mengejutkan Israel sebab Yordania adalah sekutu penting Israel. Ditambah lagi dengan Yordania yang berada di garis depan menentang penggunaan detektor logam. Sehingga ketegangan harus segera diredakan agar meminimalisir gangguan dalam hubungan diplomatik.

Bagi warga Palestina, detektor logam yang berada di pintu masuk itu memang harus dilepas karena pengamanan itu dianggap sebagai upaya Israel untuk mengontrol komplek suci itu. Pengalaman atas okupasi Israel di tanah Palestina membuat warga Palestina tentu akan menaruh curiga kepada segala tindak tanduk Israel.

Apalagi ini menyangkut salah satu tempat suci umat Islam dunia yang secara teritori berada di wilayah yang sudah direbut dan dikuasai Israel sejak puluhan tahun lalu, tersisa tempat suci seperti komplek Haram al-Sharif yang menjadi “milik” Palestina di bawah perlindungan Yordania menurut Perjanjian Perdamaian Israel dan Yordania tahun 1994.

Sayangnya, setelah pencabutan logam detektor itu, keadaan di Masjid al-Aqsa masih tetap tegang. Hal itu disebabkan oleh adanya kamera pengawas atau CCTV yang dipasang Israel di pintu-pintu masuk ke komplek Masjid al-Aqsa sebagai alternatif untuk permasalahan detektor logam yang memicu hadirnya kekerasan selama hampir dua pekan di Kota Tua Yerusalem tersebut.

Menurut warga Palestina, penggunaan CCTV juga merupakan salah satu upaya Israel untuk mengawasi aktivitas mereka di Masjid al-Aqsa. Bagi warga Palestina, penggunaan CCTV malah lebih berbahaya dibandingkan logam detektor sebab memberi hasil akhir berupa video dan rekaman segala aktivitas para warga Palestina di sekitar Masjid al-Aqsa. Sedangkan detektor logam hanya sebatas memeriksa soal barang bawa.

“Kamera ini dibuat untuk mengidentifikasi wajah orang-orang yang dilarang memasuki Masjid al-Aqsa,” kata warga Palestina, Hussein Da'na.

“Kami berdoa setiap pagi di sini dan polisi menyerang kami. Saya berniat untuk terus berada di sini sampai Israel menghapus semua yang baru (mengacu pada tindakan pengamanan),” lanjut Hussein.

Hal senada diungkapkan oleh analis politik Ramallah, Khalil Shaheen yang menyatakan bahwa kamera-kamera itu akan mendeteksi wajah dan identitas orang di sekitarnya. Ini membuat Israel dapat mengontrol secara penuh pada komplek suci Haram a-Sharif. Hal ini yang tidak diterima oleh warga Palestina.

Infografik bentrok di masjid al aqsa

Kontrol Israel di komplek suci itu secara otomatis menegaskan bahwa Israel mengesampingkan Yordania yang memiliki hak penuh dalam melindungi tempat suci tersebut dan juga kehadiran dari penjaga Palestina di situs suci tersebut.

“Ada sejumlah besar orang Palestina yang menolak membayar pajak kepada Israel di Yerusalem dan banyak yang berasal dari Tepi Barat yang memasuki Yerusalem pada hari Jumat tanpa izin [ilegal menurut hukum Israel], serta aktivitas dan lainnya. Bagi Israel, untuk mengetahui siapa orang-orang itu sangatlah berbahaya dan bisa membahayakan warga Palestina,” kata Shaheen.

Akan tetapi, cerita soal CCTV itu akan jauh berbeda jika CCTV di Masjid al-Aqsa dipasang oleh Yordania. Saat Israel yang mengendalikan CCTV, maka ia akan menyoroti warga Palestina. Sebaliknya, jika Yordania yang memegang kendali CCTV masjid al-Aqsa maka mereka akan banyak menyoroti pihak keamanan Israel. Sehingga CCTV ini tak hanya berbahaya bagi warga Palestina tetapi juga bagi Israel.

Pada 2016 lalu Yordania berniat memasang CCTV di komplek Haram al-Sharif. Kamera pengawas tersebut sedianya dapat berfungsi untuk merekam semua pelanggaran atau kekerasan yang dilakukan Israel kepada warga Palestina.

CCTV di Masjid al-Aqsa tersebut juga rencananya akan digunakan untuk menunjukkan serangan-serangan yang dilakukan tentara atau polisi Israel kepada tempat suci umat Islam. Sayangnya, rencana itu masih belum terealisasi karena dilarang oleh polisi Israel.

Di sisi lain, Mayor jenderal Yoav Mordechai yang memimpin badan pertahanan Israel untuk urusan sipil Palestina menepis tuduhan soal mengawasi warga Palestina. Ia mengungkapkan bahwa Israel bersedia untuk mencari alternatif lainnya jika warga Palestina tak menginginkan detektor atau lainnya. Hal itu demi menurunkan ketegangan yang terjadi di Masjid al-Aqsa.

”Satu-satunya yang kami inginkan adalah memastikan tidak ada yang bisa masuk dengan senjata lagi dan melakukan serangan lagi. Kami bersedia memeriksa alternatif dari detektor logam asalkan solusi altenatif itu dapat memastikan pencegahan serangan berikutnya,” katanya.

Baca juga artikel terkait MASJID AL AQSA atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti